Ngatminah, gadis kecil di kecamatan Percut Sei Tuan daerah terpencil di Sumatera bagian utara tepatnya di kampung ranum Medan, Sumatera Utara. Ia dipanggil Mina oleh gadis tua yang diyakini penduduk kampung itu ibunya. Sudah lama ia tak bersekolah karena hidupnya yang semakin berat. Uangnya yang terkumpul di satu tempat plastik dengan lubang kecil, kini berhamburan ke kedai-kedai pinggir sungai. Menukarnya dengan beberapa genggaman beras. Ayahnya tewas saat menjalankan kewajiban keluarga. Mati di tempat menabrak mobil box dengan kecepatan 120 km/jam dengan mata tertutup, tiga tahun lalu. Siti Zulaika, ibu yang jarang bicara, namun giat bekerja. Membesarkan Mina dan mereka masih hidup di rumah tepas beralaskan tembikar pemberian ketua RT Kampung Ranum.
Hari itu ramadan ke-22 Minggu sore. Mina seperti biasa membantu ibunya mengumpulkan pelepah pisang di samping rumah. Zulaika bekerja mengumpulkan daun pisang tua, muda untuk dijual ke pasar. Ia bekerja pada Karjo, pengusaha sawit yang memiliki ribuan pohon pisang yang berbaris rapi di sekitar rumahnya. Sore itu juga Zulaika bergegas ke rumah Karjo. Sementara Mina yang tugasnya hanya menunggu di teras sibuk mengkhayal. Di kepalanya dikelilingi warna kesukaannya. Ungu, merah dan oranye saling bertabrakan di kepala gadis kecil itu. Dan acap kali ia bergumam “baju warna apa ya yang cocok untuk lebaran pertama?”. Kepalanya tersentak menggeleng ditegur angin. Memelas mata memerah saat menoleh tetangga yang anak gadisnya kenakan baju baru. Lamunannya habis ditelan gelapnya awan 1 jam sore itu.
“Mina?”. “Miiiin?”. “Eh iya buuu!” sahut Mina kaget. “Ini tolong kamu selesaikan. Ibu harus antar daun ke rumah Pak Ngadino!” jerit ibunya. “iya bu, Mina ambil pisaunya dulu.” “Ingat, bila hujan turun masukkan daunnya ke dalam kamar. Angkat pakaian dan masak nasi. Berasnya di cangkir dekat toples gula” sahut ibunya menjauh.
Maghrib segera tiba, zulaika pulang dengan wajah legam, badan membungkuk seperti biasa. “buuu, kita buka puasa hanya dengan ini.” Mina menunjuk sepiring nasi yang bercampur kelapa sangrai dan dua gelas teh manis hangat. “tak apa Mina, ini sudah lebih dari cukup. Yang paling penting puasa kita yang ternilai”
“Nak punggung ibu sakit, tolong kamu ambilkan minyak angin di laci lemari dan usapkan.” “sakit ya buu?” sahut Mina. “kan tadi hanya antar daun?” tanya Mina sekali lagi. Zulaika membisu dengan pertanyaan gadis kecilnya diiringi dengan senyuman yang merekah. “sudah sana tidur. Kan besok harus bangun pagi sahur. “hem iya bu” sapa Mina memelas.
Keluarga Mina memang terbilang tidak mampu bahkan sangat miskin, ditambah rumah reotnya jauh dari pemukiman penduduk, sedikit ke tepian hutan. Walaupun begitu, masih ada penerangan lampu 5 watt hibah dari Karjo pengusaha itu. Pagi ini didapur hanya akan menyantap nasi juga tumbukan kacang tanah goreng bekas pemberian tetangga buka puasa kemarin. Semenjak ditinggal ayahnya, Mina memang begitu menderita. Mereka sering kelaparan dan juga ramadan kali ini tanpa sosok ayahnya. Itu yang membuat Mina semakin terpuruk.
Selepas sahur Mina kembali menghayal tentang baju baru. Tahun lalu sepasang baju baru temani lebaran pertamanya. Namun, “Ah sudahlah” angin berkecamuk membuyarkan fikiran Mina sambil ia bergumam kecil “yang penting aku punya ibu”. “Mina ibu pergi!” Terdengar suara Zulaika dari kejauhan. “masih jam 5 bu! Kok cepat kali ibu pergi?” tanya Mina keheranan. “iya nak, ibu harus jajakan daun ini untuk beli persediaan beras buat lebaran, kan dua hari l lagi kita lebaran.” Tegas Zulaika. “buu apa ibu sakit, kenapa jalan ibu sedikit membungkuk? Ibu kerja apa di pasar? Kalau ibu sakit jangan puasa dulu ya?” Zulaika tersenyum haru sambil menasehati Mina “ibu akan tetap puasa naak, begitu juga kamu ya.. kuatkan puasanya” “Kuat bu! Tapi ibu sakit”. “Oh iya sayang ini terima ibu ada uang buat kamu dan ini uang baru!” elak Zullaika. “waah ini uang baru bu? makasih banyak yah bu Mina sayang ibu dan tidak akan nakal dengan ibu” senyum Mina meledak-ledak. Sebab ia tak pernah tau negarnya keluarkan uang baru. Tanpa menggubris Mina, Zulaika pun pergi dengan tergesa gesa petang itu juga.
