Juwari menatap beberapa anak berpakaian putih abu-abu bertengger di warung kopi terminal, berlomba mengepulkan asap pembakar jantung di mulutnya. Sesekali tawa lebar terdengar. Cerita tentang modifikasi motor masa kini terlihat menjadi topik hangat. Juwari melirik pada jam tangan yang melingkar di tangannya, masih pukul 11.00, mereka seharusnya duduk di deretan kursi gedung sebelah. Mendengarkan guru yang sedang berpetuah atau merampungkan rumus trigonometri yang membuat gerah. Tapi lihat, mereka yang masih dengan almamater sekolah justru melakukan hal-hal yang tidak berfaedah.
Juwari menerawang ke masa lalu. Dulu dia bahkan tak sempat saling memamerkan barisan gigi dengan teman-temannya. “Anak-anak sekarang,” batinnya. Puluhan tahun yang lalu, jam-jam seperti saat ini adalah saat untuk berperang. Tanpa senjata, tanpa janji bayaran.
“Juwari. Pulau kamu sudah jadi, ayo bangun,” gertak Bu Rinai dengan penggaris panjang di tangan. Yang dibangunkan hanya mengelap lelehan panjang di sudut bibirnya, menguap lalu sedetik kemudian kepalanya tersungkur lagi ke meja. Tak ada alasan baginya untuk tidak tertidur saat pelajaran, ketika matahari belum ingin menggeliat dari tempat tidurnya, bahkan belum bersiap mengerjap-ngerjapkan sinarnya di ufuk timur, ketika itu pula tubuh Juwari yang tak berbobot sudah harus mengakhiri dengkurannya. “Juwari. Kerbau-kerbau sudah bangun. Kau masih belum bangun?” Suara khas Pak Ruslam keras menggetarkan dinding kamar Juwari. “Iya Pak,” jawabnya malas. Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Setelah itu Juwari masih nyenyak, belum bisa menghilangakan perekat pada matanya. “Juwari, kalau kamu telat lagi cari rumputnya, sebagai gantinya kamu harus membersihkan kandang kerbau, tidak usah berangkat sekolah,” Kalimat sakti itu akhirnya terucap, membuat Juwari segera berjingkat. Pancuran air di belakang rumah yang separuh untuk mengairi sawah, cukup untuk dipercikkan ke beberapa bagian tubuh Juwari sebelum sembahyang. Sama seperti seorang pencopet yang terhuyung-huyung dalam pelarian, juga Juwari. Kolonjono, itulah yang dia cari. Rumput hijau memanjang mirip daun jagung itulah makanan segar bagi kerbau-kerbau di peternakan samping rumah Pak Ruslam.
“Nah, ini uangnya 5 ribu ya, besok kalau bisa lebih pagi lagi ya,” ujar Pak Saleh, tetangganya. “Ya Pak,” jawab Juwari ketus, tak bertenaga. Uang ini seharusnya bisa untuk membeli baju baru, pengganti baju sekolah Juwari yang tak pernah terkena jejak setrika, lusuh. Tapi, Juwari masih ingat beberapa waktu lalu ketika dia memberanikan diri meminta ijin untuk menggunakan uang dari Pak Soleh. “Pak, uang ini boleh saya buat beli baju?,” tanya Juwari. “Boleh. Tapi biaya sekolah kamu bayar sendiri ya.” jawab pak Ruslam enteng. “Tapi Pak, baju saya sudah ..” “Juwari, kamu ini seharusnya bersyukur sudah tak biayai sekolah. Biaya sekolah itu mahal, anak saya masih kecil-kecil juga butuh biaya nantinya. Kalau kamu keberatan, ya sudah kamu pulang saja ke rumah Bapakmu. Toh kamu sendiri yang rugi.” Itulah argumen Pak Ruslam. Memekik seperti burung gagak yang kelaparan.
Kini Juwari melayangkan pandangan pada gadis berpakaian putih abu-abu dengan make up tebal di wajahnya. Mengaitkan tangan di paha lelaki yang juga berpakaian sama. Mencubit mesra, tertawa bersama. “Ah, aku dulu bahkan tidak pernah melihat perempuan cantik kecuali Bu Rinai. Teman sekelasku 17 orang, 5 perempuan. Kelimanya, aku bahkan hanya sempat mengenal namanya.” kenang Juwari sembari tersenyum kecut. “Anak-anak sekarang,” ucapnya lirih.
