Iowa. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan beberapa rumah di dalamnya, termasuk rumahku yang hanya berukuran empat kali empat meter persegi, atau sebut saja dengan gubuk. Dinding yang hanya terbuat dari beberapa kayu sisa dan hampir di setiap dinding banyak paku-paku yang sengaja Ayah-Ku tempel. Paku itu untuk pakaian kami jika lemari baju sudah tidak bisa memuat lagi. Maklum, dalam satu rumah dengan empat orang penghuni hanya ada satu lemari. Aku yang sering mengalah untuk adikku, terkadang bajuku hanya digantung di paku itu dan bahkan aku geletakan di sudut kiri rumahku, yakni di sebelah tempat tidur.
Gubuk yang menggabungkan semuanya dalam satu ruangan, ruang makan, ruang tidur dan termasuk dapur. Sebisanya kami mengatur ruangan ini se-efisien mungkin. Bahkan kami tidak mempunyai satu ruangan yang sangat penting dalam aktivitas sehari-hari. “Kamar mandi!” Benar, gubuk kami ini tanpa kamar mandi. Padahal hal ini yang termasuk wajib dalam keriteria sebuah rumah. Tapi kata Ayah, Aku harus bersabar dan terus berdo’a. Maha baik Allah, 20 meter dari rumahku terdapat Sungai cikeas yang panjang nan besar. Kesempatan untuk keluarga kami menggunakan sungai ini untuk mandi, cuci pakaian dan untuk minum.
Tidak ada yang spesial dengan kampungku ini. Sama seperti kampung-kampung lain di desa cikeas, terhampar puluhan hektar tanah perkebuhan. Rata-rata penduduk daerah sini mencari nafkah dengan bercocok tanam atau sebagai buruh tani. Termasuk Ayah-Ku, beliau seorang buruh tani di kampung. Namun, akhir-akhir ini sudah jarang yang menggunakan jasanya tanpa jelas alasannya apa. Ayah hanya bisa mengurusi kebun orang, karena ayah sudah tidak mempunyai sepetak tanahpun. Semua tanah ayah habis ketika sepeninggalnya nenek, kedua adiknya yang super maruk merampas semua hak ayah sebagai hak warisnya. Walaupun demikian, kedua adik ayah bukan salah satu mandor di kampung ini malah sebaliknya ia adalah seorang buruh sama seperti ayah-Ku. Harta mereka habis karena tertipu oleh calo perjalanan keluar negeri bahkan salah satu dari istri mereka sedikit hilang ingatan – bisa dibilang stress –
Lima puluh meter dari rumahku adalah rumah Ibu Ani. Ibu yang ku anggap ibuku sendiri yang mau mendengarkan semua curhatanku. Ibu Ani bernasib baik, beliau termasuk orang terkaya di kampung. Suaminyanya seorang mandor tani dengan tanah seluar 4,5 ha persegi. Ibu Ani adalah sosok Ibu malaikat penolong bagiku. waktu itu, ketika Aku ingin sekali bersekolah tapi ayah melarangnya, Ibu Ani-lah yang menolongku dan membelaku di hadapan Ayah.
Pagi itu, Aku ikut ayah untuk memanen kebun majikan Ayah. Tetapi di jalan Aku bertemu dengan anak-anak SD yang saling tertawa riang menuju sekolahnya. Hal ini yang membuatku tidak mengerjakan tugas kebun dengan teliti.
Setelah tiba dirumah, aku duduk di tanah depan rumah dengan memeluk kedua kakiku dan memandang ke atas langit. Sontak semua kalbu dan keliru melingkari pikiranku dan tercengang kata “Allah tidak adil!” di dalam hati kecilku. Air mata yang bercucuran yang tidak bisa terbendung lagi membasahi kedua pipikku. Aku sadar, walaupun Aku belum memintanya ke Ayah, ayah pasti tidak akan mengizinkanku untuk sekolah. Melihat biaya sekolah yang tidak sedikit, ditambah dengan uang saku dan bayaran bulanannya yang pasti akan membebeni ayah. Tapi ku berpikir, jika Aku tidak mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti dari Ayah. Kucoba merenungkan hati dan berpikir – Apakah Ayah akan mengizinkanku sekolah? – “Ya Allah tolong Aku, kumohon!” hatiku berdo’a dan terus berharap. Dan bismillah, Aku memberanikan diri untuk berbicara yang sebenarnya kepada Ayah.