Pukul 09.00 masih sekitar 20 menit lagi. Tapi, Mina sudah mandi dan selesai kerjakan tugas rumah seperti biasa. Walaupun cuacanya mendung setelah sahur, Mina masih melihat uang RP 10.000,00 yang diberikan ibunya. Sebentar-sebentar dilipatnya, terbentuk sebuah pesawat, kapal kecil dan sebauah kubus. Sampai akhirnya ia terbenak uang itu akan ia belikan pita bunga kecil yang mengikat dua belahan rambut gadis-gadis kecil yang lain.
Pukul 10.00 pagi, angin mulai menyalak-nyalak tanpa diundang. Masuk lewat jendela kaca tipis kamar Mina. Suasana dingin mulai terasa seraya bangunkan haus dan lapar Mina. Mina tak tahu kenapa orang–orang berlarian dengan hal wajar dari kejauhan. Namun Mina tetap fokus pada uang yang digenggaman berkhayal tanpa batas impian yang terhalang.
Saat itu masih pukul 11.00 Mina rebahan di kasurnya yang mulai menegeras karena termakan pergerakan jarum jam. Dari kejauhan terdengar riuh orang bergaduh terdengar jelas di telinga Mina. Mina mengintip dari jendela tak ada apa-apa hanya angin yang sedikit kencang. Mina mulai ketakutan. Ia ingat ibunya sedang bekerja. Sesekali ia bersuara lirih “buuuu, pulang bu” sambil memejamkan matanya.
Awan gelap menyelimuti kota Medan saat itu. Hujan lebat disertai angin bersahutan. Mina Cuma bisa menangis tanpa harus tahu bagaimana. Mina hanya memegangi uang RP 10.000,00 dan lampu kecil temani siangnya yang kelam “jeddaaar… tarrrrrghhhh” petir pun mulai menyusul teman-temannya. Takkbir berkumandang sebut asma Allah. Mina semakin merasa ketakutan dan pilu.
“Gubbbbraaaaaak” “ddaaarrrrrr” Seperti ada yang menimpa bumi di bagian selatan, Mina beranikan diri menoleh ke jendela dan ternyata tiang listrik jatuh di bagian selatan rumahnya. Seketika itu lampu seluruh kota Medan padam. Entah apa yang dirasakan gadis kecil itu. Takut, sedih, pilu juga menahan luka tak ada ibunya di sampingnya. Mina tak tahu itu pukul berapa. Hari apa dan itu siang atau malam. Mina hanya ketakutan menahan sesaknya dada karena cuaca. Angin kecang bersahutan kembali. Petir kini menjadi makhluk jahta menyambar apa saja apa yang ada di depannya.
Suasana mmencekam itu muncul dengan bayangan merah menyala tergambar di pejaman matanya. Asap tiba-tiba sampai tercium gadis kecil itu. Sangat menakutkan. Mina menutup matanya tanpa ia tahu di mana dan ia memimpikan pita di rambut panjangnya.
Takbir berkumandang. Mina terbangun dengan sangat terkejut. Nafasnya terengah-engah. “Ibu ibu…” dilihatnya ramai orang gunakan tenda. Sebagian orang berbaju kusam dan sebagian lagi dengan pakaian muslim rapi dan terlihat bagus di dalam masjid besar Kampung Ranum.
“Naaaaak, sabar yah sayang. Saya akan menjagamu. Mulai sekarang saya ibu kamu..” sahut wanita cantik paruh baya sambil menitihkan air mata. Mina menatap kosong. “Naak ibu kamu ditemukan tewas dengan posisi sekarung goni di atas punggungnya saat Kampung kita dilanda bencana. Kata kuli panggul teman ibu kamu. Dan rumah kamu terbakar rata dengan tanah karena angin puting beliung porak porandakan kampung kita. Sekarang saya akan jadi ibu kamu! Ya sayang?”
Mina diam. Matanya berkaca-kaca menahan luka mengingat ibunya, Zulaika. air matanya tumpah ruah membasahi uang RP 10.000 yang masih digenggamnya ditengah takbir kemenangan berkumandang.
Cerpen Karangan: Ahmad Afandi Blog / Facebook: Ahmad Afandi Status: Mahasiswa jurusan perbankan syariah semester IV di Universitas Potensi Utama, Medan. Kegiatan: Menulis karya karya ilmiah, puisi, cerpen dan lain-lain.