“Aku menyayangimu seperti halnya, aku menyayangi saudaraku, Ku tak kan Biarkan waktu dan Usia memisahkan persahabatan kita. Ku kan teriakan pada dunia bahwa kau adalah sahabat terbaikku”
Aku masih ingat awal aku bertemu dengan gadis berambut panjang, bermata belo, berbibir tipis dan kulit kuning langsat. Langit berwarna biru bersih, mentari pagi yang menghangatkan badan, kicauan burung yang merdu dan sejuknya alam, Menjadi saksi bisu pertemuan kita. Waktu itu hari kedua aku memasuki Masa Orientasi Siswa di SMP Bunda Citra, saat aku ingin memasuki halaman sekolah aku mendengar teriakan wanita dari seberang jalan SMP Bunda Citra “Hey kamu”, aku merasa teriakan itu tertuju padaku, saat aku menoleh aku melihat seorang gadis sedang mendekatiku di gerbang sekolah yaitu kamu. “Ini” Tiba tiba kau memberiku sebuah dompet berwarna hitam, aku merasa pernah memilikinya! “Tadi saat kamu turun dari angkutan umum aku melihat dompetmu terjatuh, aku sudah memanggilmu sedari tadi tetapi kau tak menoleh sedikit pun” Jelasnya “Ohh trimakasih banyak, kau baik sekali, maaf tadi aku tak mendengar kau memanggilku” aku berterimakasih padamu, kau hanya tersenyum manis padaku. “Siapa namamu?” kau menjulurkan tangan kananmu dan bermaksud berkenalan denganku, Aku pun membalas tangan mungil yang jari jemarinya ramping dan lentik. “Ikhlas Prasetya, dan namamu?” Jawabku “Aku Kasih Anggraini” jawabmu “kau sekolah disini juga? murid baru ya?” katamu melanjutkan. “Iya, sepertinya kau juga murid baru disini!” kataku. “Wahh kebetulan sekali, berarti kita bisa sering bertemu donk, satu angkatan pula!” jawabmu riang.
Aku mengajakmu berjalan bersama, menyusuri lorong sekolah.. “Apakah kau sudah mendapatkan teman baru di sini?” Aku bertanya padamu. “Sudah” jawabmu singkat. “Siapa?” kataku yang senang mendengar jawabanmu dan sedikit penasaran. “Kamu” jawabmu singkat dan tersenyum manis, senyuman paling indah yang belum pernah aku lihat dari siapapun.
Waktu terus berjalan dan tak terasa aku sudah bersahabat dengan Kasih hampir 3 tahun lamanya dari MOS SMP sampai kelulusan SMP. Hari ini, hari dimana kelulusan diumumkan, seragamku akan berubah menjadi putih abu-abu.
Aku melihat dari kejauhan anak-anak yang sedang bergerombol mengelilingi papan pengumuman, yang aku yakin itu hasil dari nilai ujian. Aku dan Kasih langsung berlari menghampiri kerumunan dan melihat apakah Nomor ujianku dan Kasih terpampang disitu yang artinya aku dan kasih lulus. Jantungku berdegup sangat kencang, keringatku bercucuran, nafasku terengah-engan, aku masih terus memburu nomor ujianku, jantungku terasa berhenti berdetak beberapa saat, tak lama kemudian, aku bersorak kegirangan disusul sorakan teman-temanku yang lain dan tentu juga Kasih, kami semua lulus. Lapangan penuh dengan anak-anak agkatanku yang berhambur dan mencoret-coret baju dengan Pilok, maupun spidol.
Merasa sudah puas dengan merayakan kelulusan di lapangan SMP Bunda Citra, aku mengajak Kasih menuju kantin, siang itu matahari sangat panas, panasnya membakar kulit, aku memesan es teh manis dan Kasih memesan Jus jeruk kesukaannya.
