“Kasian juga aku liatnya, Mak.” ujarku. Isteriku tak menyahut, ia asik mengaduk nasi dalam periuk. Aku menghisap rokokku dan mengepulkannya ke atas. Daguku terangkat tinggi, kepalaku bersandar ke daun pintu yang terbuka. Aku duduk di lantai semen kasar rumahku sambil menerawang ke langit-langit, seakan menembus seng-seng berkarat yang langsung terlihat karena tanpa plafon.
Beberapa menit kami hanya terdiam, sebelum akhirnya isteriku bicara, “Apalah yang mau kita buat, Pak?” Ia sekarang sibuk mondar-mandir – entah apa yang dikerjakannya – di dapur, kamar mandi dan sesekali keluar rumah lalu masuk lagi. “Aku pun kasian juganya.” katanya lagi. “Itulah hidup ini… Tak seindah rencana kita.” “Enggak kau tengok, Mak? Macam orang stres kutengok dia sekarang.” kataku di sela-sela hisapan rokok kretek buatan lokal langgananku. “Macam orang stres pula kau bilang. Yah, memang udah streslah dia itu.” tukas isteriku. “Iya, maksudku stres kaya orang gila.” Aku mengoreksi ucapanku. “Siapa yang nggak stres, bapaknya ninggal, gak ada uang, trus putus sekolah pula.” sambar isteriku.
Aku tak menyambung pembicaraan lagi. Pikiranku melayang-layang. Sebentar membayangkan perasaan yang sedang dialami si Maston, terkadang mengenang bapaknya yang merupakan teman baikku. Bayangan yang terakhir itu diselingi cuplikan-cuplikan masa lalu kami. Aku bisa mereka perasaan bangga dan penuh angan-angannya Si Maston – sanak sulung Eben – ketika pertama kali menginjakkan kaki di perguruan tinggi negeri di Medan, kota besar tak jauh dari kampung kami. Bapaknya pun bangga sekali saat itu. Harapannya semakin besar digantungkan di bahu Maston yang disiapkan menjadi tulang punggung keluarga itu kelak.
Namun hidup tak dapat di tebak, bapaknya meninggal di tabrak bis tiga bulan lalu di jalan lintas antar kota. Keluarga itu pun segera tergoncang. Baik dari sisi mental maupun ekonomi. Semua penghasilan keluarga selama ini hanya berasal dari Sang Bapak semata.
Memasuki bulan ketiga, persediaan uang dari sumbangan belasungkawa kerabat dan tetangga menyusut dengan cepat. Mamaknya masih bingung harus mencari uang bagaimana. Tanpa uang kiriman, Maston pun harus pulang kampung dan mengubur dalam-dalam impiannya menjadi sarjana. Melepas ritme kehidupan kota yang mulai diakrabinya selama setahun. Meninggalkan semua teman-teman di kampus birunya tercinta. Tampaknya ia belum siap menerima itu semua.
Dua minggu setelah kepulangannya ke kampung aku terus di rundung gundah. Aku juga tak terima kenyataan pahit itu harus ditelannya di usia yang masih labil, apalagi anak seorang teman lama. Setiap hari pikiranku terganggu melihat keluarga – yang tinggal hanya beberapa rumah dari gubuk kami – itu murung dan mendung. Aku rasa aku harus berbuat sesuatu, tetapi sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana.
Satu malam sehabis makan, aku dan isteriku duduk-duduk di ruang makan sekaligus ruang tamu kami. Saat-saat terakhir sebelum listrik dusun kami di putus untuk kemudian menyala lagi pada keesokan paginya. Isteriku sedang sibuk menyiapkan tiga lampu semprong ketika aku berbicara padanya. “Mak… Kalo kuingat dulu baiknya Si Eben sama aku…” Kalimatku terputus, seperti tak mampu kuceritakan semua kebaikan Si Eben, bapaknya Si Maston kepadaku. Setelah beberapa saat aku berkata lagi, “Kurasa, kalo gak ada dia kita nggak bisa kayak gini sekarang.” sambungku. Isteriku diam saja sambil membersihkan semprong dan mengisi minyaknya. “Dia dari dulu sering menolongku.” kataku lagi. “Mulai dari tugas sekolah, hingga mengerjakan sawah. Kau tau kan? Aku dulu gak ada apa-apa. Sekolah enggak jelas, mau bertani pun sawah nggak punya, ternak juga nggak ada.” Aku berdiri untuk mengambil bungkus rokok yang terletak di bufet – sebutan kami untuk lemari atau rak pendek – kemudian kembali ke tempat duduk.