Juwari ingat betul, dahulu 2 kali dalam sehari dia hanya bisa menyedekahi perutnya dengan nasi thiwul, krupuk dan sambel korek. Setiap hari tubuhnya berteriak, aku butuh gizi, tapi siapa mau dengar. Tak ada. Istri Pak Ruslam sengaja memisahkan nasi beras dan nasi thiwul dalam almari yang berbeda. Untuk melihat rupa nasi beras pun Juwari tidak bisa, karena gembok selalu rapat menjaga. Kejamnya hidup, batinnya.
Lonceng tanda jam pelajaran sekolah pun berakhir, tapi Juwari masih malas berjingkat dari tempat duduknya. Kembali dari sekolah, tidak ada sapaan lembut dari orang tua, bagaimana sekolahmu Nak, ibu sudah siapkan makan siangnya, segera istirahat Nak, tidak ada. Yang santer terdengar di telinganya hanyalah ocehan istri Pak Ruslam. “Cuciannya sudah saya taruh di samping sumur, yang benar nguceknya, jangan sampai robek lagi baju Bapak,” ujarnya dengan nada tinggi. Juwari mengangguk lesu.
Adzan ashar sebentar lagi akan terdengar di sela matahari yang mulai lengser dari singgasananya. Sebuah komando untuk sembahyang dan juga untuk segera ikut Pak Ruslam memikul beberapa kebutuhan untuk membuka warung sate. Menyaksikan pelanggan menyantap sate dengan lahap yang satu dua diantaranya adalah kawan Juwari di sekolah, sungguh sangat menyiksanya. Hingga arloji menunjukkan jarum ke angka 11, Juwari baru bisa berjalan-jalan ke alam mimpi.
Hampir 2,5 tahun Juwari hidup nelangsa. Kadang air mata kerinduan pada orangtua tak mampu dia bendung. Memakai putih abu-abu memang bukan hal yang mudah. Dia kembali pada cuciannya yang segunung. Hingga Andi, anak 11 tahun Putra sulung Pak Ruslam mengencingi semua pakaian yang sudah siap jemur. “Andi, kemarin tanah, kotoran sapi, sekarang kamu kencingi. Kamu jadi anak jangan nakal abang sudah capek,” bentak Juwari dengan notasi yang meninggi. “Andi nggak nakal kok. Kata Bapak, bang Juwari itu cuma pembantu, jadi ya terserah Andi mau ngapain iya kan? Week…” jawab Andi sambil menjulurkan lidahnya. Wajah Juwari terasa mendidih. Hatinya terbakar. Sedetik kemudian ia mendaratkan gayung dengan amarah di kepala Andi. Suara tangis kemudian pecah. Pulang. Tak ada pilihan lain. Tanpa bentakan dari Pak Ruslam pun tentu dia sudah berniat untuk kembali. Juwari pulang tanpa selembar ijazah, tak seperti dalam angannya.
Juwari, dengan uban yang kini mengintip di sela rambutnya, tengah mendengarkan dengan seksama seorang pengajar yang usianya jauh di bawahnya. Juwari tak malu, walau tingkatnya kini sama dengan putri sulungnya. Ya, Juwari melanjutkan pendidikannya. Walau 20 tahun telah berlalu.
Kembali dia membaca berita di sebuah koran harian, seorang pelajar SMK meninggal akibat aborsi. Dia hanya bergumam. “Anak-anak sekarang,”.
Cerpen Karangan: Gifta A. Deka Facebook: Jhimi Rohmah
Tentang Penulis Nama: Rohmah Jimi Sholihah Nama Pena: Gifta A. Deka TTL: Wonogiri, 28 April 1994 Alamat: Soco Rt.02 Rw IV, Slogohimo, Wonogiri,Jawa Tengah Status: Mahasiswa 4A, Fakultas Tarbiyah dan Bahasa Prodi Pendidikan Agama Islam IAIN Surakarta