“Mn..” Suara teredam seorang gadis tedengar. Mata hazel yang awalnya tertutup kini terbuka perlahan-lahan, memantulkan cahaya yang masuk dari gorden krem.
“Kasurnya empuk sekali..” Gumam gadis itu, tak ada niatan untuk bangun.
Sebentar? Empuk? Mata yang hampir terpejam kini membelalak, kantuknya hilang mendadak, badannya juga kaku karena tegang. Kini posisinya menjadi duduk, matanya melihat sekeliling dengan was-was.
“Bukan kamarku.. tidak, bukan aku.” Tatapannya melekat pada pantulan kaca full-body yang ada di seberang kasur. Itu bukan dirinya, dia yakin sekali. Kenapa? “Karena aku sudah mati..” Lirihnya.
Miza, gadis itu, beranjak dari kasur. Toh, tidak ada gunanya berdiam diri merenung. Bukankah lebih baik dia mencari identitas tubuh yang ditempatinya?
“Ah,” Miza berseru pelan. “Begitu? Pantas saja, ya..?” Apa yang ditemukannya adalah pil-pil tidur yang berserakan di lantai, beberapa bahkan di kasur.
“Jadi, tubuh ini bunuh diri? Hee, menyebalkan. Aku ingin hidup, dia ingin mati. Tsk,” Kakinya berjalan ke meja belajar yang rapi. Aneh, padahal tempat lain sudah seperti kapal karam.
Miza Arxiana. Dalam hati Miza membaca nama yang tertera di name tag. Yah, sepertinya itu nama tubuh yang ditempatinya.
*tok tok tok* Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Miza yang semula membaca file tubuh ini, file itu dia temukan di loker meja belajar.
“Nak? Miza..? Sudah bangun…? Ibu sudah membuat nasi goreng kesukaanmu di bawah, atau ibu ambilkan saja, Nak?”
Ibu? Oh, ibu dari tubuh yang dia tempati.
Miza asing dengan kata ini, sangat. Dia sebelumnya tidak mempunyai ayah dan ibu, hidupnya dulu hanya dihabiskan dengan harta. Harta perjanjian ketika keluarganya meninggal, dia yang masih kecil saat itu bukannya mendapatkan kasih sayang melainkan harta.
“Nak.. ibu tidak mengganggu kan?” Pertanyaan hati-hati menyadarkan Miza dari lamunannya sendiri. “Ya, bu? Eh itu, aku akan ke ruang makan, tidak perlu diantar.” Di balik pintu, perempuan paruh baya itu terkejut dalam hati. Anaknya sudah mulai menerima? Seulas senyum muncul, dia senang. “Ibu tunggu di bawah, ya, Nak..” “I-iyaa!”
Miza dengan cepat berganti baju, tidak peduli jika belum mandi. Di pikiranya saat ini adalah: Keluarga. Miza ingin merasakan hangatnya keluarga yang sering dia lihat.
*drap drap drap* Bolehkah dia egois? Miza ingin menggantikan tubuh ini, untuk sesuatu yang disebut keluarga.
Seminggu telah berlalu, dia dan keluarganya semakin dekat. Pasangan paruh baya senang karena putrinya mulai terbuka, Miza juga senang karena merasakan kasih sayang yang didambakan olehnya dari lama.
“Putriku sayang, selamat malam.. baca doa jangan dulu.” Ayah mengecup dahi Miza perlahan, setelahnya ibu memeluk Miza. “Ibuu, ayah! kapan-kapan ayo kita ke Pasar malam lagi, Miza sukaaa sekali. DIsana menyenangkan, warna-warni!” Miza bercerita menggebu-gebu dengan posisi tidur, Miza meniukmati sentuhan lembut di rambutnya. Ibu yang duduk ditepi kasur sambil mengelus rambut Miza tersenyum, “Ya.. sayangku, tapi kapan-kapan, ya? Mungkin ini terakhir kalinya…” Senyum Miza sedikit menegang, ‘Terakhir kalinya? Benar juga..’ Walau begitu Miza paham, dari awal ini bukan kebahagiannya. Dia sangat paham.
“Ibu, ayah..? Maaf ya, Miza lemah.” Pasangan itu menggeleng pelan, “Salah kami, Nak.” “Bukan salah ayah dan ibu.. salahku, aku juga mau berterimakasih. Untuk 2 minggu ini, Makasih… aku sayang kalian, aku..”
Perkataannya terputus, Miza menatap langit-langit kamar dengan hampa. Setetes cairan bening melucur dari matanya.
“.. Menyusul.” Suaranya semakin kecil, bahkan 1 kata itu diucapkan dengan tersendat.
Ilusi hancur. Dari awal tidak ada ‘tubuh yang ditempati’. Tidak ada ‘kehidupan dulu’. Tidak ada ‘warisan’. Tidak ada ‘ayah’. Tidak ada ‘ibu’. Tidak ada ‘keluarga’. Dari awal hanyalah dia, yang berakting. Dia yang sendirian, dia yang mengidap skizofernia, dia yang berangan-angan memiliki keluarga.
Dihembuskannya nafas terakhir. Sesuai yang Miza sendiri katakan, dia ‘menyusul’.
Cerpen Karangan: Malikah Ian Blog / Facebook: Malikah Kautsar