Bbbrraaakk!!! Ku banting pintu kamarku sambil menangis. Harapanku ingin melanjutkan sekolah ke perguruan negeri pupus sudah, ketika orang tuaku melarangnya. Bukan karena aku kurang mandiri, tapi masalah ekonomi yang membelit keluargaku. Ingin aku menyesalkan mengapa aku dilahirkan sebagai anak desa.
Aku hanya anak sederhana yang tinggal di sebuah desa terpencil. Rumahku yang hanya rumah panggung sederhana terbuat dari kayu kuat telah berdiri cukup lama. Keluargaku hanya memiliki 6 petak sawah dan beberapa meter kebun sayuran. Namun, itu semua cukup untuk aku dan keluarga makan, dan biaya pendidikanku sampai SMA. Aku anak semata wayang mereka. Ayahku hanya mandor tani kecil-kecilan, sedangkan ibuku… beliau cacat tak dapat melihat ketika terjatuh di kebun.
Ayah merayuku untuk menunda keinginanku kuliah di kota, karena harga pasar sedang turun. Sedih yang aku rasa karena impianku harus pupus. Sedangkan ibu hanya bisa menangis tak dapat berbuat apa-apa. Aku mencoba mengerti walau rasanya sesak menerima semuanya, hingga aku tertidur di kamar kecilku.
Pagi indah seperti biasa hawa di desa. Kulihat ayah sudah akan pergi meladang mencari sesuap nasi untuk kita. Ibu yang tak dapat melihat pun sedang menyapu landai depan rumah. Merenung di depan jendela, melamunkan hal yang indah bila aku kuliah di kota. Karena kelak aku ingin desa ini maju seperti di kota. Tersenyum bila aku mengingat impian indah itu, namun ku pikir itu takkan terjadi.
“hay Juli kau tak ke kota? bukankah hari ini pendaftaran universitas negeri?” salah satu teman sebangku ku bertanya. “ah tidak nanti saja. Kau daftar kemana?” “aku sudah daftar di Universitas Negeri jurusan pendidikan” “waah hebat” jawabku sambil tersenyum.
Sedih mendengar kawan-kawanku bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkatan yang lebih tinggi, tak seperti aku yang hanya selesai di bangku SMA.
Selang waktu beberapa hari, aku hanya melamun depan rumah selepas membantu ibu di dapur. Tapi, sepertinya ayah selalu memperhatikanku. Anehnya hari itu ayah bergegas pergi “bu, ayah berangkat ya semoga dapat nilai lebih”. Aku terheran “apa ayah sekolah lagi hingga ayah berharap nilai lebih? Atau harga pasar yang mulai membaik?” aku masih terheran. Ingin aku bertanya pada ibu tapi rasanya tak usah lah, hingga aku mengurungkan niatku. Kulihat ibu yang tersenyum padaku seakan ibu merasa bahagia. “bu, ibu kenapa?” tanyaku dengan menyentuh lembut lengan ibu yang sedang menyulam. “nggak anakku, ibu biasa saja” jawaban terlembut yang selalu kudengar dari bibir indah ibuku. Terdiam sudah aku dan ikut tersenyum.
“Neng,” panggilan kesayangan ayah padaku. “iya ayah” ku palingkan mataku dari televisi langsung melirik ayah yang berdiri sambil tersenyum. “sini sini duduk dulu di atas bersama ibumu”. Bergegas aku duduk bersama ibuku. “begini apa kamu masih mau melanjutkan sekolahmu di kota? Sebelum waktu pendaftaran ditutup?” kata ayah yang wajahnya membutuhkan jawaban serius, seketika aku mengangguk. “Ayah punya rezeki sedikit, pergilah ke kota pilih sekolah yang kamu inginkan, tapi ingat belajarlah sungguh-sungguh maka apa yang ayah usahakan membuahkan hasil.” Sambil memberi amplop coklat yang isinya tebal. Saat aku lihat isinya uang untuk aku mendaftar di salah satu sekolah yang aku mau, aku langsung memeluk ibu dan ayah. Seketika penyesalanku yang dulu hilang.