“Kalau enggak dikasinya aku anak kerbau waktu kita kawin dulu, enggak punya ternak kita seperti sekarang.” Isteriku yang sekarang sudah sibuk menyulam menyahut, “Kasian ya Pak, orang baik itu sering kali cepat mati. Padahal kalo si Maston itu berhasil, kan bisa membantu adek-adeknya.” “Enggak kau liat Si Maston itu kayak apa sekarang?” tanyaku. “Ooh, amang… Kayak linglung-linglung dia. Kasian, bah… Kasian. Lewat pun orang di depannya nggak peduli lagi dia.” kataku dengan penuh iba. “Iya, ya… Udah lain memang kuliat dia sekarang.” Isteriku mengamini. “Nggak seperti yang dulu, ya?” “Enggak siap dia kuliat menerima kenyataan.” Jelasku, kemudian mulai menyalakan rokok. “Kasian juga mamaknya, siapa lagi yang mau diharapkannya?” Isteriku mendecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda susah hati karena prihatin.
Kami kembali tenggelam dalam kebisuan. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang terbang entah ke mana. Beberapa menit berlalu, aku berujar pelan, “Nggak bisa, Mak… Nggak bisa.” Isteriku menghentikan sulamannya, sejenak ia berpaling ke arahku dengan rasa heran dan ingin tahu apa maksudku, lalu melanjutkan lagi menyulam. “Nggak bisa kita biarkan keluarga itu hancur lebur, Mak.” sambungku lirih. “Jadi… Kek mana kita membantunya?” tanyanya. Aku terdiam. Tak berani mengucapkan rencanaku yang sudah kutimbang-timbang dari pagi. Aku tau reaksinya kemungkinan besar akan kecewa dan menolak rencana itu. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kataku singkat dengan suara rendah, “Kita harus bantu…” “Iya, pake apa, Pak?” tanya isteriku sambil terus melanjutkan sulamannya. “Hasil penjualan kerbau kita yang dua ekor itu…” Spontan isteriku terlihat menahan napasnya karena syok. “Hah, apa? Apa maksudmu?” Aku diam saja tak memandangnya. Aku tahu rencana ini mengejutkan dan sedikit tak relistis.
“Kau kan tau uang penjualan kerbau itu untuk apa, Pak!” kata isteriku dengan nada meninggi karena panik. “Udah lama kita memelihara kerbau-kerbau itu supaya bisa di jual, supaya kita bisa beli mesin traktor, sisanya untuk persiapan Si Rolan masuk sekolah. Kalau itu nggak ada, dari mana Pak…?” Raut wajah isteriku penuh dengan kekhawatiran. “Iya, Mak… Taunya aku itu… Yang kuingatnya jasa-jasa bapaknya sama aku dulu.” Aku membetulkan posisi dudukku di sofa satu-satunya milik kami, lalu kutatap dia, “Dengar, Mak. Kau pun taunya kan, kalo aku itu dulu terlunta-lunta di Medan. Kalo enggak Si Eben yang nasihati aku dan kasi pinjaman supaya kembali ke sini, entah jadi apa aku di sana. Jadi gelandangan kurasa aku, ato jadi pencopet di terminal.”
Isteriku tertunduk berusaha meneruskan sulamannya, tapi aku tahu gerakan jarinya sudah tak karuan lagi di ganggu emosi yang berkecamuk. “Kalo enggak sekarang kita membalas kebaikan bapaknya, kapan lagi…?” sambungku dengan pelan-pelan. “Kalo anak itu bisa sekolah… tak lama dia jadi sarjana. Bisa kerja apa kek… Udah bisa dia membantu keluarganya. Kalo tidak, ancurlah keluarga itu, Mak…” kataku dengan nada membujuk. “Iya, trus keluarga kita yang hancur…” ucapnya ketus.
“Gini aja… Mak, dengar…” isteriku menoleh dengan muka cemberut. “Biarlah kita menunda dulu membeli traktor itu. Anak kerbau kita kan masih ada satu lagi. Tiga-empat tahun lagi udah besar, bisa dikawinkan. Setelah ada anaknya, bisa kita jual. Untuk sementara ini, masih bisanya kita menyewa traktor orang.”
