“Heeeh! Apa lo bilang? Gue gendut? Awas lo yaaa! Gue jitak!” Terdengar suara teriakan yang disertai pekikan dari sudut belakang ditengah kesunyian suasana kelas X-A. “Monday! Kalau pengin ngomel-ngomel jangan disini dong!” Seru Hilmi, The Leader of Class. “Yee suka suka gue dong. Mulut mulut gue ini kan? Iya kan?” Jawab Monday ketus. Ya, teriakan yang barusan terdengar sumbernya berasal dari mulut Monday. Ia adalah gadis terpandai di kelas yang menjadi salah satu Bintang Sekolah karena kecemerlangan otaknya itu. Hampir semua mata pelajaran yang ada disekolah pasti ia kuasai. Matematika? Dia jagonya! Sejarah? Uh, udah sering kali dia nyeritain sejarah Indonesia didepan kelas. Seni? Jangan salah, dia ini cicitnya Leonardo Da Vinci. Bahasa Inggris? Aduuuh ini juga keahlian dia, dia ini pandai sekali was-wis-wos memakai Bahasa Inggris. Sampai Bahasa Prancis pun dia kuasai dengan baik. “BONJOOOOOOUR!” Sapanya suatu pagi kepada teman sekelasnya, tapi teman sekelasnya hanya bisa melongo karena sama sekali nggak ngerti. Namun, dibalik semua itu, Monday juga dikenal sebagai perempuan yang galak, terutama di kelasnya. Ia mempunyai sifat temperamen dan sangat moody –labil- . Oleh karena itu, jika ada salah satu dari temannya yang berani menghina atau berbuat kurang menyenangkan baginya, ia akan langsung menyalurkan sifatnya itu dengan berteriak, memukul, atau bahkan memarahi habis-habisan.
Jangan salah ya. Teriakan Monday ini bukan teriakan yang biasa anak perempuan keluarkan, tapi teriakannya ini lebih mirip seperti seekor singa. Nggak salah kalau ia lagi teriak, telinga orang-orang yang mendengarnya bisa tuli seketika. Karena sifatnya itu, ia lebih sering dipanggil dengan sebutan, “Monsterday” ketimbang nama aslinya, Monday. Teman-temannya sudah sering kali menasihatinya supaya bisa sedikit demi sedikit mengendalikan emosinya ketika marah, namun apa daya, Monday sangat berpegang teguh pada prinsipnya yang sepertinya ‘kurang normal’. “Ya nggak apa-apa dong. Kalau gue temperamen berarti itu sisi unik gue.” Jelasnya, setiap kali dinasihati oleh teman-temannya. Meskipun begitu, Monday masih mempunyai sahabat akrab. Nina, Fely, Gislin, dan Dian adalah sahabat akrabnya. Ternyata, jika ia sedang bersama sahabat akrabnya, Monday tidak hanya dikenal sebagai cewek temperamen, tapi juga seorang yang sangat ‘Bossy’. Jika sedang berjalan dengan sahabatnya itu, Monday paling nggak suka berada dibelakang. “Ogah ah, dikira gue babu apa yaa segala jalan dibelakang?” Komentarnya setiap kali menolak berada dibelakang sahabatnya. Tapi, apakah karena kekurangan Monday itu, sahabat akrabnya ingin segera menjauhinya? Tidak. Mereka adalah sahabat yang sangat setia. Tak peduli apa pendapat orang lain tentang Monday, mereka tetap menemani Monday disaat suasana apapun. Karena mereka yakin, dibalik kesangaran Monday, ia juga butuh sahabat yang bisa menemaninya. Dan betul saja, sahabat sahabat Monday adalah ‘ORANG-ORANG PILIHAN’ dimana hanya merekalah yang bisa menahan amarah Monday saat ia marah-marah dikelas.
Suatu pagi ditengah-tengah pelajaran fisika, Pak Morita memberikan beberapa soal mengenai alat optik untuk latihan para muridnya karena beliau akan keluar kelas sementara waktu untuk menghadap kepala sekolah. Semua murid pun segera membentuk kelompok untuk mengerjakan soal-soal itu bersama, begitu juga Monday dan sahabat-sahabatnya. Suasana kelas pun sedikit riuh, terdengar bisikan-bisikan murid yang sedang berdiskusi, terdengar juga beberapa murid yang nakal sedang bergosip di meja belakang, namun tak terdengar sama sekali teriakan Monday yang biasanya membahana disela-sela mereka.
