Sabtu, 18 Mei 2013 Di pagi yang cerah itu, aku bergegas menuju ke masjid. Kakiku melangkah dengan cepat. Hatiku risau. Sepertinya aku telah mengecewakan teman-temanku karena telah membuat mereka lama menunggu. Oupss, Bukan sepertinya, memang benar-benar telah mengecewakan mereka. Kebiasaanku menggunakan “jam karet” masih menjadi bagian dari accesoris kedisiplinanku di minggu ini. Huffht… Aku tak bisa membayangkan wajah teman-teman yang pastinya telah ada “tanduk” di atas kepalanya. Dengan wajah merah padam. Tentu saja bukan seperti wajah seorang wanita yang memerah setelah dipuji oleh sang lelaki pujaannya. Tapi wajah merah dengan alis garang seperti burung-burung dalam game angry bird. Hooaahhh… Ngeri rasanya bila membayangkannya.
Tapi aku tak hendak merisaukannya. Kuberanikan diriku melangkah ke arah mereka. Benar juga. Beberapa dari mereka bercuap-cuap melontarkan kekecewaannya pada teman-teman yang tak bisa on time. Namun ada juga yang masih santai dan calm, entah mereka marah atau tidak, tapi yang jelas mereka pasti kecewa. Mungkin karena telah bosan menunggu.
Singkat cerita, kamipun berangkat menuju sebuah desa kecil di Sidoarjo. Aku dan belasan temanku menaiki sebuah angkutan kota (angkot). Coba bayangin seperti apa keadaan kami ketika menaiki angkutan kota yang telah kami sewa untuk menuju ke sana. Hemmbb… Dengan banyaknya bawaan kami yang juga menambah kemeriahan di dalam mobil. Yah meriah… Mulai dari tas-tas kami, 3 buah galon aqua, serta barang-barang yang akan kami bawa ke sana. Wuuuih… Amazing sesaknya. Haha… Walaupun dalam keadaan seperti itu, kami masih tetap gembira dan ketawa-ketiwi sambil bernyanyi-nyanyi. Dengan modal suara pas-pasan, kami pun kembali menyumbangkan kemeriahan dalam angkot. Menambah pengap. Anehnya kami masih bisa menikmati perjalanan kami yang memakan sekitar 1 jam lebih itu. Haha… Itu karena lagu yang kami nyanyikan adalah lagu anak-anak. Jadi jangan heran kalau kami masih sanggup bertahan berada dalam angkot yang pengap itu.
Kendaraan kedua kami adalah perahu… Wuiih mengasyikkan. Menyusuri sungai dengan hati dag-dig-dug karena tak sabar ingin bertemu dengan malaikat-malaikat kecil di negeri dongeng, maksudku anak-anak di desa Pucu’an. Hehe… Dalam perahu impian itu, terbesit dalam pikiran kami untuk membuat sebuah perahu harapan. Kami pun membuat perahu kertas dengan goresan tinta yang menyampaikan impian kami. Selanjutnya kamipun melayarkan perahu kecil itu ke sungai. Haha… Benar-benar MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia). Tapi inilah cara kami mensyukuri nikmat-Nya. Kami berusaha membuat hari-hari kami indah, semoga dari perahu kertas itu, impian kami kelak bisa benar-benar terwujud.
