Pintu kamar terbuka dan aku mendapati ayah mertuaku masuk diiringi oleh tujuh Dokter dan dua perawat. Setelah memeriksa sebentar, ayah mertuaku menatap dengan tatapan yang tak percaya. “kamu wanita hebat nak! Jangankan dirimu.. aku saja tidak kuat menahan sedih saat Agri pergi.. tapi kamu tetap kuat dan berhasil mewujudkan keinginan terkahir Argi. Dengarkan ayah.. apapun yang kamu butuhkan mereka akan di sini.. ayah akan mengurus persiapan acara peringatan kepergian argi.. tenang saja.. kamar ini ayah desain khusus untuk persalinanmu.. malam ini kami semua akan bersamamu… kita akan bahagia.. kita akan selalu bersama.. oke?” Aku tersenyum dan menggenggam erat tangannya. “oke” “baiklah semua.. ayah akan pulang dan mengurus semua acara unntuk malam ini, jika ada perlu, panggilkan saja satpam yang ada di depan. Umi.. kenapa Fakhira kamu berikan coklat… nanti berikan dia vitamin.. saidah dan hafisah juga umi tetap di sini menemani ibu.. juga tante.. hubungi suami kalian untuk menyusul ayah. Oke” “sip pak boss” lirih anak-anaknya serentak.
Malam harinya, aku termenung menatap langit yang dihiasi bintang. Mataku jauh menerawang awan yang hitam pekat. Sesekali aku tersadar karena menaggapi pertanyaan mama yang menemani Ana dan yunda hafisah yang tetap bersamaku. Namun, sebaik-baik kita menyimpan bangkai pastilah tercium bau busuknya.
“masih memikirikan argi na..” tanya yunda hafisah. Aku tertunduk diam, “masih basah kenangan itu yunda” lirihku dengan senyum getir. “padahal, kemarin-kemarin kanda masih nelepon dan bilang kalau dia pengen cepet pulang. Dia bilang kalau di kangen sama aku. Dia juga beli baju unntuk anaknya. Tapi… ternyata dia benar-benar pulang” “reina” bisik yunda hafisah. “yunda!! Apakah yunda tau bagaimana takutnya reina saat tau bahwa kanda argi benar-benar meninggal? Yunda tau takutnya reina saat kanda” “sttsst… sudah reina.. meskipun argi sudah pergi, tapi kami masih bersamamu dan Ana. Ayah akan menjamin semuanya untukmu. Semua aset dan kekayaan argi sudah diambil alih oleh ayah. Dengan syarat kamu tetap bersama kami, bersama keluarga besar Mahardika” “harta bukan segalanya yunda” “tapi kamu hidup juga dengan harta” bantah yunda hafisah.
Aku terdiam membisu. Mendiamkan semua masalah yang akan terjadi. Demi semuanya, dan juga demi Ana Adelaida Argiova. Tiga tahun berlalu mengiringi kesendirianku. Namun dengan adanya Ana membuatku tetap berusaha untuk tetap berjuang. Kehancuran hidupku bermula saat mamaku menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah sakit Rusia. Namun aku tidak diizinkan oleh ayah mertuaku untuk terbang ke Rusia lataran saat itu Ana yang berada dipelukan Ibu mertuaku sedang tak enak badan dan ditakutkan adanya radiasi sehingga dapat mengganggu kesehatan. Tapi sebagai anak satu-satunya, aku merasa berdosa dan tetap ingin terbang ke Rusia. Perdebatan dan cekcok pun terjadi antara aku dan ayah mertuaku. “kamu mau anakmu jatuh sakit, jangan pergi jika kamu memang menghormati ayah sebagai ayah mertuamu! Itu perintah ayah!” bentak ayah mertuaku. “yah! Perintah yang harus reina patuhi itu adalah