Pagi buta aku siap berangkat ke kota. Sedih meninggalkan ayah dan ibu, namun aku telah berjanji pada diriku sendiri kelak saat aku pulang ke desa akan ku buat desa menjadi desa yang maju dan sejahtera. Ibu menjatuhkan air mata saat mendengar aku membuka pintu kamarku. “baik-baik nak di kota, jangan buat kecewa bapak dan ibu. Kejar mimpimu nak” sambil memelukku. Aku memeluk erat ibuku sambil berfikir siapa yang jaga ibu selagi aku di kota?. tangisan ibu menenang saat aku berjanji akan pulang jika ada waktu senggang.
Ayah dan ibu mengantarku ke terminal dengan berjalan kaki. Namun, saat di perjalanan aku melihat sawah milik keluargaku telah dipasang patok yang bertuliskan “TANAH INI MILIK BAPA H.MAHMUDIN”. Aku terkaget, sawah itu milik keluargaku. Ku lirik ayah, matanya berbinar air mata yang mengisyaratkan bahwa dia rela kehilangan harta demi pendidikanku. Aku langsung berlari memeluk ayah berterima kasih atas pengorbanannya. Ayah mengajarkanku untuk bersabar akan sesuatu yang lebih indah.
Sampai di terminal aku tak langsung masuk bis yang akan mengantarkanku ke kota. “aku pasti rindu kalian” mencium kening mereka. Tak menyangka bahwa mimpiku di depan mata. Ku tegaskan langkahku, setegas aku memegang impianku. Duduk di pinggir kaca yang masih dilihat ayah dan ibu. Air mata menetes tek terasa di pipi. Bis mulai melepaskan rem tangannya. Ayah dan ibu melambai begitu pun sebaliknya.
“ayah ibu terima kasih atas pengorbanan kalian, ini lebih dari cukup. Aku janji saat aku pulang nanti ku bawa prestasi ke desa” janjiku, sambil menatap ke depan.
Beberapa tahun kemudian aku kembali ke desa. Sekolahku di salah satu perguran tinggi jurusan pengembangan pertanian sudah selesai dengan nilai terbaik. Bangga dan rasa tidak sabar untuk pulang dan berbagi cerita dengan keluarga. Haah pulang kampung tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Seperti mimpiku jadi kenyataan. Aku sengaja tak memberi tahu keluarga bahwa aku akan pulang hari ini.
Rindu yang sudah tak terbendung lagi. Inginku peluk ayah dan ibu di desa, ini lah pengorbanan mereka selama ini. “ayah ibu semoga kau bangga dengan anakmu ini” bisikku dalam hati. Dengan bus, aku membelah gelapnya malam. Dinginnya hawa malam tak mengalahkan dengan rasa gembiraku. Sesekali ku pandang pemandangan malam lewat jendela, “indah” pujiku kepada alam yang membentang.
Pagi pukul 06.00 sampai aku di tempat kelahiranku. Tampak sedikit berbeda rupanya pada saat aku berangkat ke kota. Dengan menaiki delman, aku menujuk jalan ke rumah. Sesampai di rumah, banyak orang disana. “ooopppsss apa mereka tahu aku akan pulang” senyum merona keluar dari bibirku. “yang sabar ya neng Juli” nin Icih. Maksudnya apa coba?
Semua orang memelukku, penasaran dengan yang terjadi. Aku berlari ke dalam rumah, ternyata ada yang terlentang di tengah rumah tertutup kain kafan. Ternyata ibuku yang telah terbujur kaku, lantas aku mencari ayah. Ayah yang menangis di kamar menguatkan dirinya sendiri. Memeluk ayah dengan erat itu yang aku lakukan. Ternyata aku terlambat, ibu meninggalkanku tadi subuh. Belum sempat aku bercerita pada ibu tentang kota. Dan apa yang akan ku lakukan di desa.
– the end –
Cerpen Karangan: Nurul Dewi Priyanti Facebook : Nurul Dewi Priyanti Twiter : @nuyuyz penulis bukanlah background dari siswi sastra atau apapun yang mendekati ke menulis. penulis adalah siswi smk negeri jurusan teknik mesin, hanya saja suka membuat cerpen. 🙂