Disaat Monday dan sahabat-sahabatnya sedang berdiskusi mengenai soal fisika yang akan mereka pecahkan, tiba-tiba salah seorang teman bernama Nanda menghampiri mereka. “Hmmm.. Mon, bisa nggak..” Kata Nanda, dengan volume yang loooooow banget. “Bisa apa, Nan? Suara lo kecil banget. Ada apa sih?” Monday justru tidak mau kalah, ia lebih mengecilkan volume suaranya melebihi Nanda. “Aduuh kalian ini. Niat ngomong apa nggak sih?” Celetuk Gislin sembari menahan tawa. “Mon.. Ngg.. Gue.. Ngg.. Gue masih nggak ngerti.. Ngg.. sama pelajaran tentang lup.. Mau nggak, Mon.. Ajarin gue.. Ngg..” Nanda terlihat gugup berbicara dengan Monday. Sampai-sampai ia tidak berani menatap wajah Monday. Karena merasa tidak nyaman dengan suasana seperti ini, Nina segera bangkit dari bangkunya dan menghampiri Nanda, “Nda, dari pada canggung begitu mendingan kamu diskusi bareng kita, nanti kamu bakalan kita ajarin kok. Ayo duduk, Nda.” Nina memberi bangku untuk Nanda, lalu ia kembali ketempatnya semula. “Emang bagian mana yang nggak ngerti, Nda?” Tanpa basa basi Monday langsung menanyakan inti dari pertanyaan Nanda. “Ngg… Ini loh, Mon. Gue masih bingung sama pembesaran lup, kan itu ada rumus yang hampir sama, tapi maksudnya gimana?” Nanda mulai berani mengangkat wajahnya yang dari tadi tertunduk. “Oh itu ya? Gini nih..” Monday menggeser bangkunya sampai dekat dengan bangku Nanda, ia membuka buku fisikanya dan mencari materi pelajaran yang ditanyakan Nanda, kemudian ia tunjukkan kepadanya dan menjelaskan apa yang ada pada tulisannya. “Nih, Nda. Dalam pembesaran lup kan dibagi jadi tiga, ada yang dalam kondisi mata berakomodasi maksimum, mata berakomodasi pada jarak ‘X’, sama mata tidak berakomodasi. Teruuuus..” Belum selesai menjelaskan, tiba-tiba Nanda menyela, “Loh itu bedainnya gimana? Ribet!” “Ih sebentar dulu kenapa! Gue lagi ngejelasin, Nda.” Sebenarnya ia ingin sekali marah, seperti biasa ia marah jika ada orang yang berani menyela omongannya, namun ia berusaha menahan amarahnya karena ia tidak tega memarahi Nanda. “Ngg… Gue cuma penasaran banget, Mon. Maaf ya.” Nanda kembali menundukkan kepalanya. Monday pun melanjutkan penjelasannya, “Cara ngebedainnya gampang kok, Nda. Nih, kalau mata berakomodasi maksimum itu kan rumusnya M sama dengan Sn per F ditambah satu, terus yaaang..” Lagi-lagi Nanda kembali menyela penjelasan Monday, “Iya itu yang apaan sih? Kok kayaknya rumusnya sama semua gitu, gue suka bingung bedainnya.” Monday kini tidak mampu menahan amarahnya, serta merta ia berdiri dan berbicara dengan suara lantang, “AAAH NANDA! LO SEBENERNYA MAU NGGAK SIH GUE AJARIN? BAWEL BANGET! KAN GUE JADI ILFEEL! DIEM KENAPA DIEM! KALAU LO NGGAK MAU DIEM CARI AJA GURU LAEN!” Otomatis, semua teman sekelas mengarahkan pandangan kearah sumber suara. “Gue cuma penasaran..” Jawab Nanda, wajahnya sangat tertunduk hingga hampir menyentuh lantai. “Iya gue ngerti. Tapi diem dulu kalau gue lagi ngejelasin! Udah tahu nggak bisa masih ngeyel aja sih.” Sahabat-sahabat yang berada didekat Monday dan Nanda pun tidak bisa berdiam diri melihat peristiwa tersebut. “Mon, dia ini pengin belajar. Tolonglah dia. Justru karena dia penasaran itu lah yang membuat dia berpikir kritis.” Sela Dian, lalu merangkul Nanda. “Iya, Mon. Coba dong untuk bisa sedikit lebih sabar kalau ada teman yang meminta pengajaran begini. Kasihan Nanda.” Fely pun berdiri dan angkat bicara. “Hei, Mon. Siapa tahu suatu saat nanti kamu bakalan jauh membutuhkan dia ketimbang dia membutuhkanmu saat ini.” Nina memberikan pendapatnya dan ikut berdiri, disusul Gislin. Sebenarnya ini bukanlah pertama kali Monday memarahi temannya yang sedang meminta pengajaran darinya, ia memang sering marah jika sedang mengajari temannya yang belum paham dengan materi pelajaran tertentu, terkadang karena temannya itu menyela penjelasannya, terkadang karena temannya tidak kunjung mengerti, ataupun karena temannya justru lebih memilih bercanda daripada mendengarkan dengan serius penjelasan Monday.
