“Vinda !” “Ada apa?” Kata Vinda seraya menatap Ardi yang ada di depannya yang mengajak untuk mengobrol, Vinda menghadapi obrolan Ardi yang mengajak serius. Akhirnya Vinda berusaha mengerti apa yang akan Ardi katakan, lalu Vinda menebak. “Lagi jatuh cinta ya!” “Apa-apaan sih, Vin.” “Ngak usah bohong, lau jatuh cinta wajar aja. Karena wajahmu berseri-seri, siapa cewek yang kamu taksir, entar ku bantuin buat pedekate, cepet.” “Iya, aku jujur aja. Aku lagi naksir cewek nih tapi sayang orang yang taat aturan dan tatanan. Kurasa ngak mungkin aku bisa pedekate sama dia, Vin. Kamu pernah ngak jatuh cinta?” Vina lalu menjawab. “Iya pernah, tapi ngak pikirin lebih lanjut karena tujuan hidupku sudah kutentukan. Jadi aku harus jalani hidupku sesuai dengan apa ada yang sudah kutentukan, aku ngak berani keluar dari aturan. Itulah yang ngak bisa aku rubah semena-mena sebab hidup haus punya visi, misi, dan tujuan serta cita-cita dan harapan yang bisa membuat aku bahagia nantinya. Kalau kamu, Dit? Sudah tau apa yang harus kamu lakukan untuk hidupmu?” Ardi mengelengkan kepala. ‘Kamu ini Di, kalau lihat cewek cantik matanya melotot, pikir tu masa depan. Jangan melamun sambil menghayal entar bisa kemasukan setan, dari pada tiap hari kamu kongk mendingan gabung sama aku. Aku ada rencana buat kelompok belajar biar kita bisa belajar bareng dan juga bisa saling tukar pikiran, gimana? Mau gabung ngak?” tanya Vinda. “Entar Kupikirin, sekarang aku lagi pusing mikirin yang satu ini.” “Alah kamu ini Ardi, kalau urusan cewek entar aja, kalau kamu ikut kelompok belajar kita genap 10 orang, ada aku, Aisyah, Ana, Hendra, mita, Anto, Reva, Mahdi, Indra dan kamu. Itu sih kalau kamu mau gabung.” “Gue ikut.” Ujar Ardi agak semangat karena ada Aisyah “belum ditutup lowongan buat ikut belajar kelompok.” Vinda hanya memandang Ardi yang lansung semangat sehingga Vinda tersenyum lalu berkata : “Ya, kamu boleh ikut. Hari Minggu kita mulai belajar.”
Hari Minggu pagi kira-kira jam sembilan ardi sudah sampai di rumah Vinda untuk belajar kelomok, di rumah Vinda ada tujuh orang karena Indra tidak bisa datang untuk belajar kelompok disebabkan harus mengantar ibunya. Mereka semua sudah mulai belajar matematika yang memang sulit tapi kalau tahu teorinya dan cara mengerjakan sehingga mudah. Dalam belajar ini Vindalah paling jago kalau soal matematika yang bisa membuat kepala pusing bagi yang ngak nyambung.
Vinda memimpin kelompok belajar, ia seperti seorang guru yang menjelaskan di depan teman-temannya. Teman-teman vinda menyeimak ucapannya yang biasa saja tapi mudah dimengerti dan dipahami sehingga sewaktu Vinda memberikan soal mudah dijawab oleh temannya. Tapi Ardi yang dari tadi tidak fokus, sebab ada Aisyah di hadapannya. Vinda melihat Ardi mengelengkan kepala, melihat tingkah Laku Ardi, vinda lalu melemparkan stipo ke kening Ardi. “Aduh.” Ujar Ardi yang baru kena timpuk keningnya. “Sakit ngak.” Tanya Vinda. “Sakit Vin, kalu ditimpuk stipo, memang ada apa?” “Dari tadi aku lihat kamu ngak konsen, ngeliatin Aisyah doang kalau naksir bilang. Nganggu temen-temen yang belajar, kalau ngak mau belajar pulang sana.” Aisyah yang mendengar ucapan Vinda hanya diam seraya mengerjakan soal. Ardi pun diam saja yang memang sudah tahu watak Vinda yang ngak sungkan-sungkan ngungkapin rasa keselnya, Ardi menundukkan kepala merasa malu lalu berusaha mengerjakan soal yang tadi di tulisnya sdangkan teman-teman yang cowok hanya mesem-mesem saja karna sudah tahu soal hati Ardi. Tapi tidak ada yang tertawa melihat Ardi diam karena dimarahin Vinda.
