Mentari menyibak kelambu malam, menggusur dingin. Membasuh pagi dengan kehangatan. Burung hari ini sungguh ramai bersiul. Terbang bebas ke angkasa tanpa takut ditangkap manusia. Burung pipit mendarat di jendela kamarku. Bediri manis sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Berharap diberi remahan roti atau sejumput nasi. Hariku telah dimulai. Kusingsingkan lengan panjangku. Kuikatkan sepatu voli pemberian Pak Muchlis pada tas serempanganku. Aku siap berangkat ke SMP Bonjang!
Mungkin kalian bertanya. Di tahun 2011, dimana pembangunan ekonomi sedang pesat-pesatnya, kami masih kesulitan sekolah. Daerah kami yang bergunung-gunung tak mempan dilewati roda-roda bergerigi sekasar apapun. Untuk sekolah kami terpaksa menyeberang kali dan menaiki tanjakan. Terkadang ketika sampai di sekolah, rupa kami tak seperti anak sekolahan. Lebih tepatnya seperti penggembala kambing. Bau badan kami tak lagi wangi oleh pandan atau minyak wangi. Namun itu tak menyurutkan kami untuk sekolah. Where is a want there is a way.
Tak kepalang lelahnya ketika kami sampai di sekolah. Oleh karena itu sekolah masuk jam 8 pagi untuk mengizinkan siswanya istirahat sebentar.
—
Akhirnya kami sampai di sekolah. Jangan bayangkan sekolah kami macam RSBI yang penuh dengan fasilitas di sana sini. Sekolah kami tak ubahnya gudang umbi sekaligus lumbung padi di sisi kanan dan ruangan kosong yang cukup lebar di sisi kiri dijadikan kelas. Pak Jonar, pemilik lumbung mewakafkan lumbung ini untuk sekolah. Kelas kami memang hanya satu ruangan yang dibagi dua dengan sekat tripleks. Kami sekolah hanya 3 jam karena harus bergantian ruangan dengan kelas lain. Sekolah ini tak lengkap. Dindingnya berlubang, atapnya dari asbes sehingga ketika siang kami belingsatan kepanasan. Tak ada kipas angin hanya ada AC, Angin Cemilir. AC itu sering membuatku masuk angin karena aku duduk di dekatnya. Benar-benar aneh, tapi bagaimana lagi, itu tempat duduk paling strategis yang Bu Guru sediakan untukku karena badanku yang kontet sulit melihat papan tulis dari arah lain.
Lumbung padi serasa perpustakaan kecamatan yang besar ketika guru mulai menerangkan. Kami bisa menggali apa saja sedalam mungkin ilmu yang ada di sana. Matematika, IPS, IPS, Agama, PKn, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Semua bisa kami lahap dengan rakusnya.
Hari itu Pak Muchlis masuk ke kelasku. Mata beliau menerawang sudut ruangan dan memastikan bahwa siswanya lengkap duabelas orang. “Pak Mau belajar apa kita hari ini?” “Wah wah anak Bapak rasa ingin tahunya besar sekali. Kali ini kita akan belajar peta! “Ah pasti membosankan. Apa asiknya?” “Hmm kau ini Jang bisanya pesimis duluan. Ayo Pak buka petanya!” Aku memerhatikan setiap kata yang diucapkan pria berkumis itu. Sedangkan Ujang menguap di pojok kelas. Menurutnya pojok kelas adalah tempat paling asik dimana dia bisa melakukan apa saja tanpa sepengetahuan guru. “Hei Jang. Asal kau tau saja, mungkin Pak guru tak tau apa yang kau lakukan tapi Allah tau, Jang!” “Hoaahm.. hei, aku tuh sudah kerja semalaman. Apa gunanya sekolah. Toh baca tulis sudah cukup”
Itulah kalimat yang biasa dia ucapkan tiap kali aku menasihatinya. Hatinya sudah mengeras seperti batu yang biasa dipecahnya setiap malam. Ujang adalah realitas kehidupan anak-anak jaman sekarang. Mungkin di kota, anak sekecil dia menjadi pengamen atau mungkin jika berduit mereka menghabiskan uang di mall.