Mendengar itu semua, anak kelas pun ikut riuh dalam permasalahan, “Tahu nih, MONSTERDAY! Pelit banget! Ngajarin aja harus marah-marah!” Seru salah satu dari teman sekelasnya. “HUUUUUUUU…!” Seru yang lainnya, bersahut-sahutan. “Makanya jadi orang jangan galak! Dasar MONSTER! MONSTER!” Hani, sang sekretaris kelas pun ikut menghujam Monday. Kini teman sekelas Monday bersahut-sahutan berteriak kepadanya, “MONSTER! MONSTER! MONSTER! MONSTER! MONSTER! MONSTER!” Karena tidak tahan dengan itu semua, Monday menjerit, “HUAAAAAAAAA! DIAM KALIAN!” Hilmi sang Leader merasa bertanggung jawab atas keriuhan kelasnya, ia berjalan kedepan kelas dan berkata, “BERHENTIIIIIIIIII!” Spontan, semua anak buahnya pun diam dan kembali duduk. “Kalian nggak perlu ikut campur sama masalah Monday dan Nanda. Biarlah Monday mempertahankan sifatnya itu jika itu memang maunya. Kalian ini seperti baru pertama kali melihat Monday ngamuk aja!” Hilmi berbicara didepan kelas. Semuanya pun tertunduk. “Jangan cuma gara-gara masalah Monday, kelas jadi berisik. Sekarang kerjakan lagi tugas dari Pak Morita.” Seru Hilmi, kembali ketempat duduknya tanpa memperdulikan teman-temannya yang sedari tadi memperhatikan sikapnya.
Belum puas akan kemarahannya, Monday kembali berteriak, “PUAS YA LO SEMUA?” Pandangan anak sekelas pun kembali tertuju pada Monday. Namun mereka tidak berani berkomentar. Monday pun kembali duduk, ia melihat Nanda dengan pandangan sinis. Nanda beranjak dari tempat duduknya, menahan tangis dan berkata, “Gue yang salah. Gue bodoh banget, materi kayak begitu aja gue nggak ngerti ngerti. Maafin gue udah buang-buang waktu kalian.” Nanda pun mengambil ancang-ancang untuk pergi dari meja kelompok Monday. “Ya lagian lo udah bagus gue mau ajarin tapi nggak dengerin. Gue jadi males kan.” Sahut Monday, dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Mon! Dia temen lo, Mon! Apakah itu kata-kata yang pantas buat lo ucapin ke temen lo? Justru lo yang salah!” Gislin tidak tahan dengan sikap Monday dan akhirnya ia membentaknya. “Loh kok jadi gue? Kenapa?” Kini Monday lah yang heran dengan perkataan Gislin. Ia menarik tangan Nanda yang akan kembali ke tempat duduk asalnya dan berkata, “Nda, yang salah lo kan? Kenapa lo malah bawel banget pas gue ajarin? Lo kan yang salah?” Dengan nada sendu Nanda menjawab, “Iya gue salah. Gue emang bodoh.” Dian langsung berdiri merangkul Nanda dan memarahi Monday, “Stop Monday, Stooop! Stop mojokin Nanda, stoooop! Lo kapan dewasanya sih?” “Udah nggak apa-apa. Gue kok yang salah. Maaf ya kalian.” Nanda tidak mau memperpanjang urusan seperti ini dan langsung pergi menuju bangkunya. Dengan wajah lesu dan mata yang berkaca-kaca ia duduk dan membuka buku fisikanya kembali. “Lihat! Apa yang udah lo perbuat sama dia. Dia cuma pengin nimba ilmu sama lo, Mon. Cuma itu! Harusnya lo bisa lebih sabar kalau ngajarin orang lain, terlebih itu temen lo sendiri!” Dian sangat marah dengan sikap Monday yang ‘masa bodoh’ dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap Nanda. “Ya.. Ya.. Terserah lo deh capek gue!” Jawab Monday dengan ketus dan ia kembali duduk mengerjakan soal-soal fisikanya. “Sabar, Dian. Suatu saat dia akan berubah jauh lebih baik dari yang sekarang.” Ujar Fely sambil mengelus pundak Dian. “Hmm.. Amin Ya Allah..” Mereka pun kembali fokus pada soal-soal yang belum sama sekali mereka kerjakan karena peristiwa antara Monday dan Nanda tadi.