Jam sebelas lebih tiga pulih menit, belajar kelompok sudah selesai dengan hati senang karena teman-teman Vinda merasa puas dengan hasil belajar barusan karena dapat menjawab soal-soal yang berurut dari yang paling mudah hingga paling sulit. Sehingga soal-soal terjawab dengan benar berkat bimbingan Vinda. Memang Vinda merupakan siswi yang pintar disekolah, selalu juara kelas dan juara umum. Setelah semua teman Vinda pulang kecuali Ardi yang disuruh nunggu. “Vin, kamu mau marahin aku lagi, karena hal tadi?” tanya ardi “Aku ngak marahin kamu, Cuma mau nasihatin aja.” “Maafin aku Vin, aku ngaku salah.” “Ardi sebentar lagi kita akan Ujian Nasional, dan kita harus dapat nilai bagus biar bisa lanjutin ke perguruan tinggi, kalu kamu hanya main-main saja dalam belajar, nanti kamu menyesal di saat kamu tua. Ilmu tidak harus sekarang kita gunakan, mungkin suatu saat nanti akan ada gunnya, yang sekarang kita pelajari pasti akan berguna. Kuharap kamu mau berpikir untuk masa depanmu,yang menentukan masa depanmu bukanlah ayah ibumu atau orang lain, tapi dirimu sendiri karena dirimulah yang menguasai dirimu sendiri. Ingat Ardi, masa depanmu, apa yang engkau ingin di suatu saat nanti. Kalau engkau berharap sukses mulailah dari sekarang kamu belajar. Belajar hal apa pun yang akan berguna di suatu saat nanti, Kamu mengerti?” tanya Vinda mengakhiri nasihatnya. “Aku mengerti Vin, makasih atas nasihatnya.” “Satu lagi, kalu kamu memang naksir sama Aisyah, kamu jujur saja, kalu dia mau jadi kekasihmu, Alhamdulillahdan kalau di tolak kamu jangan patah hati. Perlu kamu ingat dan ketahui kalau Aisyah itu anak Kyai yang taat aturan agama.”
Empat bulan telah berlalu, belajar kelompok pun telah berakhir dan Ujian Nasional dua hari lagi akan tiba. Vinda, Aisyah dan Ardi kumpul di kantin sambil makan bakso. “Syah, kamu sudah siap buat ujian besok?” tanya Vinda. “Sudah siap.” “Kamu Ardi?” “Siap ngak siap harus tempur juga, ya kan Syah?” Aisyah hanya tersenyum saja. Vinda merasa agak mengaggu Ardi, akhirnya Vinda ke toilet sebentar untuk meninggalkan Ardi dan Aisyah, biar mereka berdua ngobrol, kalau-kalau bisa nyambung. Setelah vinda pergi Ardi mulai berbicara. “Syah, boleh ngak aku nanya?” “Mau tanya apa?” Jawab Aisyah lembut. “Pernah ngak Aisyah jatuh cinta atau menyukai seseorang.” Aisyah hanya tersenyum seraya memandang Ardi yang lagi serius bertanya. Pandangan Aisyah ini membuat Ardi kaget sebab gak seperti biasanya, terasa pertanyaan ardi ini mengobrak–abrik hatinya. Lalu Aisyah menundukkan muka dan mulai menjawab tapi belum sempat terucap Ardi sudah berkata lbih dulu. “Syah, bukan senyum yang kupinta, tapi jawaban.” Kalimat yang baru saja diucapkan Ardi membuat hati Aisyah bergetar dan berusaha memnentramkan diri, lalu memandang wajah Ardi yang serius menanti jawabannya. Dari bibirnya terucap kata : “Dulu pernah, tapi sudah kukubur.” “Kenapa?” “Aku merasa belum pantas dan belum juga waktunya untuk menyukai seseorang lelaki, karena batasan dalam agama dan juga aturan menurut syariat yang kupegang.” Jawaban Aisyah ini membuat Ardi bingung, kenapa hanya hal seperti itu saja menjadi penghalang untuk