—
Matahari sudah mulai menyongsong menggelincir ke arah barat, suara ayam jantan bagaikan bernyanyi riang, dengan dialuni suara burung nan indah. Pagi ini, Aku bangun lebih cepat dari Ayah dan Ibu. Aku membawa segumpal baju kotor untuk ku cuci di sungai. Walaupun Aku harus menyembunyikan rasa takut, karena sebuah gosip bahwa ada buaya di sungai itu. Tapi, niatku tidak terhenti begitu saja. Dengan harapan dengan melakukan ini, Aku akan mendapatkan izin dari ayah untuk sekolah.
Sungai cikeas yang besar, dengan arus air yang terlihat tenang. Aku duduk di sebuah batu besar di sebelah kiri bendungan sungai itu. Cucianku mulai ku rendam dengan sedikit sabun, maklum Aku harus mengirit sabun cuci ini. Menunggu beberapa saat, Aku mulai mencuci pakaian itu.
Akhirnya, pakaian itu selesai kucuci. Gosip yang beredar ternyata hanyalah sebuah opini yang belum tentu ada. Aku berjalan menuju rumah, rasanya Aku ingin segera sampai ke rumah agar Ayah dapat melihat hasil kerjaanku. Tidak lama kemudian, Aku sampai ke rumah. Tapi beda dengan keinginanku. Sebuah parang dan karung yang selalu ayah bawa ke kebun sudah tidak ada di tempat. Ayah pasti sudah pergi ke kebun. “Assalamu’alaikum bu,” Ucapku penuh semangat. “Wa’alaikumsalam. Sebentar Ran, Ibu sedang memasak telur untuk adikmu,” Jawab ibu, sedikit teriak dari dalam rumah. Memang kebiasaan ibu, pintu rumah selalu dikunci. Padahal menurutku, dibuka saja tidak akan ada maling masuk. Sebab, tidak ada sebuah benda berharga pun di dalam rumahku. “Iya Ran, kamu darimana?” tanya ibu bingung. “Dari sungai bu,” jawabku sambil memperlihatkan segumpal cucian yang sudah bersih. “Kamu mencuci baju, pasti ada kemauan baru yah?” tanya yang mulai mencurigaiku. “Iya bu, Ayah udah berangkat ke kebun?” tanyaku sambil menatap mata ibu sendu. “Iya, nak,” balas ibu.
Ibu sudah hapal sikapku seperti apa. Jika aku ada kemauan sesuatu, pasti Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Walaupun umurku baru genap tujuh tahun bulan juli yang akan datang. Ibulah yang sangat hapal dengan semua sikapku. Beda dengan Ayah. Ayah yang cuek, dan tidak pernah tahu apa kemauan anaknya. Dan selalu menolak semua keinginan anaknya. Walaupun demikian, Ayah sangat sayang kepada kami.
Akupun menjemur pakaian yang telah kucuci tadi. Dua buah gantar bambu dengan satu tiang. Ayah rangkai menjadi sebuah tempat jemur, tepat di belakang gubuk kami.
—
Matahari mulai terlihat terik, suasana rumah semakin kosong. Ibu dan adikku ke rumah paman. Aku menolak ajakan Ibu. Aku memilih berdiam di rumah karena Aku ingin membuktikan pada Ayah, bahwa Aku benar-benar ingin sekolah. Dengan modal satu buku pemberian Ibu Ani, Aku memulai belajar. Tak lama dari itu, Ayah yang kutunggu datang. Dengan wajah musam dan tidak terkontol. Sangat terlihat bahwa Ayah sangat lelah. Ayah duduk di samping pintu dengan merentangkan kedua kakinya. Aku pun tidak diam, Aku membuatkan segelas kopi hangat untuk Ayah. “Ayah, ini kopi untuk ayah,” ucapku. “Iya nak, makasih,” balas Ayah tersenyum. “Ayah, Aku ingin mengatakan susuatu,” ucapku cemas. “Apa nak,?” tanya Ayah. “Yah, Aku ingin sekolah seperti anak-anak yang lain,” ucapku semakin cemas. “Apa!” Ayah kaget dan menatapku keras. Aku tidak pernah melihat Ayah sekaget ini. Aku memejamkan mata sejenap. Aku tidak tahu, Ayah akan marah seperti apa. “Kamu tidak tahu diuntung! Sudah dikasih makan dan minum aja harusnya sudah bersyukur. Kamu tidak lihat pekerjaan Ayah, para buruh yang semakin banyak dan sulit untuk Ayah mendapatkan kerjaan lagi. Seharusnya kamu ngaca nak, kita itu siapa?” ucap ayah kesal. Ku pikir, hal yang telah ku ucapkan itu menambah pikiran Ayah semakin mumet dan berantakan. Sebuah hal yang tidak pernah ku kira, Ayah akan marah seperti ini. Aku hanya bisa berdiam, dan pergi keluar gubuk itu.
