“Ayo Adi, bangun-bangun”, kata ibu. “Adi masih ngantuk Bu”, jawab Adi dengan nada malas. “Sekarang sudah pukul 7 Adi!”, kata ibu setengah marah. Sontak aku terkejut. Mataku yang masih ngantuk sekarang menyala 100 watt. Langsung aku melompat dari tempat tidurku dan lari terbirit-birit ke kamar mandi. Byurrrrr… bunyi air yang ku timba. Tampa pamit ke ibu aku langsung mengayuh sepeda ku ke sekolah.
Namun apa daya, setibanya di sekolah bel tanda masuk sudah lama berbunyi. Ah!, sialnya nasibku. Ternyata nasib sialku masih berlanjut. Sekarang jadwal Pak Amin, guru paling horor mengajar di kelasku. Kalau terlambat pasti ujung-ujungnya membersihkan WC. WC itu terkenal dengan bau pesingnya yang pekat. Benar saja pak Amin sedang mengajar di kelas ku. “Kenapa kamu terlambat”, Tanya pak Amin dengan wajah sangar. “S…s…s, saya terlambat Pak”, jawabku ketakutan. “Memangnya jam berapa matahari terbit di rumahmu?”, Tanya pak Amin dengan guyonan sangarnya. Guyonan pak Amin membuat seantero kelas tertawa. “Ha..ha..ha..ha”, tawa temanku. “Diam!, siapa yang suruh kalian tertawa. Sontak kelas menjadi hening. “Baik Adi, sekarang kamu keluar dan bersihkan WC itu”, kata pak Amin sambil menunjuk ke WC di sudut sekolah. “Baik Pak”, jawabku pasrah.
Setelah membersihkan WC, aku kembali ke kelas. Pada saat itu Pak Amin sedang membagikan hasil ulangan minggu lalu. Bisa kutebak nilaiku pasti rendah. Ternyata dugaanku benar, nilaiku hanya 50. Nilai ulanganku sudah terlalu banyak rendah, sehingga mempertipis harapanku untuk naik ke kelas IX. Apalagi ujian kenaikan kelas tinggal beberapa minggu lagi.
Nilaiku tidak pernah memuaskan, seringkali jalan di tempat. Tiap semester aku sering menjadi penghuni juru kunci di kelasku. Aku ingin nilaiku naik, tapi aku terlalu malas untuk berusaha. Naik ke kelas VIII saja aku sudah syukur, itu pun dengan percobaan, apalagi untuk naik ke kelas IX, bukan perkara mudah. Jika nilai dan prilaku tidak mendukung resikonya ya tinggal kelas.
Senin pagi setelah upacara bendera, aku dipanggil ke ruang BK. “Adi, kamu dipanggil ke ruang BK”, kata Rian “Ya, aku segera ke sana”, jawabku
Ruang BK bagaimana rupanya?, pikirku. Selama aku sekolah di sini aku belum pernah masuk ke ruang BK. Kata temanku ruang BK mirip ruang introgasi, di sana dihujani dengan puluhan pertanyaan. Namun tidak sedikit yang menyebutkan ruang BK itu menyenangkan karena bisa konsultasi dan curhat.
Akhirnya aku sampai di ruang BK. Tempatnya sederhana, hanya sebuah ruangan di samping kantor guru. “Assalamua’laikum”, kataku. “Waa’laikumussalam”, terdengar jawaban salam dari dalam ruangan Aneh sekali itu bukan suara Bu Ami, guru BK. Suaranya berat seperti suara laki-laki “Ayo masuk, Adi” Alangkah terkejutnya aku ternyata ayah. Kenapa ayah ada di sini, bukankah beliau sedang dinas di Jakarta untuk beberapa tahun ke depan?. Oh, aku lupa kemarin wali kelas ku memberikan surat panggilan yang kesekian kalinya kepada ibuku. Ini dikarenakan nilaiku terus menurun dan tidak ada peningkatan. Pasti isi surat itu sudah samai ke telinga ayah sehingga ia sengaja meninggalkan pekerjaannya untuk memenuhi undangan tersebut.