menjalin kasih, tapi Ardi kemudian mengerti kenapa Aisyah berlaku seperti itu mungkin karna dia anak seorang Kiyai pemilik pondok Peantren sehingga Aisyah tidak ingin jadi cemohan banyak orang kalau anak kiyai berlaku tidak sesuai dengan sandaran dalam agama. “Jadi Syah pernah patah hati, gimana rasanya? Pasti sangat sakit kan.” Lalu Aisyah membuat Argumen. “Untuk mengenal kita butuh satu jam, untuk mencintai kita butuh satu hari, tapi untuk melupakan kita butuh waktu selamanya. Cinta ngak akan selamanya indah dan juga tak selamanya menyakitkan. Saat kita jatuh cinta itulah saat yang paling indah dan saat kita benci itulah saat yang paling buruk.” Ardi hanya diam mendengarkan Aisyah bicara, lalu ardi menambah sedikit argumen. “Syah, beginilah kehidupaan yang penuh cinta, kalau seandainya kita diharamkan untuk mencintai, pasti tidak ada ketentraman di dalam, kehidupan, begitu juga dengan keadaan tidak akan berubah kalau kita tidak mau merubahnya, seperti keadaan kadang-kadang di atas kadang di bawah.” Aisyah hanya tersenyum, karena sudah kenyang perutnya. Ia minum air mineral seraya melihat Vinda yang lama belum kembali, tapi Aisyah melihat Vinda mengobrol bersama seseorang. Ardi pun memperhatikan juga. Tidak lama Vinda kembali menemui Aisyah dan Ardi yang duduk smbil minum teh botol. Saat Vinda sampai Aisyah bertanya. “Rin, koq lama banget?” “Tadi aku ketemu sama temen, gimana ngobrolnya?” “Apanya yang gimana?” tanya Ardi. “Ya mumpung sepi ngak banyak orang.” “Ada apa Rin, koq ngomong ngak tentu arah.” Imbuh Aisyah. “Ngak apa-apa, kita pulang dah siang. Apalagi sekolah sudah sepi.” Kata Vinda kepada Aisyah dan Ardi yang masih duduk. Dua orang sahabatnya yang di ketahui Vinda saling punya perasaan. Maka dari itu Vinda selalu memberi kesempatan bagi Ardi untuk berbicara kepada Aisyah.
Seminggu setelah Ujian Nasional Aisyah masuk kesekolah sekedar melihat suasana dan sekalian jalan-jalan. Disekolah ini Aisyah janjian sama Vinda dan temen lain untuk bertemu di gerbang sekolah. Aisyah bertemu beberapa teman yang tidak satu kelas tapi satu letingan, Aisyah hanya tersenyum dan menjawab salam dari teman-teman yang menyapanya. Tidak lama Aisyah menunggu Vinda, karena Vinda baru saja turun dari angkot. Mereka saling tersenyum sebagai sapaan secara isyarat. Vinda melangkah dengan pelan-pelan seraya membenarkan jaket yang ia pakai. “Assalamu Alaikum.” Wa ‘Alaikum Salam.” Jawab Aisyah yang sudah ada di dekat Vinda. “Hai Syah, dah lama nunggu?” “Engak lama koq Rin, aku juga baru datang.” “Ketemu ngak sama Ardi? katanya dia mau datang ke sekolah juga.” “Ngak tuh, mungkin agak kesiangan sedikit, ngapain Rin kalau ngak ada Ardi kurang semangat atau kamu suka sama Ardi? Kalau suka bilang aja.” “Kamu ini ada aja Syah, tau ngak dulu aku lahir tu cuma beda 10 hari sama Ardi, sejak kecil aku main sama dia ampe kelas dua smp, terus aku pindah. Jadi aku ngak bisa main lagi, makanya kalau ngak ada Ardi kurang semangat, soalnya Ardi tu sahabat yang paling baik di hatiku.” Aisyah hanya tersenyum mendengar argumen dari Vinda, dan melihat sikat Vinda yang mengangap Ardi tu seperti saudara kandung saja.
