Alunan waktu terus berputar. Jarum merah terpanjang telah melewati 00.00. Kupandangi jam dindingku tanpa henti. Sesekali dinginnya angin malam masuk melalui celah angin-angin yang menusuk pori-poriku. Suasana hening terasa begitu mencekam, tapi aku masih saja belum bisa memejamkan kedua bola mataku ini. Karena bagiku ini adalah malam yang sangat spesial bagiku mungkin juga bagi yang merasakan. Malam ini adalah malam pergantian usiaku yang genap berusia 16 tahun. Aku berharap ada sesuatu yang spesial di hari ulang tahunku ini. Mata yang semula putih merona kini berubah menjadi merah bata, tapi belum jua terpejam mata ini. “tapi semua itu hanyalah mimpi tiada akhir yang mustahil terjadi dengan kondisiku yang sekarang ini” gumamku dalam hati.
Ayah dan ibuku yang selalu sibuk dengan urusannya masing-masing, semakin menambah daftar kepiluanku. Pembantuku, bi ijah lah orang selalu setia mendampingiku. Tak terasa, puing air mataku pecah memecahkan kesunyian malam yang jatuh di atas buku diaryku. Aku yang mulai gerah, akhirnya aku beranjak dari ranjang tidurku menuju cermin yang ada di samping ranjangku. Kupandangi wajaku kuraba-raba wajah ini, tiba-tiba darah mimisan keluar dari kedua lubang hidungku. kondisiku yang mulai lemah akhirnya aku tergulai tak berdaya di lantai. “Non, bangun non. Udah subuh non!” ujar bi Ijah yang mengetuk pintu kamarku. Beberapa kali bi Ijah mengulangi mengetuk pintu kamarku, tetap saja tak ada jawab dari diriku. Tak kunjung ada balasan dariku, perasaan khawatir pun mulai menghinggapi bi Ijah. Akhirnya, bi Ijah membuka pintu kamarku yang tak terkunci. “Non najma, bangun non. Ya Allah, non” celetuk bi Ijah yang panik melihatku tergeletak dengan kondisiku yang berlumuran darah mimidan yang keluar dari hidungku.
“bi, ayah ibu mana bi” tanyaku yang mulai siuman dari pingsanku. “bapak masih di kantor non dan ibu belum pulang” jawab bi Ijah dengan nada terbata-bata. “aku enggak papa ko bi, cuma mimisan biasa” ujarku yang mencoba menenangkan bi Ijah “tapi non, penyakit tumor otak non kambuh lagi, non terlalu banyak pikiran, non harus banyak istirahat” pinta bi ijah kepadaku “aku enggak papa bi, ini cuma mimisan biasa” jelasku yang mulai bengun dan mengusap darah di sekitar pipiku.
—o0o—
Hari terus berlalu, aku kini telah kembali masuk sekolahku setelah hampir dua minggu aku fakum karena penyakit tumor otak yang menggerogoti tubuh ini. Sambutan hangat diberikan oleh teman-temanku, mereka ternyata telah rindu akan kehadiranku. Tak ada satupun dari mereka yang tau perihal penyakitku ini. “Najma, akhirnya kamu kembali masuk sekolah, kemana aja sih kamu, masa enggak masuk hampir dua minggu?” tanya Rosa salah satu sahabatku. “ia, kemana aja kamu ma, kita semua disini rindu kamu tau, enggak ada kamu rasa beda banget ibarat sayur tanpa garam!” sahut Mirza dengan senyum mungil di wajahnya. “emm, (diam sejenak) haha, bisa aja kalian ini, maafin aku ya friend, aku enggak pernah ngasi kabar ke kalian, aku, emm …” jawabku bingung “kenapa ma, kamu kenapa? potong Asha dengan nada penasarannya. “aku selama dua minggu ini berada di New York, karena kedua orang tuaku ada tugas di sana, ya jadinya aku ikut mereka” jelasku ragu. “waaaahhh, asyik banget tuh, yiah, enggak ngajak-ngajak si kamu ma!” celetuk Mirza “hehe” senyum simpulku menjawab. Kemudian aku membalikkan badan “maafin aku teman-teman, aku enggak bisa cerita yang sebenarnya kepada kalian perihal penyakit tumor otak yang aku alami selama ini, aku hanya enggak mau melihat kaliah sedih melihat kenyataanku yang sebenarnya, aku ingin kalian tetap tegar, senyum ceria” gumamku dalam hati “triiinggg, triiingg, triiinggg” bel telah berbnyi, tanda pelajaran akan segera dimulai.
Aku di sekolah dijuluki sebagai anak biologi, yah karena kesukaanku pada pelajaran itu, aku juga sering menjadi wakil dari sekolah dalam event atau olimpiade biologi, mulai dari tingkat kota sampai nasional. Tapi semua itu telah lenyap bak ditelan bumi karena penyakit tumor otakku, aku jadi jarang buka buku, ikut bimbel aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang. Aku yang mulai membangun kepercayaan dan semangatku, kini mulai bangkit meskipun harus melawan tumor ganasku ini. Aku melihat brosur tentang olimpiade biologi tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada tanggal 21 April, yah muncul harapan baru, masih ada waktu sekitar satu bulan lagi untukku belajar.
