Di sini aku berusaha menuliskan beberapa kata dari secarik kertas pelangi yang berisi dengan penuh pengharapan. Harapan yang tak akan tinggal sebagai bulatan kertas yang terobek secara percuma, yeah aku akan berusaha wujudkan dengan cita cita.
“Mama minta kelak kamu menjadi orang yang berhasil nanti,” mencoba menahan air mata yang akan keluar dari pelupuk mata. Aku tercenung, seakan kata itu menelusuri lubuk hati dan mengikat prinsip bahwa aku selayaknya menjadi seseorang yang lebih baik, namun aku bingung harus memulai dari mana.
Saat di Kampus, “Hey, nglamun mulu?! Pikiran lu jangan kamu kosongin, bahaya ntar say!” “Aaaahhh, apaan sih, orang lagi merancang cita-cita juga, ganggu aja!” Temanku hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
Aku bersekolah di institusi kesehatan yang cukup bagus. Memang tak pernah tersirat untuk berpikir bahwa aku dilahirkan untuk menjadi seorang yang bisa merawat pasien apapun kondisinya yang entah membuat aku terasa mual atau tidak, layaknya perawat harus membutuhkan hati yang tulus untuk merawatnya.
Awalnya, aku hanya menjadi seorang mahasiswa pemalas yang berusaha hanya untuk menyenangi duniaku sendiri terlebih mengingat saat dosenku sibuk mengajar kepada mahasiswa tentang bahasa latin. Aku menyebutnya Mother Alien. “Saccaromyces adalah salah satu bakteri yang menguntungkan bagi manusia, salah satunya adalah Saccaromyces cerevisiae blab la bla”, “Orang ini lancar amat ya bicaranya?”, gumamku pada teman-teman. “Haha, diem lu! Namanya juga dosen, wajar kale, paling nggak dia udah latihan lah, sebelum dia dipermalukan di depan kelas,” “Ups, hehe iya,”, Hmm, lagi-lagi otakku serasa berputar dan lagaknya hemisphere otak kanan-kiriku sudah mulai tak berfungsi lagi. Pusing, karena selalu ada kata terminologi baru yang harusnya aku membawa kamus keperawatan untuk tahu maksud istilah tersebut. Bosan, karena menyita waktu hingga beberapa jam mulai aku duduk tenang hingga pantat yang terasa panas karena lamanya frekuensi aku duduk manis ketimbang beraktivitas sesuka hati. “Mendingan ngelipet ngelipet kertas aja ding!” sambil aku peragakan ke teman dekatku, Eby. “Nina, Nina, seketika ekspresi Eby mulai mendatar.
Pulangnya, aku kembali ke asrama. Karena memang disitulah rumah yang kedua setelah my home sweet home ku. Berbagai perasaan tumpah ruah disisni, ada tawa, canda, senang, dan sedih. “Kamu tahu gak yang temennya, Jeny itu sekarang kalau ke kampus gak pake kerudung, norak banget tuh anak!” “Ah, masa’ sih, padahal kalau diliat, anaknya lumayan diem, ih kok gitu ya?” berbagai desas desus layaknya percakapan orang rumah susun Namun di semester yang baru ini, ada kecenderungan aku untuk bangkit dari keterpurukan, seperti menemukan titik terang. Aku ingin menjadi seseorang yang besar dalam hidup. Anganku seakan menggelayut di atas kepalaku persis dan aku tinggal mengambil dengan tangan untuk menggapai cita cita tersebut. Lewat sekolah keperawatan inilah kelak aku akan menjadi pengajar yang profesional, disiplin dan berdedikasi tinggi. Sejenak aku pun keluar dari asrama dan menikmati tempat duduk yang asri ditempa angin. Sambil menikmati udara malam di luar, tak terasa aku pun tertidur.
“Baik semuanya, saya Ibu Nina kali ini saya akan mengajarkan mata kuliah Keperawatan Anak, kali ini saya akan menjelaskan anak-anak dengan kasus demam thypoid. Thypoid adalah yang penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Slmonella Thyposa, blab la bla..” , aku menjelaskannya dengan penuh arti. “Apakah kita dapat mengidentifikasi tanda penyakit tersebut secara spesifik bu?,” tandas salah satu Mahasiswa. “Bisa, kita bisa mengetahuinya lewat demam enteric, yaitu pagi hari suhu menurun dan seperti orang yang sehat dan normal saja, namun di malam hari suhunya akan menaik secara progresif dalam waktu 7-14 hari,” “Mahasiswa pun manggut-manggut seaakan paham. Sementara, aku pun tersenyum puas. Tak terasa aku pun merasakan udara malam yang semakin dingin menembus pagar yang melingkupi rumah asramaku. Aku pun bangun dan segera masuk untuk menyelamatkan tubuhku dari hypotermi. Aku segera mengambil wudu dan mulailah untuk segera solat. Di dalam doa, aku memanjatkan penuh harap semoga cita-cita ku bisa terwujud dengan lancar tanpa terhalang oleh rintangan satupun. Aku menangis, karena aku sudah menemukan kelegaan hati dan petunjuk jalan. Dimulai dari awal, aku harus membangunnya satu persatu untuk mewujudkan anganku yang masih terbang bebas di atas sana. Belum sempat aku memancingnya hingga mewujudkan anganku, hatiku tergetak untuk menggapai cita yang impikan selama ini. Semoga aku menjadi orang yang lebih baik lagi. Amiiin. “Buatlah orang tuamu bangga nak…” Dan aku hanya tersenyum simpul, menandakan jawaban iya.
Cerpen Karangan: Eka Ferdianti Facebook: Eka Ferdianti