Aisyah dan Vinda ngobrol di pos satpam, nunggu Ardi sambil makan snack. Mereka berdua asik banget ngobrol apalagi tentang kuliah yang akan membua mereka berdua menemuka tempat baru untuk menimba ilmu. Tiba-tiba ada seorang gadis masuk ke pos satpam. “Kak Aisyah.” Sapa seorang gadis kepeda Aisyah yang asik ngobrol sehingga kedatangan adik kelasnya tidak diketahui. “Ya, ada apa?” jawab Aisyah seraya mengerlingkan mata. “Ini ada titipan dari seseorang.” “Ini surat dari siapa?” “Kalau kakak baca, pasti kakak tahu. Tapi bacanya di rumah.” “Iya, terima kasih.” Ucap Aisyah seraya tangannya mengambil sebuah amplop yang tidak tertulis dari siapa. Aisyah lalu memasukan surat tersebut ke saku bajunya. Vinda yang baru saja melangkah karena sedang menerima telephone dari seseorang, lalu Aisyah bertanya setelah Vinda kembali duduk di sampingnya. “Dari siapa Rin?” “Dari Ardi. Katanya dia ngak bisa datang, dia ngantar ibunya ke tempat undangan. Tadi siapa Syah?” tanya Vinda dengan pandangan sempurna. “Itu Fika, siswa kelas dua, dia nganterin surat tapi ngak mau kasih tau dari siapa.” “Buka aja Syah.” “Ntar aja di rumah, tadi fika bilang jangan dibuka di sini tapi di rumah.” Ucap Aisyah yang menolak untuk membuka karena tidak ingin Vinda tahu isi surat tersebut. “Ya udah kalu gitu, kita jalan yuk?” “Oke.” Jawab Aisya dengan wajah berseri.
Sepulang dari jalan-jalan, Aisyah masuk ke kamar. Ia teringat surat yang diberikan fika kepadanya, Aisyah mengambil surat tersebut dari saku bajunya sambil membuka surat yang entah dari siapa. Setelah Aisyah bersandar di pinggir tembok ranjan, ia mulai membaca.
Buat Aisyah Assalamu Alaikum Maaf Syah, kalu kehadiran suratku ini mengejutkanmu, kutulis surat ini karena ada alasan yang ingin kukatakan dalam surat ini. Tapi kurasa inilah stu-satunya cara yang bisa kulakukan, kuharap engkau sudi membaca hingga akhir surat yang saat ini ada di tangganmu. Syah, sejak pertama akau mengenalmu, aku merasakan getaran yang tak pernah kurasakan selama ini, entah aku tak tahu. Apalagi kalau berbicara denganmu aku tak mampu merangkai kata-kata apalagi untuk mengucapkannya. Aku tak tahu apa saat itu aku jatuh cinta, aku tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Sejak saat itu aku selalu mendambakan untuk selalu bertemu denganmu dan selalu berharap mendapat keindahan senyum di bibirmu. Syah, salahkah aku mencintaimu? Apa aku berbuat dosa karena mencintaimu, mendambakanmu dan merindukanmu? Kalau salah, mana yang benar aku mencintaimu atau aku membencimu, kalu engkau ingin aku membencimu aku tak sanggup untuk membencimu sebab rasa cinta terlebih dahulu tersemai di dalam hatiku, aku tidak sanggup membinasakan benih cinta yang telah tumbuh, telah tertabur di lubuk hatiku. Aku baru mengerti kalau perasaan jatuh cinta itu seperti ini, ingin selalu bertemu dengan seseorang yang sangat di cintai, kadang harus menyebut namanya setiap detik tanpa henti, aku tidak tahu Syah, apa aku menanam dosa karena rasa cinta ini? Syah, sudah hampir tiga tahun aku memendam perasaan in, barulah saat ini aku mampu mengoreskan di kertas yang saat ini engkau baca. Aku lakukan hal ini karena aku sudah tidak mampu untuk menahan gejolak hati untuk mengatakan aku mencintaimu tulus dari lubuk hatiku. Entah apa yang sebenarnya kuharapkan dari rasa cinta ini, memilikimu atau hanya