Isteriku meletakkan sulamannya di meja. Matanya memandang lantai dengan tatapan kosong. Ku tahu dia sebenarnya orang yang baik dan penuh kasih. Tapi kekhawatirannya akan masa depan keluarga membuatnya takut. Dan rencanaku ini pasti membuatnya sangat kecewa.
“Jadi kekmanalah sekolah si Rolan…?” tanyanya dengan nada yang lebih terdengar mengeluh dari pada bertanya.
Aku lantas berusaha meyakinkannya, “Kalo kita berbuat baik, jangan takut, Mak. Ada aja nanti jalan di kasi Tuhan itu…” aku berdiri lalu mendekati isteriku yang duduk di kursi makan. “Tengok…” kataku. Kuturunkan suara hingga setengah berbisik, “Kalo enggak nyambung lagi kuliahnya Si Maston itu, bisa gila dia nanti. Kutengok udah mulai aneh-aneh dia. Tengoklah, Mak. Takutku, dua bulan lagi udah lari otaknya itu. Kalo udah kek gitu, makin hancurlah keluarga itu. Apa lagi…?” Kutatap mata isteriku. Sorotan matanya melemah. Kurasa dia menyerah tanpa kata-kata. Entah dia setuju dengan pendapatku atau dia sudah putus asa, aku tak tahu.
Dua hari setelah itu, kerbau-kerbau kami pun terjual. Uangnya kami berikan kepada mamak Maston. Ia menangis meraung-raung di depan kami. Ia menangisi mendiang suaminya dan terharu dengan keputusan kami. “Ooh Tuhan… Cemanalah aku membalas kebaikan kalian ini, Ito… Eda…” ujarnya sambil terisak-isak.
Kami pun pulang setelah Maston – yang tak mampu berkata-kata lain selain ucapan terima kasih – menyalami kami. Kebahagiaan yang tak terkira kami rasakan keesokan-harinya, saat Maston berpamitan untuk kembali ke Medan mengurus kuliahnya yang terbengkalai itu. Wajahnya bersinar-sinar. Senyum penuh harapan dan cita-cita terpancar terang menyinari wajah kami yang bangga bisa meneruskan mimpi dan perjuangannya, mimpi dan perjuangan bapaknya – Si Eben – sahabatku. Kesumringahan Maston menghapus jejak-jejak kesedihan dan keputusasaan yang sempat menggayutinya selama beberapa minggu ini. Dia pun pergi.
Bayangan memiliki traktor akhirnya kubuang jauh-jauh dari pikiran. Fokusku sekarang bagaimana mencari penghasilan ekstra untuk di tabung guna persiapan sekolah anak kami satu-satunya. Masih ada waktu enam bulan lagi menjelang tahun ajaran baru. Kalau tidak cukup, kami berencana cari pinjaman yang bisa di bayar setelah lima tahun. Seekor anak kerbau yang tertinggal pun menjadi tumpuan harapan kami.
Sebulan setelah kepergian Maston, seorang kerabat di kota lain mendapat kemalangan. Aku pun pergi untuk melayat. Perjalanan jauh membuatku harus berangkat subuh dan acara adat sepanjang hari membuatku baru tiba di rumah larut malam. Karena keletihan aku rupanya tertidur sangat pulas hingga pagi menjelang. Tiba-tiba isteriku masuk ke dalam kamar dengan berteriak-teriak.
“Aduh, Bapak… Aduh, Bapak! Mati kita, Pak… Matilah kita!” Ia mengguncang-guncang tubuhku. Tersentak aku bangun dengan mata yang berat. “Apa? Apa? Mak? Apa itu?!” Aku terkejut. “Bapak… Tengok dulu di luar…!” Isteriku menangis menjerit-jerit setengah menyeretku dari tempat tidur. “Tengok dulu, Pak…! Anak kerbau kita… Oooh, sudah hilang di curi oraaang…!”
Keterangan: Amang = bapak/sebuah pelengkap ekspresi dalam bahasa Batak Toba; Ito = panggilan saudara untuk lawan jenis dalam bahasa Batak Toba; Eda = panggilan sesama wanita yang dianggap setara ipar dalam bahasa Batak Toba
Cerpen Karangan: Bergman Siahaan Blog: bergmansiahaan.com @BergmanSiahaan