Keesokan harinya, Monday melakukan rutinitas pagi di sekolah seperti biasa. Menaruh tas, dan mengajak bercanda teman-teman yang juga sudah datang ke sekolah. Ia sepertinya sudah melupakan peristiwa kemarin, antara dirinya dengan Nanda, karena saat Nanda datang ke kelas, ia bersikap seperti biasa padanya, menyapanya dengan bahasa Prancis, “Bonjoooour, Nanda.” Namun Nanda hanya membalas sapaan tersebut dengan senyum kecil. Tak lama kemudian, teman-teman lainnya satu per satu mulai berdatangan. Kelas pun semakin ramai, ada yang datang datang langsung membentuk formasi bundar di mejanya untuk bercanda ria, banyak juga yang berlarian di dalam kelas entah apa yang dikejarnya, ada juga yang sedang bermain permainan anak kecil seperti pok ame ame, pipo pipo, rumah kosong dan tebak tebakan klasik seperti “Mana yang lebih dahulu keluar, telur atau ayam?”. Sepertinya ini sudah bukan lagi ruang kelas anak SMA, tapi lebih kepada ruang kelas anak Playgroup.
OH NOOOOOOO! Disaat suasana masih ramai, bel masuk pun berbunyi. Sontak, semua anak kembali ke tempat duduknya masing-masing, menunggu instruksi dari sang Leader. “Siaaap. Berdoaaa mulai!” Suasana berubah menjadi hening. Semua anak menundukkan kepalanya. “Berdoaaa selesai!” Akhirnya mereka mengangkat lagi kepalanya. Tak lama setelah berdoa, terdengar suara hentakan sepatu dari luar kelas, sepertinya Bu Reni, guru pelajaran pertama, Bahasa Indonesia akan datang. Namun, tak hanya sepasang sepatu rupanya, lebih terdengar seperti hentakan beberapa pasang sepatu. Anak kelas X-A pun mulai bertanya-tanya, jangan jangaaaan Kepala Sekolah mengadakan inspeksi mendadak untuk merazia siswa-siswanya yang berani melanggar aturan sekolah.
Suara sepatu-sepatu itupun terdengar semakin dekat dengan ruang kelas X-A, dan akhirnya sampai kedepan pintu, terdengar suara bisikan kecil dari mereka. “Waduh, gawat nih kalau ada razia.” Celetuk salah seorang siswa. “Hah? Razia? Rambut gue masih panjang begini masa iya ada razia?” Sahut yang lainnya. “Shhh.. Tenang semuanya. Kita harus menjaga kekondusifan kelas.” Seru Hilmi untuk mencegah terjadinya sahut-menyahut antar anak kelasnya. Tiba-tiba, dari balik pintu kelas, munculnya Bu Reni, dengan senyuman khasnya, beliau mengucapkan salam, “Assalamualaikum, anak-anak.” Segera seluruh siswa bangkit dari tempat duduknya dan menjawab salam, “Waalaikumussalaaaaam.”
