Mata anak itu memicing. Mentari pagi bersinar, mengentaskan temaram dini hari yang sunyi. Ekoinoks vernal, sangat terasa. Peronda malam telah dirumahkan. Selimut mereka bentangkan. Saat untuk istirahat. Di sisi lain, ratusan orang bersua lantang menyambut deret baru. Hari minggu. Hari spesial. Deretan hari yang membentuk suatu pola. Pola yang bahkan tidak terumuskan oleh deret aritmatika dan geometri sekalipun. Di saat para pekerja mendambakan tempat tidur hingga larut pagi. Sungguh tentram. Kemalasan bercampur dengan bumbu keletihan membanting tulang. Di asrama, lusinan anak bergulat dengan senam pagi hari. Tiada libur bagi mereka. Siangnya, mereka menyungsung tugas keesokan hari. Besoknya, mereka bergulat untuk tugas di keesokan harinya lagi. Sampai esok hari habis, sampai saat itulah tugas mereka sirna. Anak lain, seumurannya, masih terduduk lesu menunggu ibu dari pasar. Ada juga yang menangis melihat bekas ompolan mereka semalam. Takut, jijik atau senang, mungkin. Dunia begitu kompleks. Setidaknya itu yang dia sadari. Hanya dia.
Ia telah menyongsong hari sedari tadi. Pukul 4.30. Memutar badan kiri-kanan dan menikmati jejak hujan. Hujan memang naif. Ia kira ia bisa pergi dan datang tanpa tanda seperti hantu. Tapi, kepergiannya meninggalkan kesejukan. Kedatangannya mencirikan aroma menakjubkan dari tanah. Setidaknya itu yang disadari anak itu. Dilangkahkan kaki kecilnya itu menuju kantor kepala desa. Jam 5 dini hari ia akan tiba di sana. Selepas itu, setumpuk koran minggu sebelumnya akan ia bawa. Baru saja terjaga tukang bersih-bersih di kantor itu. Melihat mata nanar, memelas tepatnya, dan semangat anak kecil itu, ia memberi koran itu tanpa sepeser koinpun.
Koran itu habis dilahapnya dalam beberapa jam kemudian. Lalu, anak itu capcus menuju sebuah warnet. Seperti biasa, ia menyulap warnet tersebut menjadi bersih dalam hitungan menit! Bahkan, penjaga warnet mengira anak ini berteman dengan debu dan kotoran lain. Pasalnya, sedikit saja ia membersihkan, semua kotoran itu menurut untuk pergi. Pergi menjauh. Tentu seorang anak ingusan sepertinya akan mengharap secercah imbalan. Pemilik warnet akan memberikan kebebasan baginya untuk menjamah salah satu komputer yang disewakan.
Begitulah aktifitas anak itu pada hari minggu. Hari lainpun nian. Ia bagai memiliki dahaga pengetahuan yang luar biasa. Sungguh aneh. Di saat anak lain mulai merangkak untuk mencari ide pokok kalimat dan operasi penjumlahan “x”, ia sudah melesat terhempas. Sungguh aneh, bagi kerabat dan anak seusia bermainnya. Soal bermain, ia paling jago. Hampir segala jenis permainan, baik tradisional dan modern, ia kuasai. Bagi anak lain yang ingin memainkan itu bersamanya, imbalan adalah bahan bakar penggerak utama. Biasanya uang.
Di kelas pun sejenis. Ia di kenal sebagai peramal ulung. Sangat ulung. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan uang bekalnya selalu ia kelola sendiri. Maminya hanya tenang-tenang saja di rumah karena anaknya sudah bisa mandiri. Jam istirahat adalah saatnya untuk berburu baginya. Ia duduk di bangku guru bak raja, teman-teman lain membentuk lingkaran yang tak simetris sama sekali. Ia mulai membaca ramalannya. “Aku, Marga, akan menyampaiakan ramalan untuk seminggu ke depan. Akan ada seorang anggota DPR yang dibui. Korupsi besar. Ia pria.” Tegas anak itu. Suara itu cukup mengheningkan seisi kelas berukuran 6 x 7 m.
