Ketika pagi akan menjelang, rerumputan masih terbasahi embun yang memaksa mendinginkan udara pagi di kaki bukit Gunung Slamet. Embun pula yang meneteskan air di dedaunan pohon-pohon hijau. Ayam-ayam berkokok saling bersahutan menandakan kesibukan manusia akan segera dimulai, bagaikan opera alami yang natural.
Sebelum bangun, mata ku selalu melirik ke arah jam dinding untuk memastikan benar-benar pagi telah layak untuk disambut. Setiap pagi sebelum azdan berkumandang selalu terdengar rintihan pintu rumah kayu kami ketika dibuka. Kreettt, Bapak membuka pintu sembari berteriak memanggil dan mengajaku untuk pergi bersama sholat berjamaah di mushola tak jauh dari rumah kami.
“Royan, bergegaslah ke mushola, bapak tunggu!” “Iya pak, Royan segera menyusul”
Sepulang ku dari mushola, aku langsung bergegas membantu ibu ku yang sedang sibuk memasak untuk keperluannya berjualan nasi di depan rumah kami. Ya, aku adalah anak seorang penjual nasi, hidup kami sederhana, tak banyak keinginan kami yang bisa tercapai. Sejak kecil Bapak ku selalu mengajari ku untuk tidak banyak berharap kemauannya bisa terpenuhi meskipun aku adalah anak tunggal.
Nanti adalah hari yang berarti bagi ku, hasil sekolah ku selama 3 tahun akan diwakili keberhasilannya oleh hasil ujian nasional yang hanya 4 hari. Aku mengingatkan lagi kepada Bapak ku kalau nanti sebelum jam 1 siang beliau harus sudah ada di sekolah ku untuk mengambil pengumuman yang aku dan teman-teman lain nanti-nanti.
Sampailah kami di sekolah SMK MUSASI biasa disebut. Seluruh siswa duduk berdampingan bersama walinya dengan memegang amplop berisi hal yang sangat menentukan nasib kami, begitu juga aku. Semakin tidak karuan detak jantung ini ketika sang Guru mengatkan satu demi satu kata untuk membuka amplop bersama.
Terbayar sudah seluruh keringat yang bercucur, dan wajah pucat, serta hati yang gelisah oleh satu kata yang bermakna besar. LULUS
Saat berbincang malam hari bersama dengan keluarga menjadi momen yang tepat untuk membicarakan tentang masa depan ku akan seperti apa. Royan: “Pak, Bu, Royan ingin meminta izin untuk meneruskan belajar ke pereguruan tinggi?” Bapak: “Kalau mau merencanakan sesuatu itu dipikir secara matang, mawas diri, lihat kondisi orangrtua mu.”
Mendengar kata-kata dari Bapak ku, aku tidak bisa menjawab apa-apa lagi, Bapak pun langsung pergi ke kamarnya tanpa berkata-kata lagi. Aku sudah cukup mengerti dengan kalimat singkat Bapak. Entah kenapa akhir-akhir ini sikap Bapak menjadi kolot. Dulu Beliau yang sangat menginginkan aku untuk bisa menjadi seorang sarjana hukum, tapi kini… Aku tahu Bapak tidak mengharapkan hal itu lagi.
Aku tak perduli seberapa kolot Bapak sekarang, aku hanya bisa berpikir tentang bagaimana aku harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa.
Tanpa sepengatahuan Bapak, aku terus berjuang mecapai impian ku. Ibu pun tak tahu kalau aku diterima di UGM. Yang mereka tahu, aku bekerja di Yogyakarta. Padahal sambil bekerja pun aku mampu kuliah tanpa membebani kedua orang tua ku. Tapi Bapak ku tetap tidak menyukai hal itu.
“Yan, yan”, Terdengar suara teman ku dari jauh, ternyata Erlan teman ku yang paling baik di sini. Royan: “ada apa lan” Erlan: “royan, kamu harus merencanakan sesuatu agar kedua orang tuamu mau datang ke acara wisuda mu nanti” Royan: “lan, mau ku juga begitu, tapi bagaimana bisa?” Erlan: “aku punya ide yan, begini idenya” Erlan pun membisik di telinga ku. Royan: “baik lah, aku akan berusaha, makasih ya sob” Erlan: “iya sama-sama”
Sesuai saran dari Erlan, aku pun meminta Bapak dan Ibuku untuk datang kesini tanpa memberitahu apa alasannya.
Sampai lah pada hari ketika aku di wisuda. Bapak: “Royan, untuk apa kita di suruh datang ke acara wisuda mahasiswa UGM?” Royan: “Pak, royan kan bekerja di sini, boleh lah Royan ikut memeriahkan acara ini” Ibu: “Ya sudah, tidak usah dipermasalahkan lah pak”
Saat itu pun tiba, Pak Luki dosen matakuliah hukum memanggil nama-nama mahasiswa satu persatu sampai dengan nama ku, semua perasaan ku bercampur jadi satu. Takut dan senang, sedih dan bahagia.