perintah Allah dan suami! Itu kewajiban reina yang sesungguhnya. Apa sih salah reina sama ayah! Reina Cuma mau memberikan penghormatan terkahir reina untuk orang yang selama ini sudah melairkan reina, membesarkan dan mendidik reina! Nggak lebih” “huh! Ayah baru tau bahwa didikan orang Rusia memang berbeda dengan didikan orang Indonesia. Tanpa tatakrama terhadap orang yang lebih tua. Dimana sopan santunmu sebagai lulusan terbaik, Apakah orangtuamu khususnya ayahmu tidak pernah mengajarkan etika?” tanya ayah mertuaku disusul dengan terkejutnya semua orang yang ada di ruangan. “mas Vandika!!!” bentak ibu mertuaku. “apalagi Maharani?” tanya ayah mertuaku kesal. Aku menghela nafas kesal. Mataku yang sedari tadi hanya berkaca-kaca meneteskan airmata kekesalan yang sangat perih! “iya.. ayah memang benar! Aku memang tidak dididik oleh papa tentang etika dan moral, dan ayah sudah menyadarkanku bagaimana cara beretika dengan baik. Reina sangat berterimakasih atas segala makan dan minum yang telah ayah berikan untukku dan anakku! Jika tidak menghormati ayah adalah ayahnya kanda argi, maka aku akan terbang dan memakamkan jasad ibuku disamping makam ayahku yag sudah meninggal 24 tahun yang lalu” Aku berlalu dari hadapan ayah mertuaku dan mengambil ana dari ibu metuaku. Tanganku merangkul erat tubuh ana yang panas. Hening terasa saat aku menutup pintu rumah dan menghampiri mobil untuk ke rumah sakit secepatnya. “kenapa kanda meninggalkan dinda di keluarga yang seperti ini?” lirihku dalam hati. Aku terus mengutuk keluarga mahardika sembari menyetir. Namun tangisan Ana menyadarkanku arti sebuah kesabaran. “mama akan berjuang membesarkan kamu sayang.. this is my promise with youre father”
Seminggu sudah berlalu, namun kesehatan Ana belum juga membaik. “reina… ada baiknya kamu meninggalkan Ana di sini. Pergilah untuk menghibur diri. Aku akan menjaganya… apapun yang terjadi pasti ada baiknya. Kondisi ana sangat kritis, stres dan kondisimu juga membantu kesembuhannya. Namun kamu tetap tidak bisa masuk, ditakutkan adanya virus atau bakteri dalam dirimu yang dapat menghambat pengobatan Ana” “tidak mungkin aku menghibur diri sedangkan anakku sekarat. Kumohon Yona” lirihku. Yona yang merupakan teman suamiku mengangguk lemah untuk mengizinkan aku tetap berada di sisi Ana yang memang sudah kritis. Tidak ada yang terdengar dari sosok ana, baik itu keceriaan, tawa maupun tangis, hanya denyut nadinya yang masih terasa. Tubuhnya pucat pasi menandakan begitu menderitanya dia. Namun kata-kata Yona membuatku bertambah sakit. “dia menderita gagal jantung Reina. Aku tidak mengetahui kenapa hal ini bisa terjadi, seharusnya sedari dulu keluargamu mengetahui hal ini dan mencari donor yang tepat untuk Ana, tapi semuanya sudah terlambat.. Kamu hanya bisa mendampinginya, membelainya dan berdoa semoga ada keajaiban disaat terakhirnya” “Ana pasti sembuh.. Ana harus sembuh demi mama. Ana harus sembuh nak.. mama belum siap jika Ana pergi” lirihku terbata bata sembari memeluknya yang sedang terbaring. Namun bunyi bip yang panjang membuatku sadar dan langkah mulai berdatangan.