berharap engkau manjadi penentram kalbuku. Aku ingin tanyakan sesuatu kapadamu Syah, apa engkau membanciku, kalau engkau membenciku karena aku mencintaimu, bencilah aku agar rasa cinta di hatiku punah dan tak lagi mencintaimu untuk selamanya. Tapi bila engkau mencintaiku, katakan sebelum kesempatan itu hilang, katakan kalau engkau mencintaiku. Karena itulah Syah, kuharap engkau sudi mengukir kata-kata sebagai jawaban yang aku inginkan darimu. Syah, ini kurasakan sebagai kesempatan terakhirku untuk mengatakan apa yang terukir di hatiku. Aku berharap bara api yang membakar kalbuku dapat padam dan goresan kerinduan yang melukaiku punah. Syah, cukup sekian kata-kata yang dapat kurangkai untukmu. Wasalamu alaiku Dari sahabatmu M. Ardi
Aisyah merasa tidak mengerti dengan surat yang sudah ia baca, ia merasa terkejut dan juga terasa seperti mimpi, kalau Ardi mengatakan cinta kepadanya. Aisyah agak bingung dengan maksud Ardi, bingung bukan karena ucapan cinta tapi sikap Ardi selama ini tidak berlebihan bahkan biasa-biasa saja. Aisyah kemudian membaca ulang surat Ardi, setelah selesai Aisyah merasa harus membalas surat dari Ardi, tapi karena sudah mengantuk, dan apalagi jam sudah menunjukkan jam sebelas, aisyah membaringkan tubuhnya di kasur seraya membayangkan maksud ardi.
Hari Senin sore, Ardi lagi bengong di halaman seraya memandang langit yang biru sebiru cintanya sama Aisyah, tidak lama bengong kira-kira lima menit, Ardi mendengar suara motor yang berhenti di pinggir jalan dekat rumahnya, Ardi tidak menghiraukan malahan ia memejamkan mata, karena ia bosan memandang langit. Tiba-tiba ada suara salam yang ia dengan, langsung saja Ardi membalas ucapan salam seraya membuka mata, Ardi bangkit dari kursi yang ia tiduri, lalu Ardi bertanya : “Cari siapa?” “Cari kak Ardi. Ini ada titipan dari kak Aisyah.” “Indah kesini sama siapa? Koq sendiarian?” tanya Ardi basa-basi. “Berdua sama kak Aisyah, dia ada di luar.” “Koq ngak di ajak masuk?” “Ngak lama Cuma ngantar surat dari kak Aisyah aja, kak dah mateng jeruknya? Tanya Indah dengan perlahan seraya melihat jeruk yang masih berwarna hijau kehitaman. “Belum benar mateng, tapi ada di belakang rumah yang sudah mateng, tunggu sebentar kakak ambilin plastik.” Jawab Ardi seraya melangkah menuju dapur untuk mengambil plastik untuk wadah jeruk. “Ngak usah kak” kata inda menolak. “Tunggu, ntar kakak pilihin yang mateng, Cuma jeruk aja.” Setelah Ardi menerima surat balasan dari Aisyah ia girang sekali seraya dengan langkah pasti mengambil plastik yang lumayan besar, setelah dapan lalu keluar mengajak Indah menuju pekarangan di belakang rumah yang memang ada lima batang jeruk yang sudah siap di petik buahnya. Seraya mengobrol mereka berdua memilih jeruk yang sudah enak dimakan. Tak lama dua kantong plastik terpenuhi dengan jeruk yang harum baunya. “Sudah kak, ini sudah banyak.” “Ya sudah kalau gitu, lain kali kalau mau makan jeruk, datang ke rumah.” “Iya kak, Indah pamit dulu, kak aisyah sudah nunggu, terima kasih kak.” “Iya sama-sama.” Jawab Ardi. Setelah Indah perdi, Ardi kembali duduk di bangku lalu mengambil sebuah surat yang tadi di masukan ke dalam sakunya. Ardi memandang sejenak dengan hati bergetar, ia mulai membuka dengan dua perasaan bahagia dan sedih, tapi apalah ini sudah takdir yang harus diterimanya. Kemudian ardi membaca.