Bu Reni melangkah ke meja guru dan meletakkan tas kecilnya, beliau menghadap kearah muridnya dan berkata, “Hari ini kita kedatangan teman baru dari Jakarta. Saya harap kalian akan menerimanya dengan baik. Ayo Adis, masuk ke kelas.” Bu Reni mengalihkan pandangannya kearah pintu, terlihat perempuan dengan malu-malu masuk kedalam kelas. Kini ia telah berdiri tepat disamping Bu Reni. “Naaah, ini dia Adis. Adis, mari kenalkan dirimu kepada teman-teman barumu.” Pinta Bu Reni, mempersilahkan Adis untuk maju selangkah. “Baik, Bu. Assalamualaikum, teman-teman..” Sapa Adis kepada orang-orang didepannya yang kini menjadi teman-temannya itu. “Waalaikumsalaaaam.” Jawab mereka serentak. “Hai. Nama saya Annisa Adistia. Kalian bisa panggil saya dengan Adis. Saya berasal dari salah satu SMA Negeri di Jakarta. Namun karena ayah saya diminta dinas di Bogor, jadi kami sekeluarga pun pindah kesini dan saya disekolahkan di sekolah ini. Semoga kalian bisa menerima saya.” Adis pun memperkenalkan dirinya kepada teman sekelasnya. “Terima kasih, Adis. Nah, kamu bisa duduk di barisan ketiga didekat Hani. Silahkan Adis.” Ujar Bu Reni. “Baik, Bu.” Adis melangkah menuju bangku yang Bu Reni maksud.
Pelajaran pertama pun dimulai dengan lancar. Adis sangat pandai bersosialisasi, belum genap sehari ia berada di lingkungan sekolah barunya, ia sudah mempunyai banyak sekali teman. Ia sangat ramah dan tutur bahasanya baik, sehingga anak-anak lain tak sungkan berteman dengannya. Dari hari ke hari, mulailah terlihat kelebihan dari Adis. Ternyata, ia sangat pandai dalam banyak mata pelajaran. Ia terlihat bersaing dengan Monday saat pelajaran eksak, terutama fisika. Mereka sama-sama aktif dalam bertanya dan menjawab soal didepan kelas. Adis pun tidak pernah sombong dengan ilmunya, ia tidak sungkan pula untuk berbagi ilmu dengan teman-temannya. Ia membuka peluang untuk teman-temannya yang ingin belajar bersama dengannya. Namun, rupanya Monday mulai iri dengan Adis. Monday menganggap Adis hanya akan menggeser popularitasnya sebagai salah satu siswa berprestasi disekolah. Dan ia menganggap semua kebaikan Adis hanya untuk mencari ‘muka’ dihadapan teman-temannya.
Hari ini hari Kamis. Ditengah-tengah pelajaran Bahasa Inggris, kembali Monday berteriak ditengah kesunyian kelas. “HADUUUH LO INI. Tadi kan udah gue bilang, present continuous itu pake verb-ing, bukan pake ed. Gimana sih!” Semua pandangan mengarah kepada Monday. Monday kala itu sedang mengajari Fitri yang kurang memahami materi grammar. Namun karena Fitri tidak kunjung mengerti juga, Monday berteriak pun seperti itu. Melihat kejadian tersebut, Adis bangkit menuju bangku Monday dan Fitri. “Bukan seperti itu cara mengajari teman dengan baik. Kau harus lebih sabar. Kalau kau seperti itu, akan membuat tekanan psikologis pada temanmu.” Adis menasihati Monday dengan nada lembut. Ia tak ingin Monday memperlakukan temannya seperti tadi. “Hiiiih jangan sok tahu deh lo!” Bukannya berterimakasih karena telah dinasihati, Monday justru mencela Adis. “Bener kata Adis. Lagian lo galak banget sih, MONSTERDAY!” Terdengar sahutan salah seorang dari belakang. “HUUUUUU DASAR MONSTER GALAK!” Kelas pun ramai dengan sahutan anak kelas. “Yaudah sih, kalau lo semua pada nggak suka cara ngajar gue. Lo bisa cari guru laen!” Seru Monday, berkacak pinggang penuh kesombongan. “Bukan masalah. Kita punya Adis yang kalau ngajar lembut dan nggak pernah nyakitin hati dan marah-marah kayak lo!” Tak disangka, Nanda lah yang berkata seperti itu. Ternyata ia masih menyimpan rasa sakit hatinya pada Monday. Mendengar hal itu, bak tersambar petir, Monday pun bungkam ditempat. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Perkataan Nanda sangat menusuk hatinya dan membuat matanya berkaca-kaca. Ia pun refleks berlari keluar kelas, meninggalkan keriuhan yang sedang terjadi disana. Terdengar suara teman sekelasnya yang berkata, “HUUUUUUUU JADI ORANG GALAK BANGET SIH!”.
