Waktu terus berjalan semakin larut. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun wanita tua itu belum juga tidur. Beliau masih terjaga di depan pintu. Hatinya gelisah dan cemas. Tampaknya wanita itu tengah menunggu seseorang yang belum juga datang. Berulang kali beliau melirik jam dinding yang berdentang keras. Hampir 2 jam semenjak isya usai, wanita itu tetap bertahan di depan pintu menunggu anak gadisnya pulang. Di tengah kegelisahan yang beliau rasakan, terdengar ucapan salam seorang gadis yang memasuki halaman rumah. “assalamu’alaikum, bu” sapa gadis itu mencium tangan ibu nya. “wa’alaikumsalam wr.wb” jawab bu Salamah datar. Apri merasa ada yang berbeda dengan sikap ibu nya malam itu. Tidak seperti biasa, beliau bersikap dingin padanya. “maaf bu, Apri terlambat,” ucap Apri lirih. Bu Salamah memgunci pintu tanpa menghiraukan apa yang Apri ucapkan. “acara kampus lagi?” tanya bu Salamah acuh. Apri mengangguk pelan. Pandangannya tertunduk menatap lantai. “cepatlah kau mandi. Ibu sudah siapkan air untukmu. Kalau mau makan, ambil sendiri di dapur dan lekas lah kau istirahat,” bu Salamah meninggalkan Apri yang terpaku di ruang tengah. Ia hanya terdiam tanpa berkata apa pun. Ini kali pertama ibunya bersikap acuh padanya. “ibu, apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ibu bersikap seperti itu?” tanpa terasa Apri menangis dalam diam nya.
Segera ia membersihkan diri dan bergegas menuju kamar nya. Tampak kakak nya masih terjaga di depan komputer. Apri melangkah pelan mendekati Hendra di ruang belajarnya. “Mas Hendra…” sapa Apri pelan. “kamu sudah pulang, Pri? Syukur deh. Ibu mengkhawatirkan kamu sejak tadi,” jawab Hendra tanpa beralih dari layar komputer nya. “sepertinya ibu marah padaku mas. Tidak seperti biasa, sikap ibu terlihat acuh padaku,” “mana mungkin ibu marah padamu. Kamu kan anak kesayangan ibu. Mungkin hanya perasaan kamu saja,” Apri terdiam. Pikiran nya terpaku pada sikap ibunya. Ia merasa harus meluruskan permasalahan itu. Dengan hati yang tekad, ia menemui ibu nya yang sedang menjahit di kamar. “Bu…” sapa Apri pelan. Tak ada jawaban dari bu Salamah. Beliau tampak mensibukan diri dengan jahitan nya. “Apri minta maaf bila Apri punya salah pada Ibu. Apri mohon jangan diam kan Apri bu” pinta Apri. Tanpa terasa, air matanya menetes perlahan. Ia kembali tertunduk. Bu Salamah menghentikan mesin jahitnya. Beliau memandangi putri bungsunya dengan iba. Tak tega bu Salamah menyaksikan putri nya menangis. Di dekapnya erat tubuh Apri. Beliau mengusap kepala Apri pelan. “Ibu tidak marah padamu, nak. Ibu hanya mengkhawatirkan kamu. Maafkan sikap ibu tadi yang membuat kamu sedih. Ibu hanya tidak ingin terjadi apa-apa padamu, melihat sekarang kamu selalu pulang malam dan jarang di rumah,” “Maafkan Apri yang sudah membuat ibu khawatir. bukan maksud Apri untuk berbuat demikian, tetapi kesibukan Apri yang di kampuslah, yang tidak dapat Apri tinggal kan bu. Semua karena Apri memiliki amanah untuk turut serta dalam kegiatan kampus bu.” “ibu tahu nak. Tapi hampir tiap hari kamu sibuk di kampus, bahkan kamu tak punya waktu untuk di rumah. Berangkat pagi, pulang malam. Sabtu minggu selalu ada acara, sepadat itukah kegiatan kampus mu nak?” tanya ibu. Apri terdiam. Pikiran nya terhenti seketika. “Sebenar nya ibu tidak melarang kamu untuk ikut dalam kegiatan kampus. Malah ibu sangat