Buat Ardi Assalamu Alaikum Ardi, maafkan aku kalaubalasan suratku ini terlambat dan aku minta maaf kalau apa yang kutulis di kertas ini menyakitkan hatimu, sebenarnya aku tidak bisa menuliskan kata-kata yang membuat orang tersanjung, tapi inilah yang dapat kuhamparkan lewat tinta yang bertasbih di kertas ini, aku berharap engkau bisa mengerti dan pahami akan maksudku. Ardi, cinta memang indah bahkan lebih indah dari pada tabiran bintang di langit bahkan lebih terang dari pada cahaya matahari. Hal tersebutlah yang pasti di rasakan oleh seseorang yan dimabuk cinta. Ingatkah engkau dengan Kisah Laila dan Majnun yang membuat air mata menetes, kadang demi cinta seseorang rela melakukan apa saja demi kekasihnya bahkan mencampakkan kehormatan, karena cintalah yang membutakan hatinya. Aku mengerti perasaan yang engkau tuliskan lewat surat, engkau mengatakan sejujurnya rasa cintamu kepadaku, tapi aku belum berfikir untuk mengatakan cinta yang semurninya kepada seorang lelaki yang suatu saat nanti kuharapkan menjadi pendampingku. Karena hal tersebut belum terpikirkan olehku. Di saat ini aku pikirkan hanyalah menuntut ilmu agar suatu saat ilmu yang kupelajari bisa membawaku ke dermaga kebahagiaan. Ardi, aku mencintaimu sebagai sahabat, teman, dan sebagai saudara sesama muslim seperti aku mencintai teman-teman di sekolah. Karena belum waktunya aku mengatakan cinta yang sebenarnaya kepada lawan jenis. Aku tahu betapa rasa sakit hati engkau rasakan karena jawabanku ini, tapi kuharap janganlah engkau membenciku, cintailah aku semaumu, sayangi dan kasihilah semaumu bila dengan itu bisa membuat bahagia hatimu dan engkau bisa bersemangat untuk menuntut ilmu, karena ilmu lebih berharga dari pada cinta. Jika kita mencintai seseorang, pasti kita berharap seseorang tersebut mengerti perasaan kita dan berharap seseorang tersebut bisa membalas untuk mencintai. Bila engkau mencintaiku dan berharap aku untuk mencintaimu, aku hanya bisa mencintaimu seperti yang kusampaikan, hanya bisa mencintaimu sebagai sahabat hanya sebatas itu yang kumampu, maafkan aku Ardi. Ardi, saat ini kiyta telah dewasa, kita harus berfikir untuk masa depan kita, aku berharap engkau berfikir tentang masa depanmu, bukan orang tuamulah yang menentukan masa depanmu tapi dirimulah, kalau memang engkau mencintaiku setulus hatimu, cobalah buktikan kalau engkau mampu. Tapi ingat, aku seorang putri kiyai yang taat aturan agama, apakah engkau bisa menjadi menantu kiyai yang suatu saat akan mengajarkan ilmu kepada ratusan santri? Kalau engkau merasa cukup ilmu yang sudah engkau pelajari, beranikanlah dirimu untuk melamarku. Aku janji, akan kupikirkan tentang lamaranmu, kuterima atau kutolak. Ardi, Aku anak bungsu yang suatu saat nanti akulah yang mewarisi pondok pesantren milik ayahku, sebenarnya aku tidak mampu, aku menolaknya, tapi itulah keputusan yang tidak bisa dirubah, aku bingung harus bagaimana, maka saat ini tujuanku hanya satu yaitu menuntut ilmu dan mempelajari ilmu yang suatu saat nanti akan aku ajarkan kepada para santri, maka aku harus memilih