Aku mulai membuka pembicaraan, aku baru sadar sedari tadi Kasih hanya diam saja, matanya menerawang entah kemana. “Kasih setelah ini kamu ingin melanjutkan ke SMA mana?” tanyaku. “Aku takkan melanjutkan Sekolah lagi” jawabnya sambil merunduk. Aku langsung tersendak mendengar jawaban Kasih. “serius?, Pasti kau sedang bergurau kan? tak lucu gurauanmu itu” balasku “Aku serius dan amat serius Ikhlas, kau tahu sendiri orang tuaku, ayahku baru saja di PHK, ibuku hanya penjual nasi uduk, aku puya 2 adik yang masih memerlukan pendidikan. Apakah biaya untuk menyekolahkanku cukup? Melihat keuangan keluargaku saja, aku sudah tak sanggup. Aku tak mau merepotkan mereka Ikhlas” jelas Kasih. Hening beberapa saat, awan hitam mulai menutupi langit, matahari bersembunyi tepat saat aku melihat Kasih mulai menangis, miris memang melihat keadaan Kasih dan keluarganya yang hidup pas-pasan. “Lalu bagaimana dengan cita-citamu yang ingin menjadi Penulis terkenal? apakah kau ingin mengurungkan cita-citamu dan membatasi pengetahuanmu? Kasih, kau ini termasuk perempuan pandai dan rajin, kau bisa mencari beasiswa untuk melanjutkan sekolah, Jangan biarkan uang menjadi penghambat cita-citamu Kasih” balasku. Kali ini aku melihat kebimbangan di wajah kasih, kebimbangan yang baru aku lihat dari seorang Kasih yang selalu teguh terhadap pendiriannya. “Demi semesta yang menghidupiku, Matahari yang menjadi pencerahku, aku amat tak suka jikalau aku harus menghentikan pendidikanku. Malang nian nasibku, tetapi apalah boleh buat, fikiranku sudah buntu ditutupi masalah ekonomi dan masa depanku yang tak tahu apa jadinya nanti” kata kasih yang mulai putus asa. “Beasiswa? Aku tak pernah berfikir sejauh itu, aku tak pandai, sepandai yang kau fikirkan terhadapku Ikhlas. menulis?, oohh aku tak sanggup pula membayangkan jikalau aku harus mengurungkan niatku untuk menjadi seorang penulis” sambung Kasih. “Kau sudah bisa menyimpulkan sendiri apa yang kau fikiran Kasih, kini tinggal kau yang menentukan mana yang akan kau pilih, kau belum pernah mencari beasiswa, setidaknya kau bisa mencobanya, aku ingin melihat Kasih yang kuat dan tak gampang rapuh oleh keputusasaan, aku ingatkan sekali lagi jangan biarkan uang menjadi penghambat cita-citamu, masih banyak jalan menuju Roma Kasih, Kau harus pula mengingat pepatah. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” balasku lagi.
—
Jam dinding di kamarku sudah menunjukan pukul 00:00 malam, Bulan semakin tinggi, Burung Hantu sudah terdengar suaranya, Kelelawar pun mulai keluar dari sarangnya, tetapi aku tak jua bisa tertidur, karena memikirkan pembicaraan aku dan Kasih siang tadi di kantin. Aku sungguh sedih melihat sahabatku ditutupi kebimbangan. Aku tahu sedari kecil ia memimpikan ingin bersekolah sampai sarjana dan kali ini dia harus menghadapi persoalan yang menjadi penyuram impiannya. Aku ingin melihat Kasih memakai toga dan menjadi penulis terkenal. Mengingat persahabatan yang aku jalin bersama Kasih selama ini, jahat sekali rasanya jika aku membiarkan dan tak melakukan apa-apa saat sahabatku mengalami kesulitan, Tetapi apa yang harus aku lakukan sekarang?