mendukung sekali kamu turut serta. Namun, jika ibu perhatikan, belakangan kamu terlalu fokus pada kegiatan kampus. Ibu takut kamu mengesampingkan belajar mu Apri. Ingat nak, kamu ibu amanahi untuk belajar, berorganisasi itu hanya sampingan. Ibarat ilmu isLam, belajar adalah wajib, sementara berorganisasi adalah sunnah. Islam mengajarkan kita untuk mendahulukan yang wajib. Ibu berkata seperti ini hanya sekedar mengingatkan kamu untuk tetap mengutamakan belajarmu. Ibu ingin melihat kau berhasil menyelesaikan pendidikan kamu dengan baik,” Diam diam Apri terisak dalam pelukan ibu nya. Ia terharu dengan apa yang telah ibu nya sampaikan. “Ibu memahami sekali posisi kamu yang mendapat amanah dalam berorganisasi. Ibu sangat mengenal kamu yang teramat menjaga amanah itu, hingga membuat kamu harus mengorbankan banyak waktu untuk itu. Apakah kamu tidak capek nak menjalankan semua itu? Kalau boleh ibu tebak, belajar kamu terbengkalai kan karena kegiatan kampusmu? Ibu melihat proses belajar kamu menurun bila dibandingkan ketika SMA dulu. Tapi, sudah lah. Yang dulu biarkan berlalu. Ibu berharap sekarang kamu dapat membagi waktu dengan bijaksana, antara kuliah, organisasi, dan belajar,” lanjut bu Salamah pelan. “Apri, tidak tahu harus berkata apa pada ibu. Tapi, Apri sangat terharu dengan pesan Ibu buat Apri. Kalau boleh jujur, Apri merasa kurang bisa membagi waktu hingga semua terasa berat buat Apri. Tapi, ini adalah amanah yang harus Apri laksanakan bu. Mohon doa restu ibu, agar apa yang Apri lakukan, bermanfaat dan barakah. Apri bersyukur sekali memiliki ibu yang teramat sayang dan perhatian pada Apri. Terima kasih bu” kata Apri. Kedua nya larut dalam haru.
Pagi-pagi sekali Apri sudah bangun. Remaja yang masih duduk di bangku kuliah semester 2 itu, sudah siap untuk berangkat ke kampus. Bu Salamah tampak sibuk mempersiapkan bekal untuk putri bungsu nya. “Nanti pulang kuliah jam berapa nak?” tanya bu Salamah. “Insya Allah jam 6 bu. Nanti ada rapat sosialisasi PPS mahasiswa baru, Makrab dan Seminar Nasional, jadi mungkin Apri agak terlambat bu. Maaf…” “Ya sudah tidak apa-apa. Ibu berpesan agar kamu berhati-hati. Ingat nasihat ibu tadi malam nak,” Bu Salamah tersenyum. Apri mengangguk pelan. Deru motornya segera meninggalkan halaman rumah itu. “Ya Allah… limpahkan rahmat dan keselamatanMu pada putri hamba. Kuatkanlah hati dan imannya agar senantiasa ada dalam kebaikan. Amin.”
Hampir tiga puluh menit Apri menempuh perjalanan menuju kampus nya. Begitu sampai, ia sudah di sambut oleh kakak tingkat nya di parkiran. “Pagi sekali berangkat dek?” sapa Annisa, kakak tingkatnya. “Kebetulan ada pekerjaan yang harus aku selesaikan kak. Kakak sendiri juga berangkat pagi,” “iya dek. Baru ada urusan juga,” “Ehm, kak Nisa.. sebelum nya, terima kasih atas nasehat kakak kemarin. Apa yang kak Nisa sampaikan berarti sekali buat aku. Aku jadi semangat buat mengatur waktu dan menyelesaikan tugas sekarang. Beruntung sekali aku mengenal kak Nisa yang selalu menyemangati aku,” ucap Apri tersenyum. “Sama-sama dek. Pokok nya tetap semangat dan harus selalu semangat,” Annisa menepuk bahu Apri pelan. Dalam hati, Apri bertekad, ia akan terus selalu semangat untuk menyelesaikan pendidikan nya. Ia berharap suatu saat nanti, ia dapat memberikan yang terbaik untuk kedua orangtuanya.
Cerpen Karangan: Dewi Apriani Facebook: Dewi Apriani