Okey… Dan inilah saatnya aku menginjakkan kaki di negeri dongeng. Tapi kalian jangan membayangkan bahwa negeri dongeng ini adalah suatu tempat yang indah dengan padang rumput yang luas serta bunga-bunga yang sedang bermekaran. Bukan. Keindahan negeri dongeng ini tak seperti itu. Bahkan di sini keadaannya memprihatinkan. Tak ada padang rumput ataupun bunga-bunga. Yang ada hanyalah sebuah desa kecil di tepi sungai. Yang jika sore hari, air pasang akan menenggelamkan kuburan dan jalan menuju sekolah Si malaikat-malaikat kecil. Tak ada listrik. Air bersih pun jarang. Tapi inilah negeri dongeng tempat malaikat-malaikat kecil itu tumbuh. Anak-anak yang masih memiliki semangat untuk tetap dan terus belajar dalam ketebatasannya. Tempat terpencil tak menjadikan mereka malas belajar. Walaupun di sana hanya ada satu sekolah kecil dengan fasilitas seadanya, namun sekolah itu masih memiliki harapan besar. Karena malaikat-malaikat kecil itu memiliki impian-impian yang luar biasa. Mereka memiliki cita-cita yang mulia. Aku yakin dalam diri mereka ada keinginan untuk memajukan desa yang jauh dari modernitas itu menjadi desa yang lebih maju. Berjuanglah malaikat-malaikat kecil, kami mendukungmu.
Okey… Kejadian mengesankan yang pertama ku dapat ketika berada di sekolah itu. Sekolahnya kecil tapi sangat bersih dan rapi. Saat sampai di depan sekolah, seorang guru muda dengan pakaian sederhana namun berwajah mempesona menyambut kedatangan kami dengan senyuman. Cantik sekali. Bu Tatik namanya. Wanita hebat yang mendidik anak-anak di desa itu dengan segala upayanya. “Inilah orang besar yang dimaksud Pak Guru waktu itu”, kataku dalam hati. Seorang wanita yang menikah dengan lelaki warga desa Pucu’an dan kemudian menyerahkan dirinya untuk menjadi pendidik di desa terpencil itu. Apakah aku bisa seperti Bu Tatik?
Tak kalah menariknya ketika aku telah memasuki kelas. Semua murid yang jumlahnya hanya sekitar 30-an, dari mulai TK hingga SD berkumpul dalam satu ruangan. Amazing. Akhirnya malaikat-malaikat kecil itu berada di hadapanku. Rasanya ingin meneteskan air mata ketika kubertemu dengan mereka. Semangatnya luar biasa. Mereka sangat antusias menyambut kedatangan kami. Apalagi ketika kami memberikan materi pelajaran pada mereka. Mereka sangat aktif. Huh… Kami pun tak mau kalah. Kami semakin bersemangat untuk belajar bersama mereka. Chayooo…
Ketika matahari telah tenggelam, desa itu menjadi sangat gelap. Namun hal itu tak meredupkan niat malaikat-malaikat kecil itu untuk belajar ngaji bersama kami. Aku bangga bertemu dengan kalian. Kemauan kalian ini pasti akan membuahkan hasil, suatu hari nanti. Aku yakin itu.
Malam pun semakin larut. Kami memutuskan kembali ke sekolah untuk beristirahat. Yah… Kami tidur di sekolah. Tak mungkin kami mengganggu warga desa dengan menumpang tidur di rumah mereka. Mereka sudah terlalu baik kepada kami.
Malam itu terasa mencekam bagiku, jalan yang hanya diterangi sebuah lampu yang terus menerus menyala beberapa detik kemudian padam itu membuatku takut. Apalagi ketika harus melewati kuburan dekat sekolah… Hemmmb… Merinding disko rasanya.
Dan malam itupun kuakhiri dengan tidurku yang pulas di atas meja yang digunakan untuk belajar tadi siang. Aku merapatkan meja-meja itu agar nampak seperti tempat tidur. Hehe… untung saja aku membawa selimut yang tebal hingga malam itu aku tak merasakan dinginnya negeri dongeng ini.
Keesokan harinya kami pulang diiringi dengan lambaian tangan dari malaikat-malaikat kecil itu. Teriakan mereka mengiringi laju perahu yang kami naiki. Selamat tinggal malaikat-malaikat kecil. Aku akan selalu merindukan kalian. Semoga kita bisa kembali berjumpa suatu hari nanti.
Cerpen Karangan: A’inatul Mardliyah Facebook: Ainah Zaa Filzah