“Ana Adelaida Argiova, umur 3 tahun 7 bulan dinyatakan meninggal pada tanggal 13 Februari pukul 15:26” lirih perawat bersaksi. Aku hanya terdiam sembari memandang tubuh malaikat kecilku. “perawat, lepaskan dengan hati-hati.. jangan sampai menyakitinya” lirih Yona memerintahkan perawat saat melepaskan segala alat bantu hidup yang ada di tubuh Ana. “Reina.. bersabarlah.. kami akan mengurus semuanya. Baik itu biaya sampai pemakamannya. Ini adalah rumah sakit suamimu. Bukan rumah sakit keluargamu” lirih Yona saat aku bersikeras memberikan uang padanya.
Tiba-tiba segerombolan dokter maupun perawat datang ke hadapan kami. Lalu seseorang yang lebih tua dari yang lainnya berdiri maju lebih kedepan sembari menggenggam tangannya yang gemetar. “ibu Reina, kami dari segenap keluarga besar rumah sakit meminta maaf atas segala kelalaian yang telah kami lakukan. Kami merasa bersalah karena tidak dapat menyelamatkan putri dari pemilik Rumah sakit ini. Putri dari seseorang yang telah menyelamatkan ribuan nyawa orang lain dengan membuatkan rumah sakit untuk orang yang kurang mampu. Putri dari seseorang yang tidak pernah mau menerima uang dari para pasiennya. Maafkan kami Ibu Reina. Kami sangat menyesal karena baru mengetahui bahwa dia adalah putri Alm. Bpak Argi sehingga kami kurang menangani dengan lebih dari pasien lainnya” lirih seseorang yang ternyata bernam Basir A. Rauf. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya. “jangan seperti ini pak. Putriku sudah berusaha dan berjuang semampunya, begitu juga kalian. Saya juga bersyukur para dokter tidak pandang bulu terhadap pasiennya, meskipun dia adalah anak pemilik rumah sakit ini. Saya juga sangat berterima kasih karena kalian tetap berjuang membantu orang lain dan berjuang menjayakan rumah sakit suami saya. Kematian Putriku bukanlah kesalahan kalian, ini sudah janjinya dengan Allah di Lauhulmahfudz. Dan dia.. (aku memandang Ana yang sedang dibersihkan) maupun orang yang sudah mendahului kita akan tetap bersama di hati” lirihku.
14 februari Hari kasih sayang! Aku memandangi jasad putriku yang sebentar lagi akan dimakamkan. Tubuh kecilnya sudah terbungkus rapi bersama pakaian terakhirnya, kain kafan. Lalu aku hanya bisa berjalan di belakang peti mati yang didorong para perawat dari lantai paling atas. Saat kami tiba di lantai dasar (lantai untuk yang sakit ringan) rumah sakit, secara tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita. Aku sempat ketakutan dan kemudian dari kejauhan muncullah setitik cahaya api.
“apa ini Yona?” tanyaku heran. Yona tetap diam. dan semakin lama cahaya api itu semakin bertambah hingga nampaklah apa yang sebenarnya terjadi. Bulir airmataku jatuh tatkala melihat ratusan lilin dinyalakan sepanjang lorong yang akan kami lewati. Raut wajah sedih dan duka menyelimuti orang orang yang kini berjalan tertatih dengan infus dan alat kesehatan yang tertanam didalam tubuh mereka untuk menghantarkan setangkai bunga mawar putih keatas peti hitam Ana. Airmata orang orang yang kini berada di hadapanku membuatku sadar bahwa sesuatu yang sangat berharga telah pergi. Aku menangis dan tiba-tiba seseorang nenek tua menghampiriku dengan mata yang berlinangan dan menyodorkan sapu tangan.
“ayahnya adalah orang baik hati. Kebaikannya hanya dapat kami balas dengan doa. Ambillah.. ini sangat berguna saat kau merasa sedih itulah yang sering suamimu katakan padaku saat memberikan ini. Berjanjilah untuk sehat selalu dan jadilah orang baik seperti suamimu.. kepergian putrimu seolah menjadi pukulan terberat bahwa penerus orang baik itu telah pergi juga” lirih sang nenek lalu pergi.