Lima hari kemudian, seorang anggota DPR resmi menjadi tersangka. Dibui, sesuai ramalan anak itu. Seisi kelas terguncang. Terhenyak dalam diam. Walau ramalan-ramalan Marga tidak pernah ada yang meleset, tetapi itu selalu membawa decak kagum bagi teman sekelasnya. Hujan meteor, penemuan bakteri baru, jejak kehidupan di mars merupakan beberapa ramalan yang masih mengakar di otak temn-temannya. Kok bisa? Gimana caranya? Kamu sulap ya? Itulah pertanyaan yang sering ia terima. Dan, puluhan lembar uang hangat akan hinggap di tangannya. Teman-teman kelasnya telah bersedia untuk membayar sejumlah uang untuk ramalan itu. Ramalan yang ia akui membutuhkan semedi untuk mendapatnya.
Hingga ramalan ke-sekian, seisi desa telah mengetahui. Iapun telah beranjak SMP. Bahkan guru BK, yang juga orang yang memberinya setumpuk koran di pagi buta, memanggilnya. Meminta klarifikasi pada sosok Marga. “Ibu harus janji tidak bersua pada yang lain” kata Marga lirih di telinga guru BK itu. Guru Bk itu tersenyum. Sebentar lagi ia akan mengetahui rahasia Marga, anak ajaib yang mengguncang seisi desa, bahkan provinsi. Percakapan mereka menghabiskan jam pelajaran hingga semua siswa akhirnya pulang. Ibu Wanda, si guru BK, tersenyum puas dan bertekad memagang teguh komitmennya. “Hebat! Anak itu beruntung.” Ayahnya pasti orang hebat” pikir Ibu Wanda sambil berlalu.
—
Mataku memicing. Mentari pagi bersinar, menghentaskan temaram dini hari yang tak pernah muncul. Ekoinoks vernal, tersembunyi. Di sini. Bukan di lain tempat. Tak ada peronda malam. Tak juga ada pekerja. Yang ada hanya penikmat. Penikmat kedamaian dan ketentraman hasil karma di dunia. Di sini aku tahu mereka. Tapi mereka buta akan aku. Setidaknya aku bisa tersenyum akan statistik anakku yang terus membumbung. “Bagus anakku. Ayah bangga padamu.” Aku bersyukur. Setidaknya, warisan terakhiku bisa ia tangkap, walau tidak sepenuhnya. Aku tiba-tiba bernostalgia rindu, meretah kenangan saat itu bersama Marga. Di atas awan ini, kubentangkan selimut embun dan dihangatkan sinar matahari. Ketika itu, ajalku telah berada si depan. Begitu dekat. Akupun sadar. Lalu hari-hari berikutnya kuperkenalkan Marga dengan Ilmu Pengetahuan, sesuatu yang mungkin terlalu dalam untuknya. Tapi tidak sedalam cintaku. Kuambil resiko mengajari sains dan cabang-cabangnya. Bisa saja ia gila, atau autis atau bahkan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Jika itu terjadi, akan kuandalkan cintaku ini sebagai obat paling manjur, dan kemampuan sainsku, mungkin.
Marga menyerap semua dengan sangat menakjubkan. Ia mewarisi darah peneliti yang terpompa pada diriku. Dahaganya begitu besar akan sains. Aku terus menjejalinya dengan ilmu pengetahuan. Semua disiplin ilmu telah kupaketkan dengan menarik, agar ia mengerti tanpa mendalami teralalu berat. Penyebab ia agak kurang di kelas adalah karena ia tidak mengerti tentang nama-nama dari sesuatu yang diperkenalkan di sana. Padahal, ia bisa. Aku tidak terlalu mempermasalahkan semua itu, bagaimanapun, ia tetap anakku. Sesal masih meretas malu di uluhatiku. Pesan terakhir. Sesuatu yang paling penting. Intisari penemuanku di dunia ini belum kusampaiakan. Untunglah aku sempat menulisnya. Tetapi, waktu terlalu cepat menjemputku. Harap-harap cemasku, tulisan itu dibacanya. Suatu hari.