Ia berlari menuju toilet sekolah. Sesampainya ia disana, segera ia tumpahkan air matanya. Ia merasa sangat terpukul mendengar semua hujatan yang barusan ia terima dari teman-temannya sendiri. Ya! Dari teman-temannya sendiri. Ia merasa sangat sakit hati. Namun kemudian ia berpikir, “Oh. Seperti ini ya rasanya dihina teman sendiri. Oh. Seperti ini ya rasanya tidak dipedulikan teman-teman. Selama ini gue selalu hina temen yang lagi minta pengajaran dari gue. Gue bukannya ngasih mereka ilmu yang bermanfaat, justru gue ngasih mereka hinaan, cemoohan, gue bilang mereka bodoh, bawel karena nanya terus, tanpa berpikir gimana rasanya ada dipihak mereka. Gimana jadinya kalau gue ngehina mereka tanpa perasaan. Ternyata bener. Gue jahat banget, sama temen gue sendiri. AAAAAH GUE JAHAT!” Monday tak sadar sedang berteriak di toilet, suaranya pun menggema. Tiba-tiba, terdengar decitan sepatu-sepatu dan bisikan orang-orang dari balik pintu toilet. “Mooon. Buka Mon pintunya! Ini kita, Fely, Nina, Gislin, sama Dian. Ayo buka, Mooon. Lo nggak apa-apa kan?” Monday mendengar suara Fely dari dalam toilet. “Lo ngapain nyusul gue? Lo kenapa nggak ikutan ngehujam gue aja?” Ujar Monday, sebenarnya ia heran mengapa mereka masih ingin menemaninya sementara orang-orang lain sedang menghujam dirinya. “Kita nggak sejahat yang kamu pikir. Tolong buka pintunya, Mon.” Akhirnya karena tidak tega, Monday perlahan membuka pintu dan keluar dari toilet. Segera sahabat-sahabatnya memeluk Monday erat, Monday pun membalas pelukan mereka, Monday sangat senang mereka ada disisinya. Dengan tersedu-sedu, Monday mencoba berbicara dengan mereka, “Kenapa kalian ada disini? Kenapa kalian nggak ikutan ngehujam gue? Kenapa?” Kemudian salah satu dari sahabatnya menjawab, “Karena kita yakin, kamu nggak seburuk apa yang mereka katakan kepadamu.” “Benarkah itu?” Tanya Monday, sedikit merenggangkan pelukannya. Tiba-tiba Adis datang menghampiri mereka dan berkata, “Tentu saja. Mereka adalah sahabat terbaik yang kau miliki.” Serunya, mendekatkan diri pada Monday. “Tapi gue jahat. Gue selalu marah setiap kali ada temen yang minta bantuan gue, gue sering bilang mereka bawel setiap kali mereka sering bertanya.” Monday kembali menundukkan kepalanya. Ia merasa sangat menyesal. “Aku mengerti. Kau ini sebenarnya ingin yang terbaik untuk teman-temanmu. Kau ingin mereka agar cepat mengerti apa yang kau ajarkan pada mereka. Itu niat yang sangat bagus, Monday. Tapi hanya saja kau kurang bisa mengendalikan emosimu ketika mereka tidak bisa menjadi apa yang kau harapkan.” Jelas Adis, ia mencoba untuk menghibur Monday, ia tidak ingin Monday terpukul karena perlakuan teman sekelasnya tadi. “Gue justru bangga sama sikap temperamen gue. Padahal harusnya gue nggak begitu.” Monday menangis terisak-isak, sahabatnya dengan lembut merangkulnya dan berusaha menenangkan hati Monday. “You’re not a perfect person. There’s many things you wish you didn’t do. But you continue learning..” Adis pun bernyanyi untuk menenangkan hati Monday.