Setelah penghormatan yang dilakukan para pasien maupun anggota keluarga rumah sakit selesai, kami kembali menyelusuri lorong yang penuh dengan doa, harapan dan tangisan. “hmmm… A..Ana.. Ana.. anakku sayang.. perjuanganmu sudah selesai. Terima kasih sudah bersama mama 3 tahun ini. Maafkan mama yang baru mengetahuinya. Maafkan mama.. mama sangat menyesal tidak mengetahui seberapa sakitnya kamu berjuang sendiri selama ini.. mama sangat menyesal.. pergilah nak.. temui papamu.. dia pasti sangat merindukanmu, temui nenek dan kakekmu.. katakan pada mereka kalau mama akan berjuang sendiri.. selamat jalan anakku.. Ana Adelaida Argiova” Namun dari kejauhan aku melihat keluarga suamiku datang dengan pakaian hitamnya. “yona! Bawa dia masuk ke dalam mobil ambulan dan kuburkan segera walaupun tanpa aku!” bisikku sebelum menemui keluarga suamiku. Dan sebelum mereka menghampiri malaikat kecilku, aku yang terlebih dahulu menghampiri dan membuat mereka tak akan pernah melihat jasad anakku walau hanya seujung kuku.
“untuk apa kalian kemari?” tanyaku pada ayah. Beliau hanya terdiam dan menunduk. Namun ibu mertuaku berjalan mendekat dengan mata yang basah. “Reina.. kami semua ingin meminta maaf kepadamu. Kami tidak tau ini akan terjadi dan.. “pergilah dan jangan pernah temui aku lagi” “Reina.. ibu minta maaf atas..” “cukup bu!! Apa belum cukup ibu dan semuanya membuatku merasa bersalah karena membiarkan Ana kesakitan, kalian menyembunyikan penyakit Ana padahal kalian mengetahuinya? Keluarga macam apa kalian ini? Dia adalah cucu ibu dan juga anggota keluarga kalian!! Dimana etika dan pendidikan tinggi kalian itu! Buang saja titel dan muka kalian jika tidak bisa jujur dengan keadaan! Dan iingat!! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian apapunn yang terjadi!!” bentakku. “reina dengarkan ibu nak…” “cukup bu!!!” teriakku sembari membalikkan tubuh dan meninggalkan mereka. “mama” Aku berhenti sejenak. Suara itu… ah mungkin hanya ilusiku yang sedang kalut. Akupun melanjutkan langkahku, namun.. “mama” Untuk kedua kalinya aku menghentikan langkahku, karena penasaran, aku membalikkan tubuhku dan mendapati seorang anak perempuan berwajah aneh menatapku yang berada di dalam pelukan ibu mertuaku. “mama.. mama..” lirih sang anak sembari tersenyum. Aku hanya mengerutkan dahiku dan.. “siapa dia?” tanyaku ketus sembari bergidik jijik melihat anak kecil yang sedari tadi mengeluarkan air liur. “maafkan kami Reina.. munngkin ini bukan yang seperti kamu pikirkan, tapi Sarah Adelaida Argiova adalah adik kandung dari Ana Adelaida Argiova” ujar ibu mertuaku. Aku terdiam menatap anak kecil dengan wajah dan seyum mengerikan yang ada di hadapanku. Apakah aku mimpi? Apakah ini hanya mimpi? Apakah ini hanya mimpi? Kenapa wajah anak itu seperti anak yang menderita Syndrome Down? Kenapa wajahnya seperti anak dengan 1001 wajah? Kenapa wajahnya seperti anak yang idiot? Benarkah dia anakku?? Aku syok dan semuanya… Gelap!!
Cerpen Karangan: Aisyana Syazira Blog / Facebook: Siti Aisyah Nasution Aisyana Syazira Nasution lahir 14 November, Mahasiswi di STAIN SAS BANGKA BELITUNG prodi Bimbingan Konseling. suka menulis meskipun acak-acakan. hobi menyanyi dan ini pertama kalinya yang sampai selesai. semoga terhibur