—
“Oryza? Nama yang bagus!” “Aha! Akan kuberi nama adikku yang lahir dengan nama itu!” “Eh tidak bisa. Itu calon namaku! Akan kusuruh ayahku mengganti akta kelahiranku!”
Manusia-manusia tengil, cungkring, dan berbau lumpur sedang memperdebatkan si Oryza. Sungguh indah namanya. Aku pernah bertemu dengannya di sawah. Dia tinggi dan anggun. Setiap langkahnya penuh pengharapan. Dialah sumber kebahagiaan. Kepalanya yang bermahkota selalu tertunduk tanda dia orang berilmu. Tangannya melambai-lambai. Memanggil tiap orang yang melihatnya.
Siang sepulang sekolah, Karman mengajakku ke sawah untuk menemui Oryza pujaan hatiku. Dia penasaran melihat sosok Oryza yabg penuh pesona. “Zam, aku deg-degan” “Santai saja!” “Zam, apakah dia semolek apa yang kau katakan” “Apa dia secantik putri?” “Apa dia sepintar Einstein?” “Apa..” “Diamlah, Man! Aku ini sedang lapar. Mendengar suaramu kepalaku pusing dan perutku melilit!” Karman diam tanpa kata. Dia tersenyum kecut.
Hamparan karpet hijau menyambut kedatangan kami di rumah Oryza. Burung-burung pipit terbang bebas sambil berdecit. Beberapa tikus marmut keluar dari sarangnya. Penasaran dengan suara kaki yang telah mengganggu tidur mereka. Aku mengarahkan mata ke ujung selatan untuk mencarinya. Oryza, di manakah kau? “Zam, mana Oryza?” “Di situ!” Karman berlari ke ujung selatan. Dia melambaikan tangan dan menyuruhku mengikutinya. “Zam, padi di sini sudah dibabat ya?” “Iya, benar. Oryza telah tiada” “Apa maksudnu Zam?” “…” “Oryza. Di adalah sebatang padi. Padi terindah yang pernah kutemui” Karman melongo. Dia tak percaya bahwa ternyata Oryza adalah sebatang padi. Aku tak merelakan kepergiannya. Andaikan Oryza Sativa adalah perempuan seumuranku, tak akan kulepas dia sampai ke ujung dunia. Sayang sekali, ternyata dia sebatang padi. Sungguh malang, ketika aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, aku mencintai sebatang padi. Dan sepertinya aku terkena gangguan s*ksual.
Hari itu hujan turun sangat lebat. Mengguyurkan air dari pipa-pipanya ke bumi. Kali dekat rumah meluap setinggi jembatan. Aku bingung apakah berangkat sekolah atau tidak. Namun setelah dua jam menunggu, hujan tak reda juga. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Kalau aku berangkat pasti terlambat namun kalau aku tak berangkat aku akan melewatkan ulangan IPS sekaligus melewatkan kunjungan perpustakaan keliling Pak Murhadi, mantan lurah desa.
Anto mengajakku berangkat sekolah dan aku mengiyakannya. Dengan payung pelangi yang berlubang kami berjuang ke sekolah. Hari itu hujan membuat jalan yang kami lewati licin. Namun dengan semangat 45 semua itu dapat terlewati. Tiba saatnya melewati jembatan. Aku tak yakin. Air sungai bergejolak. Berbuih. Mencakar pinggiran sungai. Jembatan baja rasanya bergoyang seperti permainan kapal goyang di pasar malam. Tiang-tiangnya bergetar. Aku takut. Nyaliku menciut. “To, apa kau yakin?” “Dasar penakut. Demi buku yang dibawa Pak Murhadi aku berani!” “…” “Zam, yakinan dirimu Tidak ada keberanian tanpa ketakutan” Anto melompat ke jembatan dan berlari kegirangan. Seolah dia sedang bermain Kucing vs Anjing. Aku menutup mata dan membuat satu langkah ke depan. Tiba-tiba aku mendengar gemuruh air. Ku buka mata dan kulihat air bah bergulung-gulung, meliuk-liuk di sepanjang sungai dari arah utara. Anto. Di masih berlari di sana! “Anto…!!!” BYURR… Aku menutup mata. Jantungku berdegup kencang. Aku bingung, aku senewen akan keselamatan sahabatku tadi. Segala macam pikiran buruk melayang-layang dalam otak. Membuatku lemas dan hampir pingsan. Ku beranikan membuka mata. Alhamdulillah, jembatan tak terbelah dua. Aku berlari melewati jembatan yang masih berlumur lumpur segar untuk meyakinkan bahwa Anto masih hidup. Hatiku cemas, seluruh badanku lemas. Aku kebingungan mencari Anto. Jangan sampai disaat aku bingung mencarinya, dia tiba-tiba muncul sambil terkekeh.