Baru pertama kali ini ia merasa sangat terpuruk, dan itu semua karena kesalahannya. Semua teman sekelasnya mencemoohnya dengan kata-kata yang diluar dugaannya. Dan Monday tak pernah menyangka ini akan terjadi padanya. Namun dibalik itu semua, ia masih mampu mengambil hikmah. Dengan adanya peristiwa ini, ia menjadi mengerti bahwa dikala ia sedang terpuruk seperti inilah ia tahu siapa saja orang-orang yang masih tetap berada disampingnya, yaitu tak lain sahabat-sahabatnya. Dengan lirih ia berkata pada sahabat-sahabatnya dan juga Adis, “Gue nyesel banget. Gue janji, gue bakalan berubah. Gue nggak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Gue mau berubaaaah!” Sontak, para sahabatnya pun terkejut. “Benarkah itu?” Tanya Nina. “Tentu saja. Gue harus berubah!” Jawab Monday penuh semangat. “Aaaaaaaa! We love youuuu, Monday.” Serta merta Fely, Gislin, Nina dan Dian memeluk Monday. “Selamat ya, Mon. Aku ikut senang. Ingat, Mon. Kecerdasan tak hanya dilihat dari bagaimana kecerdasan kognitif seseorang, tapi juga kecerdasan emosi dimana kita mampu mengenali emosi sendiri dan mengelolanya, memotivasi diri, empati dengan emosi orang lain dan mampu membina hubungan sosial. Dan aku yakin kau mampu melakukan semua itu.” Ujar Adis, ia berharap Monday akan melakukan apa yang ia nasihati. “Terima kasih, Adis. Kamu baik banget.” Monday pun berjanji akan melakukan apa yang Adis nasihati. “Itulah gunanya teman. Ayo, kita kembali ke kelas.” Adis meraih tangan Monday, Monday meraih tangan Dian, Dian meraih tangan Fely dan Nina, Nina pun meraih tangan Gislin. Mereka bersama berjalan menuju kelasnya.
Sesampainya dikelas, seluruh teman-temannya sedang mengerjakan latihan Bahasa Inggris. Mereka pun masuk, Monday segera menuju bangku Nanda dan meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat. Diluar dugaan, Nanda justru memeluk Monday dan menerima permintaan maafnya. Monday tak mampu membendung rasa senangnya, ia membalas pelukan Nanda dengan sangat erat. Setelah itu, ia pun meminta maaf pada teman sekelasnya, “Teman-teman, maaf ya kalau selama ini gue galak banget sama kalian. Gue bener-bener nyesel. Gue harap kalian mau maafin gue dan mau nerima gue sebagai teman kalian lagi.” Fely, Nina, Gislin, Dian, Adis dan Nanda hanya bisa tersenyum melihat Monday. Teman sekelasnya pun saling berpandangan. Tak tahu apa yang harus mereka katakan. Sampai akhirnya Hilmi lah yang angkat bicara, “Kami sudah memaafkanmu, Monday. Jangan bersedih lagi.” Tak disangka, ucapan Hilmi mengundang senyum teman sekelas Monday. “Wah, Hilmi so sweet bangeeeeet!” Celetuk salah satu dari mereka. “HAHAHAHAHAHA…” Mereka tertawa bersama, Monday dan Hilmi pun ikut tertawa. “Hmm.. Jadi, bisa nggak kalian cabut gelar MONSTERDAY di nama gue?” Ujar Monday, disertai senyum teman-temannya. Teman sekelasnya justru kembali saling berpandangan. Tak lama kemudian, “OKE, MONDAY!” Mereka serentak menjawab. Lalu, kembali tertawa bersama ditengah pelajaran Bahasa Inggris.
Hari ini banyak sekali pelajaran yang dapat ia ambil. Pertama, ia bisa merasakan indahnya pertemanan, kedua, dengan adanya peristiwa ini ia akan mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, nggak akan segalak monster lagi, tapi akan berubah menjadi selembut bidadari. Ia pun jadi mengetahui bahwa Adis ternyata nggak seburuk penilaian Monday. “KINI, AKU BUKAN MONSTEEEEEEEER!” Monday pun berkata dengan lantang disambut dengan gelak tawa teman sekelasnya.
~Tamat~
Cerpen Karangan: Ritsnaini Zulfaisyah Blog: ritsnainizulfaisyah.blogspot.com
Nama : Ritsnaini Zulfaisyah Umur : 15 tahun Facebook : Ritsnaini Zulfaisya Twitter : @ritsnainizlfs Nb : Alhamdulillah.. Ini adalah cerpen kedua yang bisa saya kirim ke cerpenmu.com . Saya berharap bisa membuat lebih banyak cerpen bermutu untuk di-share disini . Amin ya rabbal alamin 🙂
Catatan dari admin: Untuk paragraf di cerpen cerpen selanjutnya lebih di rapihkan lagi ya… ^_^,