Aku berdiri menyilangkan kedua tangan di dada. Semua kesusahan selama ini terbayar sudah. Lunas. Tuntas. Orang lain mungkin melirikku setengah mata dengan semua kesuksesan ini. Atau, dengan rumah gubuk dan asap kayu bakar yang mengepul di dapur tanah liatku. Tetapi, dengan empat buah baju yang terpampang tepat di depanku, aku telah merasakan kepuasan yang luar biasa. Baju sebelah kiri merupakan baju pertama yang ku kenakan saat pertamaku mengecap pendidikan. Baju itu sudah kumel, dan warna merahnya sudah memudar. Walau begitu, masih ku ingat semua hal yang ku alami, sangat menyenangkan.
Saat pertama memang aku terduduk di sebuah batu besar, menggenggam botol susu panas lengkap dengan isinya. Di samping batu itu ada pohon manggis yang sering ku panjat. Beberapa kali aku jatuh, lalu Ku minum susuku pelan-pelan, dan menangis terisak. Ketika susu itu sudah habis, maka saat itulah aku baru mau masuk kelas. Semua guru telah berusaha membujukku. Tetapi aku tidak mau, dan menangis tentu saja. Lalu, mereka hanya membiarkanku. Mungkin hal ini disebabkan karena aku merupakan seorang siswa yang biasa-biasa saja di kelas. Tidak pintar, dan juga tidak nakal. Setelah itu, sangat banyak kejadian yang terjadi di masa merah-putih ini. Kejadian selama enam tahun itu terasa terulang di otakku. Begitu cepat sehingga aku tidak sempat mencernanya.
Tiba-tiba aku sudah memakai baju putih abu-abu dan duduk di kursi paling depan. Ya, semasa ini duduk di depan adalah hobiku. Entah mengapa aku sangat senang melihat guruku ketika berbicara. Gerakan bibirnya itu seakan sebuah seni yang begitu indah. Tetapi, para guru cenderung sering memarahi kelasku karena teman-teman lain menjadikan mencontek sebagai kewajibannya. Akupun bertanya-tanya, tidak pernahkah semua guruku itu mencontek dulu? Aku mirip dengan sebagian besar temanku, di kelas ini, yang lagi-lagi termasuk ke katagori rata-rata. Tidak punya kemampuan hebat dan tidak di ingat sebagai salah satu warga sekolah ketika aku naik tingkat, dan itu benar.
Aku memasukai tahap terakhir sekolah menengah. Kudapati diriku telah menggunakan pakaian putih dan celana panjang abu-abu, celana yang dengan susah payah ku beli demi dia. Aku sudah memiliki pacar, seperti yang lain. berbagai lomba ditawarkan oleh sekolah. Semua tes lomba tersebut aku ikuti, dan semuanya tidak memberikan padaku kesempatan untuk menjadi salah satu perwakilan. Sedih memang, tapi bagaimana lagi, aku tidak bisa berbuat sesuatu. Ku ingat masa ketika aku akan segera lulus, sebuah tujuan yang sejak kecil ingin ku capai. Aku telah lama menantikan hal ini. Masa di mana tidak akan ada tugas, tidak ada bangun pagi, tidak perlu meminta uang untuk menyogok teman agar setidaknya membantu ketika ulangan, dan tidak ada hal-hal membosankan lain. senyum itupun redup. Aku baru ingat, itu berarti teman juga tidak ada. Semua sosok yang mengisi hariku. Sesuatu yang tidak akan pernah kutemui nanti.
Sejak saat itu, tidak pernah ku bunuh waktu lagi. aku, yang notabene penidur kelas kakap mulai membenci kasur. Aku mencari mereka semua, menghabiskan sisa-sisa waktu yang masih bisa ku raih. Sebelum malam mulai meraba senja. Aku belajar, entah kenapa. Sangat kuhargai detik-demi detik yang berlalu. Kuabadikan hampir semua momen sekolah yang ku tahu akan sangat kurindukan nanti. Kupenuhi tembok dengan serangkaian bingkai foto teman. Tuhan waktu itu aku sungguh menyesal. Kuhabiskan waktuku dengan percuma. Jika aku bisa kembali, akan kugunakan waktu itu semaksimal mungkin. Kesedihan tersebut terus berlarut, seperti bagaimana cerita ini seharusnya.
Kuliah, sudah tidak begitu ku ingat. Yang ku tahu masa SMA yang indah telah berakhir, digantikan masa dewasa yang tidak begitu kusukai. Aku lebih suka bermain-main dan melakukan semua sesuai kehendakku. Misalnya, duduk di sebuah batu besar, di mana ada pohon manggis di sampingnya. Tepat seperti yang kulakukan sampai saat ini.
Sejenak, kuhentikan lamunan indahku. Aku tidak ingin membayangkan sisi hitam dari kehidupanku kelak. Ku lari dengan sangar dan meraih dahan pohon manggis itu. Ku panjat dengan cepat. Walau ku tahu aku akan jatuh, tepat seperti lamunanku barusan. Apakah aku akan menangis terisak juga sambil meminum susuku? Akupun tidak tahu.
Cerpen Karangan: Gede Agus Andika Sani Blog: babibubebong.blogspot.com Facebook: Sani Agus Penulis merupakan siswa SMA Negeri Bali Mandara. Keinginan terbesarnya adalah, cerpen yang ditulisnya bisa lolos koran atau website