—
Sepulang sekolah Marga merebahkan tubuh mungilnya di kasur. Tak terasa, masa SMA sudah akan habis terlahap waktu. Ia masih terpaku dengan penelitian, buku-buku dan sedikit ramalan usang untuk menambah bekalnya. Ia ingat dengan nasihat ayahnya. “Ada sesuatu yang ketinggalan” batinnya. Impuls meloncati selubung myelin dan menuju sumsum tulang belakang. Gerak refleks. Ia berlari. Bersungging di depan sebuah kotak. Aneh. Kotak itu sudah sangat tua. Jamur Flammulina elastica dan lumut hati sudah bermetamorfosa indah. Ia memutar otak. Mencoba mengerahkan kemampuan membuka kotak itu. Tidak bisa. Ia menyerah.
Sebulan sudah, kotak itu berhabitat resmi di laci belajar. Tempat favoritnya, mendalami berita dari koran dan internet untuk merumuskan suatu ramalan pasti. Teman lain tidak tahu, ia membohongi mereka. Ramalan pelbagi peristiwa yang notabene sudah “tersirat” di koran dan dunia maya. Hanya butuh sedikit memparaferasekan. Ada kejanggalan. Aneh. Malam kini tak berselimut kabut. Hujan tak mampu menurunkan derajat celcius di tubuhnya. Enzim di raganya melakukan percepatan, mengikuti kenaikan suhu tubuh di malam hari. Ia mendongak. Kotak itu berpendar merah, menghapus temaram malam yang mencekam. Perlahan ia terhenyak, tanpa asa tanpa nestapa. Rangkaian molekul di sekitar kotak itu terhisap. Perlahan tapi pasti. Sepasti lubang itu yang akan menghisa dirinya. Ia terjaga. Mencoba menghapus keruh lubang pikiran yang mulai terpompa pengalaman. Einstein muncul di tubulus otaknya. Dibungkusnya tubuh kekar itu dengan selimut ketat. Panas. Gerah. Tak terdefinisi. Selimut itu perlahan terionisasi menjadi atom. Begitu saja. Ia tak tahan lagi. Panas. Ia kira ia mati, tapi tidak.
Ia terlempar oleh puing ruang dan waktu. Ia terjerembab menuju masa lalu. Ayahnya mulai menulis surat, itu penglihatan pertama yang di tangkap korneanya. Surat yang tidak ia tahu akan mengubah dunia, jika sampai di tangannya. Surat yang berisi kesimpulan utama, maha besar. Ia tak acuh terhadap surat itu. Tulis tangan ayahnya selalu membuatnya bingung. Ia melonggakkan diri untuk lebih melihat Marga kecil, sosok dirinya di masa lalu. Ia melihat Marga kecil sedang di latih. Serius sekali. Ia menangis. Sesal. Derita. Kecewa. Semua teraspirasi. Masa mudanya tidak seindah teman lain. ia merasa semua yang ia hadapi tak berarti. Kebencian itu menggedor otak. Ingin keluar. Hasil adalah tujuannya. “Setidaknya aku harus menemukan sesuatu! Papa! Maafkan aku jika belum berhasil. Mungkin papa ingin aku menemukan sesuatu seperti layaknya papa. Seperti layaknya partikel-partikel kecil yang papa temukan bersama grup papa.” Tangisnya dalam hati. Otak Marga berputar keras. Kepalanya mulai menusuk kesadaran ilahi. Citta diri terganggu. Bersama itu, ia merangkai beberapa device yang langka. Masih melihat Marga kecil. Di masa lalu.
Matanya memicing. Mentari pagi bersinar, mengentaskan temaram dini hari yang senyap. Ekuinoks vernal, tak teraba oleh kulitnya. Yang ia tahu kali ini ia berperan sebagai neutrino. Tidak lebih. Kali ini ia tercipta, seperti biasanya. Ia tahu, Marga akan mendeteksi keberadaan dirinya. Berdecak dan kagum. Ia akan tertawa. Tersenyum. Seperti halnya saat menertawai papa Marga dulu. Benar saja. “Yee! Aku menemukannya! Ternyata ini.” Teriak marga kegirangan, menurunkun konsentrasi adrenalin yang terlepas sedari tadi. Ia lalu tersenyum. Tertawa, menepati janjinya.