seorang lelaki yang memang bisa memimpin memimpin pondok pesantren dan memimpin diriku. Dia harus bisa mengajarkan ilmu kepada para santri. Ardi, janganlah engkau sujudkan hatimu kepadaku, sujudkanlah hatimu kepada illahi. Dialah yang paling utama engkau cintai. Dialah yang paling utana engkau sembah dan engkau puji. Janganlah engkau berharap berlebihan terhadap sesuatu, tanamkanlah tiga hal, takut, berharap dan cinta. Dengan rasa takut engkau akan berharap dan untuk berharap engkau harus mencintai. Sekian kata yang yang dapat kutarikan di kertas ini, maafkan atas kata-kata yang tergores di kertas ini yang menyakitkan hatimu, dan aku tak bisa memenuhi harapanmu. Terima kasih engkau telah mencintaiku. Wasalamun alaikum Dari sahabatmu Aisyah
Ardi meneteskan air mata, setelag membaca surat dari Aisyah. Ia merasa perasaan galau di hatinya, tetesan air mata pun membasahi pipinya, Ardi menyadari kebenaran kata-kata Aisyah, “Janganlah engkau sujudkan hatimu kepadaku.” Karena sudah sore, Ardi bangkit dari duduk lalu melangkah ke dalam rumah seraya tangannya mengenggam surat dari Aisyah, perasaan patah hati melanda dirinya. Ia menyadari kesalahan yang sudah terlambat, tapi saat inilah yang terbaik untuk mengutarakan segalanya.
Pagi hari yang cerah, Ardi membereskan kamar tidurnya, buku-buku yang sudah tidak dipakai, ia masukkan ke kardus, sedangkan buku-buku yang biasa di baca di susun di rak buku sebagai koleksi pribadinya. Tiba-tiba dari dalam buku ada yang jatuh, andi mengambil selembar foto yang terjatuh dari buku, ia melihat foto tersebut. Ardi melihat foto Aisyah yang sedang tersenyum, ia jadi teringat kalau foto tersebut pemberian Aisyah setahun lalu. Saat Aisyah masih imut-imut. Ardi tersenyum seraya menutup mata saat dibuka matanya ada dua tetes air mata yang terjatuh membasahi foto Aisyah, Ardi pun mengusap dengan tangan. “Aisyah, memang aku lelaki miskin, miskin ilmu. Mana mungkin aku bisa mengajarkan ratusan ilmu, untuk mengajarkan satu ilmu pada diriku sendiri aku tak mampu, apa mungkin suatu saat engkau bisa mencintaiku dan aku pantas menjadi pendampingmu yang akan senantiasa mencintaimu seperti saat ini yang kurasakan, Syah aku mencintaimu.” Kata-kata Ardi, terus ia mengecup foto Aisyah, tak terasa air matanya meleleh dari sudut matanya, tiba-tiba Ardi dikejutkan oleh kakak perempuannya. “Ardi.” Ardi menoleh melihat siapa yang datang lalu tersenyum saja. “Lagi ngapain koq nangis?” “Ngak apa-apa Cuma ingat temen aja, kan bentar lagi aku ngak di sini.” “Udah jangan bohong, tu foto siapa, sini kaka pengen lihat.” “Ngak boleh.” Kata Ardi seraya menyelipkan foto ke punggungnya. “Sini, kakak lihat, cewek mana yang buat adikku menanggis.” Ardi dan kakaknya saling kejar-kejaran karena Ardi tidak mau memberikan foto Aisyah, akhirnya foto Aisyah dapat di ambil dari tangan Ardi. “O, Aisyah, pantesan kamu nangis, sedih ya ningalin pacar?” “Dia bukan pacarku.” “Lalu…” “Aisyah Cuma sahabat, soalnya dia ngak mau jadi kekasihku.” “Jadi, adikku yang ganteng ini lagi patah hati, karena di tolak, tolong ceritain sama