Kelas V-C heboh, lebih-lebih anak-anak perempuan. Mereka saling berbisik. Ketika istirahat tiba, bisik-bisik itu berlanjut, bahkan lebih heboh lagi. “Idih, cakep sekali… cool!” teriak Mona di bawah tangga, bersama teman-temannya. “Tapi, sayang Mon. Kamu kan, sudah naksir Boby duluan!” kata Agnes, yang membuat wajah Mona cemberut. “Memangnya kamu Juga belum naksir cowok?. Kan sudah ada Adi di hati mu,” kata Lydia pada Agnes. “Aku tidak bermaksud naksir si murid baru itu kok,” Agnes membela diri. “Oke, begini saja. Murid baru itu kita Jodohkan dengan Bella,” Lydia memberi saran. Yang lain segera melirik Bella, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar mereka. “Idih! Apaan sih kalian? Aku belum tertarik pada anak cowok,” Bella memberi alasan. “Tapi kalau anak cowok itu bernama Boy, si murid baru, kamu tertarik kan Bel? Cakep, manis, cool, lembut bicaranya, sopan.. aduh, gemes, deh!” Jelas Mona, yang termasuk paling banyak ngomong di antara mereka. “Lho, yang gemes kan kamu. Bukan aku Mon!” kata Bella. “Lihat, siapa yang turun!” bisik Lydia. Sontak, yang lain langsung melihat ke anak yang sedang menuruni tangga dengan langkah tenang. Mereka tak berkedip memandang anak cowok itu. “Hai Boy!” Sapa Mona lebih dulu. “Hai Juga!” Sahut Boy yang baru saja turun tangga. “Eh, kantor kepala sekolah di mana ya?” Tanya Boy kemudian. “Ehm! Daripada bingung biar Bella mengantarmu, oke? Dia dekat, lho, sama Pak Kepala Sekolah. Bella, kan, sang Juara sejati. Dari kelas satu lho! Kebayang nggak?” kata Lydia. Bella langsung mencubit lengan Lydia. “Ehm! Boleh Juga,” Jawab Boy singkat. Teman-teman Bella mendorongnya untuk segera pergi bersama Boy. Bella tampak setengah hati mengantar Boy. Apalagi ternyata Boy super pendiam.
Hari berikutnya, entah ide siapa, di kelas tahu-tahu Bella telah duduk sebangku dengan Boy. “Boy, rumah mu dimana?” Tanya Bella basa-basi, selagi menunggu bel masuk. “Jalan Jeruk nomor tujuh, Bambu Apus, Jakarta Timur,” Jawab Boy mantap, tanpa menoleh pada Bella. “Oh?!” hanya itu yang terucap dari bibir Bella. Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama, IPA, segera dimulai. Boy sangat serius mengikuti pelajaran. Bahkan, ketika Bella bertanya sesuatu, dia tidak menjawab. Menoleh pun tidak. Dia hanya menjawab pertanyaan dari guru saja. Sepanjang pelajaran itu, Boy tampak banyak bertanya kepada guru. “Kamu sangat cerdas Boy, Dari mana asal sekolah mu?” tanya Pak Wawan, guru IPA. “SD Garuda Pak!” Jawab Boy dengan mantap. Namun, Jawabannya itu membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Pak Wawan Juga ikut tertawa. “Asal sekolah, sebelum kamu kamu sekolah di SD Garuda ini,” Pak Wawan mengulangi dengan lebih Jelas. “Oh, asal sekolah. Kebetulan saya sekolah dengan serius Pak, tidak asal sekolah,” Jawab Boy lagi. Jawaban itu lagi-lagi membuat tawa teman-teman meledak. Pak Wawan hanya geleng-geleng kepala. “Baik, sudahlah..” kata Pak Wawan, tak bermaksud melanjutkan pertanyaannya. “Belum Pak! Masih ada satu pertanyaan lagi. Apakah kita bisa membuktikan bahwa Fotosintesis menghasilkan oksigen?” Tanya Boy lagi penuh semangat. Teman-temannya hanya terbengong-bengong, tidak mengerti. Pak Wawan tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Boy.
Hari berganti, Boy menjadi bintang baru di kelas. Semua mengakui kalau Boy memang cerdas, hanya saja kadang blank. Mona, Lydia, Agnes, dan Bella sering membicarakan si bintang baru tersebut. “Boy itu pura-pura blank, tidak nyambung, atau memang benar-benar tu la lit sih?” kata Mona suatu hari. “Aneh anak itu. Kok, bisa diterima di sekolah Favorit ini ya?” Mona mengungkapkan keheranannya lebih lanjut. “Tidak Jadi naksir si tu la lit Mon?” tanya Agnes menggoda. Mona hanya melirik saja pada Agnes. “Kok, kamu diam saja sih Bell?” tanya Lydia sambil menatap Bella. “Aku ikut tu la lit, nih, sejak duduk dekat Boy. Tahu sendiri, kan, nilai Boy selalu lebih tinggi dari nilai ku. Heran, padahal anak itu tidak pernah nyambung kalau di ajak bicara, tapi kok pintar, ya?” kata Bella panjang lebar. “Wah, sang Juara sejati mulai takut tersaingi, nih,” goda Mona.
Nilai-nilai Bella memang tidak sesempurna nilai-nilai Boy. Wajar bila ia merasa khawatir kalau-kalau gelar Juara umum di sabet oleh Boy, siswa baru yang pendiam, tu la lit, tidak nyambung dan suka blank itu.
Bella belajar lebih keras lagi untuk mengejar ketertinggalannya. Dan tanpa disadarinya, ia mulai membenci Boy, yang menjadi pesaingnya. Andai Boy anak cowok yang wajar, mudah bergaul dan bisa bersahabat, mungkin Bella tidak menaruh rasa benci kepada nya. Sepanjang ulangan umum, Bella tidak sekali pun menegur Boy. Boy sendiri tak ambil pusing dengan sikap Bella. Tak ada beda bagi nya, di tegur Bella atau pun tidak.
Bella menangis ketika tahu nilai Boy lebih tinggi dari nilai nya, dan pasti Juara umum tahun ini adalah Boy. “Hai, Girl! Tak masalah, kan, aku menjadi Juara umum?” tanya Boy mencegat langkah Bella. Bella kaget. Bukan kaget karena Boy muncul tiba-tiba, tapi karena Boy berbicara kepadanya. “Selamat, Boy! Ternyata ada yang lebih cerdas dari ku,” ucap Bella. “Selamat apaan? Lebih cerdas dari siapa?” GUBRAK! Bella memegang Jidat nya sendiri. Sebal sekali kalau berbicara dengan Boy, pas pada saat anak itu sedang tu la lit.
THE END!
Cerpen Karangan: Rachel G