Ia menjadi terbayang. Dulu. Berkat kepercayaan dan usaha dari seorang peneliti, ia termanifestasi menjadi Higg Boson. Partikel pemberi massa. Dunia gempar. Geger. Ia kembali tertawa. Tersenyum. Asa muncul dalam dirinya untuk membeberkan semua. Tapi itu larangan. Biarlah, ia tertawa terus. Menjemput hayat yang tak pernah menggelayut padanya. Hidupnya hanya berputar pada perubahan sebagai partikel. Menjadi Higg Boson, menjadi kuark, menjadi proton, muon, graviton, dll.
Didapati Marga sedang menangis. Kali ini, surat ayahnya ia baca. Ia tidak cemas, dengan semua rahasia dunia yang tertulis di dalamnya. Ingin ia berbalik, tapi sebagai sebuah partikel, dengan kecepatan cahaya, ia harus melewati seluruh alam semesta sebelum dapat kembali lagi. Ia melewati spektrum cahaya ungu, bukti dari alam semesta yang terus berkembang. Satu putaran alam semesta sudah. Telah didapati marga mengembalikan surat itu. Surat itu, robek. Tentu saja itu ulahnya.
Tidak mungkin ia membirkan Marga tahu bahwa semua hal yang ilmuan temukan adalah hasil penciptaan sebuah super-ultra-megakomputer, otak. Tidak mungkin ia membiarkan Marga tahu bahwa kepercayaanlah yang membuat otak bekerja keras, sekeras sesuatu yang tidak terbayangkan, dan menciptakan hal yang kita hayalkan, kita percayai, sebelumnya. Mungkin kalian sekarang tahu, kenapa semua ilmuan butuh kerja yang super, mengabdikan hidup, meng“gila”kan diri, mengasing dari peradaban, membiarkan istri/suami di curi orang, untuk sekadar meramalkan sesuatu. Cuma satu. Untuk mengaktifkan super-ultra-megakomuter ini, tapi mereka tidak tahu, belum. Belum untuk milyaran tahun lagi, mungkin. Tidak mungkin ia membiarkan Marga tahu bahwa ilmu pengetahuanlah, bahwa sainslah, yang akan menghantarkan manusia menyadari hal tersebut, nanti. Mengubah dunia. Menciptakan hal baru. Pucuk prestise. Abstraksi maksimal dari pucuk realitas dan kebudayaan tingkat tertinggi.
Tapi tentu saja ia membiarkan Marga tahu bahwa papanya sangat mencintainya. Membiarkan potongan surat itu sobek pada tempat yang tepat. Cukup memberitahu Marga bahwa ia harus terus mengembangkan sains. Meninggalkan ide pokok surat sebagai sebuah misteri. Membuat marga, umat manusia, menciptakan katalistnya sendiri.
Terakhir kali, ia melihat Marga pergi ke masa depan. Melewati masa di mana ia seharusnya hidup. Mengumumkan Neutrino. Mengadakan penelitian. Neutrino, subjek penellitian itu. Lalu, kembali lagi ke waktu di mana ia seharusnya berada. Mengumpulkan masa. “Wahai orang-orang, saya akan meramalkan sesuatu terhebat. Akan ada penemuan dan penelitian tentang sebuah partikel baru. Mengguncang dunia. Semua akan tercengang” teriak Marga. “Itu temanku. Dia peramal ulung. Aku bertaruh rumah untuknya” jawab teman kelas Marga. Mata Marga memicing. Tersungging sebuah senyum tipis. Senyum seorang peramal ulung.
Cerpen Karangan: Gede Agus Andika Sani Blog: babibubebong.blogspot.com Facebook: Sani Agus Penulis merupakan penggemar cerpen, siswa SMAN Bali Mandara. keinginan terbesarnya adalah bisa masuk website dan koran