Ketika namaku di panggil. Pak Luki: “Ahmad Royan Ramadhan bin Khalik” Saat itu kulihat kedua orangtua ku tercengang, Bapak ku pun terdiam. Akupun naik ke atas panggung. Pak Luki: “berikut kami akan umumkan, siapa saja mahasiswa yang berhak untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan mengabdi di dinas hukum yang bekerjasama dengan kampus kami, Yang pertama Aulia Sintia bin Wardoyo Yang kedua Doni Fahreza bin Ikhsan Yang ketiga Ahmad Royan Ramadhan bin Kholik, Nama-nama yang telah saya sebut mohon untuk mengajak wali nya naik ke atas panggung dan memberi sedikit sambutan”.
Aku hampiri kedua orangtua ku, tampak ibu sedang menangis di bahu Bapak, aku bersimpuh di kaki Bapak dan Ibu, berharap mereka memaafkan kebohonganku, tak tahan melihat Ibu menangis.
“Royan, giliran mu untuk memberi sedikit pidato” kata Pak Luki menyeru ku,
Royan: “Alkhamdulillah, Terimakasih Ya Robb, Alloh mendengar doa yang selama ini aku panjatkan, Aku berterimakasih kepada semua teman-teman, kepada para dosen yang selalu mengajari kami dengan penuh kasih, terimakasih juga Pak Luki yang sudah memberi kesempatan untuk mengabdi. Terimakasih Bapak dan Ibuku yang berkenan untuk datang ke sini hari ini, maafkan anak mu yang selama ini tidak jujur kepada kalian. Ya, aku telah berbohong kepada Bapak dan Ibu ku, berbohong kalau aku hanya bekerja menjadi penjaga perpus di kampus ini, maaf pak, bu, Ibu terus menangis mendengar pidato ku, dan Bapak, aku tidak pernah melihat Bapak sesedih ini”,
“Maafkan Royan, tidak ada maksud buruk dari ku, aku hanya berlari dari sikap kalian yang tertutup karena keterbatasan ekonomi, apakah Royan salah memiliki impian dan cita-cita, bagi Royan, keterbatasan ekonomi keluarga kita bukan penghalang untuk mencapai sebuah kesuksesan”.
Suasana semakain mengharukan, air mata ku pun tak terbendung lagi, terlebih melihat Bapak yang tangisannya semakin deras.
Aku hampiri Bapak dan Ibu yang terus menangis, Bapak: “Begitu lama kamu membohongi orang tua mu ini yang tidak mampu memberi kebahagiaan untuk mu” Royan: “Bapak, (sambil merintih) maafkan Royan pak, bukan maksud Royan untuk menjadi anak yang durhaka, Royan hanya menuruti kata hati” Ibu: “ibu kecewa pada mu nak, kenapa tidak kamu bicarakan terlebih dahulu kepada kami. Tapi kekecewaan Ibu bercampur dengan kebanggaan.” Bapak: “bapak tidak tau lagi harus berkata apa, kalau ini menjadi pilihan mu, bapak hanya bisa berdoa untuk masa depan mu yan, memang bapak salah dalam hal ini.” Ibu: “ya sudah semua sudah terjadi,” Royan: “iya bu”
Sekarang aku telah bekerja di pengadilan hukum di Jakarta. Aku bersyukur, pilihan ku untuk tetap kuliah tidak salah, meskipun rintangan yang sangat besar adalah mencoba berbohong kepada orang tua. Tidak pernah ada niat buruk dalam hal ini, dan sejak awal aku sudah yakin bahwa pilihan ku akan indah jika aku melakukannya dengan sepenuh hati. Tapi ini aku lakukan untuk mereka juga, aku ingin mensejahterakan Bapak Ibu, membuat bahagia mereka, meskipun, semua yang aku beri tidak akan pernah bisa membalaskan perjuangan mereka yang telah merawat dan mendidik ku.
Aku belajar dari kisah ku, rintangan aku anggap sebagai batu penghalang, semakin tinggi batu itu maka aku akan berusaha untuk melompat lebih tinggi sampai aku bisa melewatinya. Begitu juga dengan kalian kan. Jangan menyerah dari kegagalan yang hanya sekali dua kali, karena semua itu hanya sebagian jalan terjal kita menuju kesuksesan yang tentunya indah.
TERIMAKASIH ALLAH
Cerpen Karangan: Rosmania Robbi C Facebook: Rosmania Robbi Chatun Nama lenkap: Rosmania Robbi Chatun Alamat: Pakishaji Kaligiri RT 4 RW 4 SirampoG Brebes 52272