Namaku Nadya Larasati. Saat ini, aku masih kelas 2 SMA dan berumur 16 tahun. Aku adalah orang yang sangat ceria dan suka tertawa. Aku memiliki sahabat yang bernama Kinan. Dia orang yang ceria dan dia juga yang selalu membuatku tertawa. Kami berdua sudah bersahabat dari pertama kali masuk SD. Kami begitu akrab, sampai seperti saudara kandung.
“Nadya,” Kinan memanggilku saat aku akan masuk kelas. “Kinan. Hmmm, tumben nih berangkat pagi,” sindirku. “Ya elah, berangkat pagi salah, berangkat kesiangan salah. Mau kamu apa sih Nadya,” ucap Kinan sambil mencubit pipiku. “Iya iya, maaf deh,” ucapku. “Oke, gak mama. Eh salah, gak papa maksudnya,” ucap Kinan. Aku hanya tertawa mendengar perkataan Kinan. Kami pun melanjutkan langkah menuju ke kelas hingga sampai ke kelas.
“Oh iya, nih bunga mawar merah buat kamu,” ucap Kinan sambil menyerahkan setangkai bunga mawar merah. “Bunga mawar merah lagi. Di rumah aku udah banyak loh bunga mawar merah dari kamu. Malahan udah banyak yang layu,” ucapku sambil menerima bunga mawar merah tersebut. “Nadya, aku gak bakal berhenti kasih bunga mawar itu sampai nyawaku diambil. Aku akan terus kasih bunga mawar merah ke kamu selama aku masih hidup Nadya,” ucap Kinan dengan nada menyedihkan. “Kinan, kata katamu bikin sedih ah. Jangan ngomong gitu lagi, aku sayang kamu Kinan,” ucapku lalu memeluk sahabat karibku itu. “Iya Nadya,” ucap Kinan.
Setiap hari mulai dari kelas dua SMP, Kinan memang selalu kasih aku bunga mawar merah. Kinan bilang, itu sebagai tanda persahabatan tetapi aku merasa ada yang aneh.
Hari ini adalah hari minggu, hari dimana aku dan Kinan menghabiskan waktu bersama. “Nadya…,” sapanya dengan gaya ceria. “Kinan…,” sapaku ceria juga. “Yuk berangkat,” ajak Kinan. “Ayo,” jawabku. Kami bersepeda bersama, berlarian bersama, pokoknya semuanya bersama. Karena lelah kami pun beristirahat di rumah pohon buatan papaku dan papa Kinan saat kami masih kecil.
“Nadya, aku boleh tanya?” tanya Kinan yang ekspresinya kini berubah sedih. “Boleh kok,” jawabku sambil tersenyum. “Kalau nanti aku udah gak ada di lagi, kamu masih mau anggap aku sahabat?” tanyanya yang kini menatapku dalam dalam. “Kinan, kita sahabatan udah lama banget. Mau kamu masih ada atau udah gak ada, selamanya kamu tetap jadi sahabatku,” jawabku tersenyum. “Nadya, kamu sahabat terbaikku,” ucap Kinan menangis dan memelukku. “Udah Kinan, jangan nangis. Emang kamu nangis kenapa?” tanyaku. “Aku gak mau pergi darimu Nadya,” jawabnya masih menangis di pelukanku. “Gak, kamu gak bakal pergi,” ucapku ikut meneteskan air mata.
Aku kembali masuk ke sekolah, dan seperti biasa aku berangkat pagi sekali. Aku menunggu bel masuk sambil membaca. Waktu berlalu begitu cepat, bel masuk telah berbunyi namun sahabatku Kinan belum kunjung datang. “Dimana Kinan ya, kok bel udah bunyi dia belum berangkat,” gumamku.
Akhirnya guru masuk ke kelasku dan memberitahukan bahwa Kinan tidak masuk karena izin ada keperluan. Aku menjalani aktivitas di sekolah sampai selesai. Di rumah, aku menatapi fotoku bersama Kinan sambil mengelus elus foto Kinan. “Kinan, gak biasanya kamu gak kasih kabar kaya gini. Aku takut kamu kenapa kenapa Kinan. Aku takut kehilangan kamu,” ucapkku sendirian dan mulai menangis.