Bahagia rasanya aku bertemu dengan ayah, sudah lama aku tak bertemu. Biasanya ayah hanya pulang ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Bukan pelukan hangat seorang ayah yang kudapat namun sebuah tamparan tangan kiri yang mendarat di pipiku. “Sakit Adi”, tanya ayah “Sakit Yah”, jawabku sambil mengusap pipiku yang kemerahan “Tamparan ayah tadi tak lebih sakitnya dari beratnya perjuangan pahlawan masa lalu”, kata ayah dengan mata berkaca-kaca. “Kalau pejuang masa lalu tidak berusah dengan segenap kemampuannya apakah kita bisa merdeka”, Tanya ayah kembali padaku. “Tidak Yah”, jawabku. “Sekarang apa tugasmu dengan kemerdekaan yang telah kita raih”? “Mengisi dan mempertahankannya” “Sekarang apakah kamu tahu bagaimana cara mengisi dan memepertahankan kemerdekaan ini?” “Ti.. tidak Yah” “Sekarang ayah minta tolong rajinlah belajar Adi, demi ayah dan demi ibu pertiwi agar tanah ini tidak kembali di jajah”, kata ayah menasehatiku. “Baik Yah”, jawabku tegas “Oh ya, ayah nanti tidak pulang, katakan pada ibu ya” “Ya Ayah”
Ayah tahu sekali cara membangkitkan semangatku. Kalau di kaitkan dengan perjuangan rasa nasionalismeku langsung terbakar. Cara ayah di ruang BK sama Bung Tomo menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajah Sejak kejadian itu kehidupanku langsung berubah 180 derajat. Aku sekarang menjelma menjadi anak yang super rajin. Tak ada waktu luang yang ku buang sia-sia. Semuanya ku habiskan untuk belajar mempersiapkan ujian semester yang makin mendekat
Akhirnya ujian yang menjadi momok bagiku datang. Aku cukup percaya diri maenghadapi ujian karena aku sudah mempersiapkan semua amunisi untuk ujian. Setelah seminggu ujian akhirnya selesai. Sekarang tinggal melaksanakan classmeeting
Setelah seminggu pembagian rapor datang. Aku sangat takut kalau-kalau aku tidak naik kelas. Tenyata yang menerima rapor pertama adalah aku. Bu Emi, wali kelasku menyodorkan rapor kepadaku. Ku buka pelan-pelan raporku. Isinya hitam semua, tapi bukan hitam raksasa. Alangkah bahagianya aku ketika melihat kata “naik ke kelas IX”. Ayah pasti bangga melihatnya.
Akupun pulang dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ibu pasti senang. Namun ketika aku tiba, rumah ternyata ter kunci. Tiba-tiba tetanggaku Bu Tuti datang. “Adi, ibumu ke rumah sakit, katanya ayahmu sedang dirawat”, kata bu Tuti. “Ya Bu, ayah dirawat di mana Bu?”, Tanya ku kepada bu Tuti. “Di Rumah Sakit Yarsi, ruangan IVB”, jawab bu Tuti. “Terima kasih Bu” “Sama-sama”.
Segera aku ke rumah sakit. Setahuku ayah memeng kurang sehat belakangan ini. Mungkin kebiasaan buruknya, merokok telah berdampak ke paru-parunya. Tapi buka kah ayah masih bekerja di Jakarta? Mungkin ayah memilih untuk pulang dan dirawat di rumah sakit di dekat rumah.
Akhirnya aku sampai di ruang rawat ayah. Keadan ayah sangat lemah. Ia harus memakai infus dan alat bantu pernapasan. “Yah, aku naik kelas”, kataku bahagia. “Oh, benarkah Alhamdulillah”, jawab ayah dengan nada lemah “Adi ayah mau pergi, rajin-rajinlah belajar, jaga dirimu baik-baik”, ayah melanjutkan permbicaraannya. “Tapi pergi ke mana Yah”, tayaku heran. Tidak ada jawaban dari ayah, ayah hanya diam. Lalu terdengar ucapan syahadat dari ayah dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Sontak aku dan ibu menangis, aku merasa tidak ikhlas dengan kepergian ayah, namun biarlah ayah pergi. Itu sudah ketentuan Allah. Ternyata ayah sudah tidak kuat melawan penyakitnya. “Selamat jalan ayah, semoga tenang di alam sana dan terima kasih, TERIMAKASIH”, kata ku kepada jasad ayah yang sudah tak bernyawa.
Cerpen Karangan: Farhan Ramadhan Facebook: Reben Naq Patar