kaka, ntar kalau kakak bisa bantuin kakak janji akan bantuin kamu. Ngak usah bohong, ntar dari pada kakak bocorin sama mama n papa gimana?” Tanpa paksaan Ardi menceritakan semua kepada kakaknya yang sangat sayang sama Ardi, kakaknya hanya bisa tersenyum dan tertawa mendengar cerita adiknya, lalu Kakaknya memberi nasihat. “Kan sudah dari dulu kakak bilangin kamu belajar, jangan banyak nonton tivi, molor atau keluyuran. Sekarang kamu baru nyadarkan kalau masih bodoh, bloon, n geblek lagi. Coba dari dulu mau belajar di potren, bahasa arab sama bahasa inggrismu bisa fasih ngak kayak gini, kayak anak sd baru belajar, malu-maluin.” “Sekarang aku menyadari kalau aku ini miskin ilmu, mana mungkinlah aku bisa meminang Aisyah kalau kayak gini.” “Ya sudah, kamu kuliah sambil belajar tapi di pulau jawa. Mau ngak? Mumpung kakak kenal sama kyai dan keluarganya, kan kalau kamu bisa selevel dengan ustad atau bisa selevel kyai, ntar kakak bujuk mama sama papa buat ngelamar Aisyah, gimana?” Ardi mengerutkan kening. “Ngak mau?” “Mau Kak, demi masa depan dan kekasih hatiku.” “Ya sudah, kamu makan sana. Besok kamu ambil SKHU dan yang lain untuk daftar kuliah dan sorenya kita berangkat naik pesawat, sekarang beresin pakaianmu.” Tanpa pikir panjang Ardi menganguk.
Keesokan hari Ardi agak lain ketika bertemu Vinda sama Aisyah, malahan Ardi tidak mendekati Vinda. Vinda jadi bingung, makanya siang hari ia kerumah Ardi, vinda terkejut saat tahu kalau Ardi mau pergi. Dengan rasa kesel Vinda mengantarkan Ardi ke bandara. “Ardi, kamu koq gitu, ngak bilang kalau mau kuliah di pulau jawa?” “Maafin aku, aku ngak sempet ngomong. Please, jangan ngambek ya.” “kapan Pulang.” “Ngak tahu Vin, tapi kalau pulang aku janji akan temui kamu, titip salam buat Aisyah.” “Iya, jangan lupain aku ya.” “Bereslah.” Ardi melangkah meninggalkan semua orang yang mengantarnya, ia pergi bersama kakaknya. Walaupun hatinya berat meninggalkan Aisyah yang ia cintai, tapi inilah cara yang bisa ia tempuh. Sepulang dari bandara Vinda lansung pergi ke pontren yang menjadi tempat tinggal Aisyah. Sesampai di kamar Aisya, Vinda dengan muka cemberut. “Vin, kenapa dengan mukamu koq cemberut, kesel sama aku ya?” “Tu si Ardi.” “Ada apa sama Ardi, dia musuhin kamu?” “Dia tuh mau kuliah sambil mondok sekalian di pulau jawa, padahal aku mau ngajak dia untuk kuliah di sini. Aku jadi sebel sama dia, Ardi titip salam buat kamu, Syah.” “Wa alaikum salam, koq cepet banget.” “Ngak tahu juga, kapan dia ngerencanainnya?” Aisyah agak terkejut mendengar kalau Ardi kuliah smbil mondok untuk belajar ilmu agama, mungkin penyebabnya adalah surat balasan Aisyah yang membuat Ardi bertekad mengejar yang belum tentu bisa ia miliki. Tanpa di sangka Aisyag meneteskan air mata tapi ia cepat-cepat menghapusnya, Aisyah mengatakan dalam hatinya: “Maafkan aku Ardi, kalau aku menyakitimu.”
Cerpen Karangan: Alfarizi Al Fiqri Blog: ibnueljambi.blogspot.com
cerpen ini sebenanya sudah 3 tahun lalu selesai. baru sekarang ada kesempatan buat share. sukron katsiron, dah baca cerpen dari penulis amitiran.