“Hai kawan!” “Dasar Konteeet!! Bagaimana kau mempermainkan perasaanku To?” Apa yang ku kira tadi benar, dia muncul sambil terkekeh. “Santai kawan, ini bagian dari tantangan biar hidup kita lebih gereget!” Anton nyengir “Dasar kau!” “Maaf, maaf. Mm… ngomong-ngomong terimakasih kau telah mengkhawatirkanku. Aku tersanjung atas semua itu, Zam. Kau benar-benar sahabat sejati!”
Aku masih gemetaran dan tak percaya bahwa ternyata anak super nekat itu masih hidup. Kami pun meneruskan perjalanan ke sekolah. Dan lihatlah kakiku gemetaran, berkali-kali aku terpeleset hingga bajuku penuh lumpur. Sedangkan Anto yang hampir bertemu maut berjalan mantab layaknya seorang kapitan di medan perang. Tap.. tap.. tap
Selepas banjir, sekolah kami penuh lumpur. Tiang penyangganya miring 35’. Lubang kecil di dinding membesar menjadi sebesar bola sepak dan aku menemukan sebuah kelapa kering di dalam sekolah. Mungkin banjir melemparkan kelapa ini ke dinding sehingga bolong. Heheh. Peta yang kemarin kami pelajari berwarna kecoklatan. Taplak guru tak lagi merah. Kapur tulis basah dan bendera kami merah-coklat. Namun Pak SBY dan Pak Boediono masih bisa tersenyum di dinding.
Aku memerhatikan senyum syahdu mereka dan tiba-tiba keajaiban terjadi. “Psst.. nak, sedang apa kau di sini?” Tanya Pak Boediono. “Membersihkan sekolah, Pak” “Ha sekolah? Ini seperti kandang sapi” “Ya bagaimana lagi, Pak. Kami tak punya cara lain” “Pak, apakah anda melihat kesulitan kami? Sekolah kami tak ubahnya lumbung padi yang sekarang jadi seperti kandang sapi” “Nak, tugas kami banyak. Salahkan saja para koruptor. Saya sudah capek” Pak SBY mengusap wajahnya dengan sapu tangan bermotif garis-garis. Pak Boediono melihatku dan berkata, “Nak, lebih baik kau daftarkan sekolahmu ke DIKPORA biar kalian diberi bantuan” “Sudah, Pak. Namun kata mereka tak ada kendaraan yang bisa mengangkut material ke sini. Apa mungkin bapak mau pinjamkan helikopter?” Pak Boediono mengusap wajahnya yang sayu dengan sarung tangan bermotif bunga kecil-kecil seperti melati yang berbaris di sisi kanan atas dan kiri bawah. Pak SBY menatapku dan mendesah “Oh… negaraku”. Pak Boediono keluar dari bingkainya lalu berbisik padaku “Hei nak, bagaimana kalau kau sekarang mengepel lantai?” Aku menggedek. “Sudahlah Pak, terserah dia saja.” kata Pak SBY sambil keluar dari bingkainya. “Krosak..” Tiba-tiba Siti, temanku datang. Pak SBY dan Pak Boediono melompat kembali ke bingkainya dan tersenyum seolah tak terjadi apa apa. “Kau gila ya Zam? Kulihat sejak tadi kau bicara sendiri” “Ah, tidak, aku hanya bergumam” Dari samping kelas, ku lihat Pak SBY mengedipkan mata kirinya. Apa artinya?
Bersambung
Cerpen Karangan: Wiangga Tabanggadu Blog: escampusaja.blogspot.com