—
Aku amat beruntung memiliki sahabat seperti Ikhlas yang selalu memberikanku semangat dan kepercayaan. Aku tak ingin mengecewakan Ikhlas. Akupun ingin mengubah kehidupan keluargaku kelak, aku tak mau membiarkan diriku rapuh oleh keputusasaan. Benar kata Ikhlas masih banyak jalan menuju Roma. Baru sekecil ini masalahku masa iya aku sudah menyerah, sementara aku yakin di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita dariku dan mereka selalu berusaha. Mungkin aku bisa memakai saran Ikhlas untuk mencari beasiswa dan aku bisa melanjutkan sekolahku tanpa merepotkan orang tua. Aku juga bisa bekerja sambilan sehabis pulang sekolah. Yahhh aku pasti bisa, Terimakasih Ikhlas karena kau selalu ada setiap aku membutuhkanmu.
—
Liburan panjang kali ini aku mengajak Kasih untuk menikmati indahnya Pantai di waktu senja, sambil menghilangkan sejenak beban fikiran yang aku dan Kasih rasakan.
Semerbak harum air laut merasuk ke dalam hidungku, angin yang menarik-narik rambuatku tak henti-hentinya mengeluh, mataku terus menerawang Pantai yang ada di depanku di temani mentari yang mulai tenggelam di tempatnya, sesekali ku melihat kawanan burung menuju pohon-pohon kelapa yang rimbun di pulau yang ada di bagian timur tempat aku dan Kasih duduk, entah pulau apa namanya. Buih-buih lembut air laut bergoyang di tabrak ombak dan menggelitik kakiku. Tak sengaja mataku mendapati Kasih yang disirami sisa-sisa cahaya mentari yang mulai menghilang, sungguh Elok rupa Kasih.
“Kasih tau kah kau bahwa ini adalah senja terbaik yang pernah aku rasakan seumur hidupku?” kataku sambil menggenggam tangan Kasih “Entahlah, tapi aku mersakan hal yang sama sepertimu” Kasih membalasnya dengan tangan yang lebih dieratkan padaku “Memandang agkasa luas, menghirup harum semerbak air laut, dan di temani oleh sahabatku, itu membuatku terbuai akan senja hari ini” “tau kah kau Ikhlas? Aku menyayangimu seperti halnya, aku menyayangi saudaraku, Ku tak kan Biarkan waktu dan Usia memisahkan persahabatan kita. Ku kan teriakan pada dunia bahwa kau adalah sahabat terbaikku” ucap kasih dengan sungguh-sungguh. Aku setengah ternganga mendengar perkataan Kasih, aku lalu tersenyum bahagia. “hahaha… ada satu kejutan untukmu Ikhlas” kata kasih yang membuatku penasaran. “kejutan apa? Kau membuatku penasaran, ayo cepat katakan” kataku “hahaha… aku mengajukan Beasiswa untuk masuk ke SMA Negeri Unggulan, seantero negri ini.” “Serius kau Kasih? Aku sungguh bahagia, amat bahagia jika itu memang benar” kataku yuag tak sedikit percaya “Masa aku tega membohongimu, kau tak percaya padaku?” balas Kasih yang sedikit cemberut. Aku tersenyum jahil padanya, ada sedikit senyum mengembang di ujung bibirnya. Lagi-lagi buih-buih air laut menggelitik kakiku, seakan merayuku untuk menikmati air laut saat senja, aku mendorong Kasih hingga ia sedikit terjungkal, setengah pakainnya basah. Aku berlari kecil membiarkan tanganku terbentang. Kutengok Kasih yang sedang berlari memburuku, aku terbahak melihatnya.
Tawaku dan tawanya terlebur menjadi satu, Deburan Ombak di karang, nyanyian para burung, dan angin yang berhembus, menjadi penerus setiap langkah yang aku lewati bersama Sahabatku, Kasih. Air di laut menjadi alur persahabatan yang aku dan Kasih jalani, takkan pernah Habis dimakan waktu.
Cerpen Karangan: Yuli setiawati Blog: http://yuseesetty.wordpress.com/ Saya mempunyai hobi yang sangat banyak, bermain musik, menulis, membaca buku (komik, Sastra) mungkin karena di SAA diajarkan dan dibiasakan. Saat ini saya sangat menikmati peran saya sebagai Jurnalis muda yang sedang mencari pengalaman. 🙂
boleh juga liat di sini http://yuseesetty.wordpress.com/about/ 🙂