Aku duduk seperti halnya pertama kalinya Aku merenungkan ini. Hari ini benar-benar terik. Tapi berbeda dengan cuacaku yang membendung. Kulihat lagi ke atas langit, matahari yang bersinar terik seperti menertawaiku. Akupun meneteskan sedikit air mata. Dan hatiku berbisik kepada tuhan. “Tuhan, andai engkau tau. Ketika kau menghadirkan diriku kepada seorang yang akan menjadi orangtuaku, apakah engkau sempat berpikir? Aku akan dimarahi Ayah seperti ini. Ku pikir engkau tahu, tuhan. Tapi, Aku tidak pernah menyesal sedikitpun engkau hadirkan Aku kepada orangtua yang hanya tinggal di gubuk ini. Aku hanya ingin satu tuhan, Aku ingin sekolah dan menggantikan gubuk orangtuaku ini.” Tak lama kemudian, Ibu Ani melewatiku dan menghampiri. “kamu kenapa Rani?” tanya Ibu Ani menenangkan. “Ayah bu, Ayahku,” ucapku memerah. “Ayahmu kenapa? kamu udah membicarakannya sama Ayahmu?” tanya Ibu Ani bingung. “Udah, dan beliau tidak mengizinkannya,” ucapku meneteskan air mata kembali. “Ya udah sini,” ucap Ibu Ani memelukku. Tangisanku semakin memecah. Histeris kupeluk Ibu Ani dengan erat. Ibu Ani mengelus-ngelus punggungku dan berbisik “sabar sayang, sabar,” Ibu Ani masuk ke dalam menemui Ayahku. “Pak, maaf pak” ucap Ibu Ani canggung. “Ada apa Ibu Ani?” tanya Ayah. “Begini pak, anak bapak kan ingin bersekolah, kenapa tidak sekolahkan saja pak? – Rani sudah cerita kepada saya, dan Saya tahu bagaimana pemikiran bapak. Bapak pasti ingin anak bapak sekolah kan? ya udah pak, sekolahkan saja. Nanti kalau masalah biaya isyaallah akan saya bantu, siapa tahu anak bapak mendapatkan prestasi atau bahkan dapat beasiswa kedepannya,” ucap Bu Ani kepada Ayah. “Kalau memang seperti itu, saya hanya bisa apa. Saya harap, ibu benar-benarmembatu Saya dalam pembiayaannya,” ucap Ayah yang mulai mengalah. Dan akhirnya, Aku masuk sekolah dan terus semangat supaya tidak mengecewakan Ayah.
Enam tahun berlalu. Allah yang dulu ku sebut tidak adil, menampakkan keadilannya. Dengan perjuanganku menggenggam ilmu pengetahuan. Aku mendapatkan sebuah prestasi dan beasiswa dari yayasan. Sebuah yayasan yang baik, yang melihat prestasiku dan memberikanku beasiswa sampai akhir kuliah nanti.
Sangat tidak terasa sebuah perjuangan menuntut ilmu. Aku harus pergi meniggalkan Ayah dan Ibu selama sepuluh tahun. Namun, ketika sepuluh tahun itu. Aku membawa sebuah prestasi sebagai kebanggaan mereka. Sebuah gelar sarjana telah melekat di tubuhku dan menambah sedikit huruf di belakangku.
Akupun sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan. Disana Aku menjadi manajer kepegawaian. Walaupun Aku merupakan manajer termuda disana. Aku tidak boleh menyombongkan diri, karena dulu Aku pernah merasakan seperti mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dan pengap.
Gubuk itu telah ku gantikan dengan sebuah rumah yang lebih nyaman. Agar Ayah dan Ibu tidak merasakan pengapnya dalam satu ruang. Dan tidak merasakan apa yang semua kita rasakan dulu. Sekarang ku yakin, bahwa “Allah-lah tuhan yang maha adil,” terima kasih banyak ya Allah. Sesungguhnya semua ini hanyalah titipan Allah dan Allah lah pengabul do’a yang tiada tertanding.
SELESAI (Untuk penjelasan, ci owa adalah sebuah kampung kecil di sudut kabupaten bogor. tepatnya, di Desa Cikeas, Kecamatan Suakaraja, Kabupaten Bogor.)
Cerpen Karangan: Abdul Basit Hasanudin Blog: www.CerpenBasit.blogspot.com Nama: Abdul Basit Hasanudin Umur: 16 thn Sekolah: SMK Negeri 1 Bogor Prestasi Menulis: Juara Harapan Lomba Cerpen Basa Sunda Tingkat Jawa Barat dan Juara ke-4 Lomba Cerpen Bahasa Indonesia di AKA Bogor