“bi, bi Ijah” panggilku. “iya non, ada apa ya?” jawab bi Ijah yang baru saja selesai memasak di dapur. “ayah sama ibu udah pulang bi?” tanyaku pada bi Ijah seraya menaruh tasku di sofa. “tadi pagi si udah non, tapi bapak Cuma ngambil berkas yang ketinggalan di rumah dan ibu katanya ada acara mendadak dengan kantornya” jelas bi Ijah kepadaku. (ambil nafas dalam aku hembuskan lewat mulutku), “ouh gitu ya, ya udah bi, makasi bi” jawabku dengan nada lirih dan pergi menuju kamarku. “iya non, kasihan non najma, iya harus melawan penyakit yang dideritanya dalam posisi keluarganya kayak begini” gumam bi Ijah lirih dan menggeleng-gelengkan kepala.
Kondisiku yang terus memburuk, memaksaku untuk banyak istirahat. Tak jatrang rasa jenuh terkadang menghampiriku. Ku ambil pena pink kesukaanku, kutuliskan sepatah kata dalam buku diaryku.
“mungkin aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini, mungkin juga aku adalah orang yang paling sial di dunia ini, atau mungkin tidak kedua-duanya. Aku hanyalah seorang perempuan cacat, aku ini CACAT. Ayah dan ibu yang tak ada waktu lagi untuk putri semata wayangnya, hanya bi Ijah yang setia menemaniku sehari-hari. Ayah, ibu, teman-temanku semua maafin aku, aku harus nyembunyiin penyakitku ini dari kalian, aku nggak mau melihatku wanita lemah dan aku lebih nggak mau lagi jika melihat kalian sedih dan meneteskan air mata hanya karena seorang wanita cacat sepertiku, aku ingin kalian melihatku sama seperti wanita yang lainnya.”
Tak kusadari, aku telah mengibaskan air asin dari bendungan pelupuk mataku yang jatuh membasahi buku diaryku, bahkan lagi-lagi utuk kesekian kalinya aku mengeluarkan darah segar dari lubang hidungku. Harus berapa banyak lagi aku menghabiskan tissue yang tak bersalah hanya untuk cucuran darah tak penting hingga akhirnya aku pingsan tak sadarkan diri.
—o0o—
Aku yang mulai sadar dari opnameku selama tiga minggu, melihat tanganku dengan selang infus dan begitu juga mulutku dengan selang oksigen. Tak tampak seorang di sampingku kecuali bi Ijah dengan mukenanya dan Al-Qur’an di tangannya. “bi,” panggilku lirih “ia non, non sudah sadar Alhamdulillah” ucap bi Ijah yang menghapus air mata yang keluar dari matanya. “bi, kok bi Ijah netesin air mata? Kenapa bi?” tanyaku dengan nada yang tersengal-sengal. “ta tadi dokter bilang ke bibi, kalau, kalau” ujar bi Ijah yang semakin deras mengeluarkan air mata. “tadi dokter bilang apa bi? Bi jawab!” sahutku “tadi dokter bilang kalau… umur non hanya kurang dari satu minggu” jawab bi Ijah dengan linangan air matanya. Aku yang terbaring lemah hanya bisa pasrah mendengar jawaban yang diberikan oleh bi Ijah. Mimpiku semua terasa telah sirna di bawa hembusan angin berlalu, kini aku tinggal menghitung hari.
Tapi ada satu hal yang ingin aku lakukan sebelum pergi nanti yaitu mengikuti yaitu mengikuti olimpiade biologi terakhirku sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku. Berbekal semangat terakhirku, aku bulatkan tekat untuk mengikuti olimpiade itu. Dengan kursi roda yang aku tunggangi dan selang infus di tanganku, aku kerjakan soal-soal olimpiade.
Keesokaan harinya aku mendengar kabar kalau aku mendapat juara pertama “bi, aku mendapat juara pertama” ujarku ke bi Ijah dengan senym kecilku. “ia non, selamat iya non najma, non memang hebat” jawab bi Ijah senyum bangga Ku ambil buku diary yang ada di sampingku
“Irama sang waktu terus berlanjut, hari ini adalah hari terakhirku untuk melihat gemerlap indahnya dunia. Selamat tinggal dunia, ayah, ibu teman-temanku, aku hanya bisa sampai disini. Terima kasih atas semuanya. Aku akan merindukan kalian disana ^_^. Aku persembahkan kemenangan ini untuk kalian semua”
Akhirnya aku menghembuskan nafas terakhirku dengan tenang. Derai tangis bi Ijah terus terurai yang menghantarkanku ke gerbang selanjutnya. Ayah dan ibuku yang tiba satu jam kemudian setelah mendapat kabar dari pihak rumah sakit, tak percaya akan kejadian ini. Ibuku memeluk mesra jasadku ini. Ayahku menemukan buku diaryku tepat di sampingku, membaca semua apa yang tertulis di dalamnya. Penyesalan terus membayangi ayah dan ibuku setelah kejadian ini. Dan semua tangis pecah saat proses pemakamanku. TAMAT ^^
Cerpen Karangan: Ahmad Addin Z. H Facebook: Adhyn Al-Haqqi