Satu minggu telah berlalu, namun Kinan belum juga kasih kabar. Hari minggu kali ini aku putuskan untuk pergi ke rumah Kinan. Namun saat aku sampai di sana, rumah Kinan tampak begitu sepi, seperti tak dihuni siapapun. Aku pun memutuskan pergi dari rumah Kinan. Aku pergi menuju danau dimana ada rumah pohon aku dan Kinan. Aku berdiri di tepi danau, menatap jauh ke arah danau dan mulai meneteskan air mata. “Kinan…,” teriakku lalu menangis sejadinya. “Kinan, dimana kamu sekarang. Kenapa kamu gak kasih kabar sama sahabatmu ini. Aku rindu gaya ceriamu, aku rindu ucapan lucumu, aku rindu tingkah konyolmu, aku rindu setangkai mawar merah darimu, dan yang paling aku rindu adalah dirimu sendiri Kinan,” ucapku masih menangis.
Aku lalu mengambil fotoku bersama Kinan dan menatap wajah ceria Kinan. “Kinan, aku mohon kamu kembali. Kalau kamu belum mau kembali, setidaknya kasih kabar Kinan. Jangan kamu siksa aku kaya gini,” ucapku mengelus foto wajah Kinan yang ceria itu. Aku memutuskan kembali ke rumah setelah meluapkan sedihku di tepi danau ini.
Satu bulan sudah Kinan menghilang entah ke mana. Kini aku mulai terbiasa hidup tanpa Kinan. Rasanya sulit sekali hidup tanpa Kinan. Namun aku harus tegar dan kuat menjalani semuanya. Hari ini aku akan keluar rumah untuk membeli sesuatu. Saat aku membuka pintu, seikat mawar merah yang indah tergeletak begitu saja di depan pintu. Aku mengambil seikat mawar merah itu dan menatapinya. “Dari siapa yah, hmmm,” gumamku. Saat aku membolak balik seikat mawar merah itu, sepucuk surat tiba tiba jatuh. aku palu mengambil dan membaca surat itu.
Dear Nadya Nadya, maafkan aku jika aku telah meninggalkanmu tanpa kabar sama sekali. Aku sebenarnya tak ingin pergi meninggalkanmu, tapi takdir tak memihak. Terpaksa aku harus mengikuti takdir itu. Nadya, seikat bunga mawar ini aku kirimkan untukmu sebagai pengganti mawar harian yang aku berikan. Tapi aku ingin seikat bunga mawar ini kau taruh di peristirahatan terakhirku yang alamatnya sudah aku tuliskan di balik surat ini. bunga, surat, dan alamat aku tulus sebelum aku pergi selamanya. Aku mohon sekali Nadya, taruh seikat bunga mawar ini di makamku agar aku lebih bahagia. Jangan lupa juga, kau balas suratku dan sertakan di mawar merah ini. Kamu sahabat terbaikku Nadya. Salam Manis, Kinan.
Aku menangis sejadinya dan langsung terpuruk begitu saja di lantai meratapi semuanya. Aku langsung terbangun dari keterpurukanku dan langsung berganti pakain serta menulis balasan surat Kinan. Setelah selesai ditulis aku langsung berlari menuju tempat dimana Kinan dimakamkan.
Menangis lagi, hanya itu yang bisa aku lakukan setelah melihat makam Kinan. Aku langsung berlari dan langsung memeluk nisan bertuliskan Kinan itu.
“Kinan, kenapa kamu tinggalin aku kaya gini. Kenapa Kinan,” hanya itu kata yang bisa aku ucapkan. “Kinan, makasih atas segalanya yang kamu berikan ke aku. Aku janji gak bakal lupain kamu sampai kapanpun. Ini, bunga mawar merah kamu. Aku udah turutin mau kamu Kinan. Aku harap kamu sudah bahagia di sana. Aku juga bakal kesini setiap hari membawakan setangkai bunga mawar merah. Jika dulu kamu yang kasih setangkai bunga mawar merah, sekarang aku yang kasih. Selamat tinggal Kinan, kau sahabat terbaikku,” ucapku menaruh bunga mawar merah itu, dan mencium nisan bertuliskan nama sahabatku sebelum aku pergi.
Cerpen Karangan: Selda Arifani Blog / Facebook: Selda Arifani Hallo Readers…. Aku lahir di Purbalingga (Jawa Tengah), 30 Maret 2003. Hobi: Membaca dan Menulis. ig: @seldaarifani30 fb: Selda Arifani & Selda Ran Maaf kalau jelek, soalnya masih jadi penulis pemula.