Aku adalah seorang siswa, mungkin sekarang aku duduk di kelas dua sma. Aku tidak melanjutkan sekolah dikarenakan aku dibawa ayahku ke psikolog. Ceritanya berawal dari aku kelas tiga smp. Di sekolah aku adalah siswa biasa pada umumnya tetapi, aku mempunyai banyak hobi. Seperti, menggambar, olahraga, bermain musik dan masih banyak lagi. Oleh karena itu aku disanjungi oleh guru-guru dan teman-temanku. Aku sudah mendapat banyak penghargaan dari hobiku tetapi, nilai akademikku sagat jelek oleh karena itu ayah selalu memarahiku saat pengambilan rapor. Berbeda dengan kakakku yang selalu disanjung olehnya, karena selalu mendapatkan gelar murid terbaik di sekolahnya. Kakakku dan aku berbeda tiga tahun denganku. Saat ayah memarahiku ibuku selalu melerai ayah dan menenangkannya.
Aku selalu iri kepada kakakku, seberat apapun aku belajar tetap saja nilaiku selalu anjlok. Aku pun selalu bertanya-tanya, “kenapa bukan aku saja?. Kenapa harus kakakku.” aku selalu didukung oleh guru-guru dan teman temanku. Tetapi tetap saja aku ingin didukung oleh ayah, aku ingin diakui oleh ayah.
Akhirnya tiba disaat kelulusan, kami sekeluarga menghadiri upacara kelulusan kakakku. Lagi-lagi kakakku mendapatkan gelar murid terbaik di sekolahnya, entah keberapa sekian kalinya. Ayah terlihat sangat bangga, dan memeluk erat kakakku.
Keesokan harinya adalah upacara kelulusanku. Kakakku tidak ikut karena ada acara dengan teman-temannya. Kami pun berangkat pagi-pagi, setelah acaranya selesai kami pun pulang. Di tengah perjalanan ayah memarahiku habis-habisan, karena nilai akademikku tidak ada kemajuan. Dan aku terus dibanding-bandingkan dengan kakakku.
Sesampainya di rumah aku sangat pusing karena mendengar ocehan ayah itu. Di ruangtamu ada kakakku, “apakah kali ini aku menang lagi?.” ucap kakakku dengan sombong. Akupun refleks melemparkan tasku ke wajah kakak. Ayah mengetahui itu langsung menamparku dengan keras. Aku tidak peduli dan langsung masuk kamar. Hatiku sakit, dan aku sangat jengkel dengan sikap kakak. Muncullah perasaan dendam di dirikku, otakku seakan-akan berbicara “bunuh!, bunuh!, bunuh!”
Saat tengah malam aku haus dan pergi kedapur mencari air, dan aku menemukan sebuah bubuk racun tikus di bawah meja. Aku langsung membawanya kekamarku. Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi, mengendap-endap kedapur mencampurkan racun tikus itu kedalam susu hangat milik kakak, aku pun kembali ke kamar dan pura-pura tidur.
Ibu membangunkanku, kami sekeluarga makan bersama seoloah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin. Kakaku pun keluar kamarnya dan pamit mau mencari beasiswa kuliah dan melewatkan sarapanya. Aku tidak peduli dengan itu. Aku sudah mendapatkan undangan sekolah negeri di dekat rumahku, aku menemani ibu bersih-bersih dapur. Susu hangat tadi kukira sudah dibuang oleh ibu, ternyata diminum oleh ibu. Aku tidak mengetahui hal itu, dan setelah itu ibuku pingan. Aku langsung lari kearah ibu dan teriak-teriak minta tolong.
Ayah langsung membawa ibu ke rumah sakit. Ibu berada di rumah sakit selama tiga hari dan menghembuskan nafas terakhirnya. Dokter tidak memberi tahu kami tentang kenapa ibu bisa pingsan. Aku mendengar hal itu pun langsung menangis. Lagi-lagi dendamku kepada kakakku menguap dan hatiku berkata “bukan salahku, ini salah kakak. Benar!, ini semua salah kakak.” setelah pemakaman ibu aku tidak pulang beberapa hari karena stres. Ayah pun mencariku dan membujukku untuk pulang.
Kakakku terus mencari masalah denganku tidak ada hentinya. Saat tiba di rumah aku tidak menyapa atau pun meliriknya. Tiba-tiba ia melempariku bantal “semua salah lu!, lu sudah buat ibu kepikiran mulu. Mangkanya pinter dikit napa!, jangan jadi beban mulu” ucap kakakku. Aku tidak mempedulikannya dan langsung masuk ke kamarku.
Selang beberapa bulan. Ayah pergi keluar kota untuk beberapa hari karena pekerjaannya. Aku di rumah hanya berdua dengan kakakku. Lagi-lagi perasaan dendamku muncul lagi. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri dengan ngegame hingga larut malam.
Keesokan harinya aku masih tertidur pulas kakakkku menyiramku dengan air. “oi beban, bangun udah jam berapa ini?, mandi dan belajar sana udah sma jangan jadi beban mulu” ucap kakakku. Aku terkejut dan langsung bangun dan mengganti seprei yang basah.
Setelah itu aku mandi dan melanjutkan ngegame semalam. Selang beberapa jam kakakku mencabut pc ku. “disuruh belajar malah ngegame, dasar bodoh. Gimana mau ngebanggain ayah kalau lu gini terus” ucap kakakku sambil marah-marah. Aku pun melemparinya buku tebal milikku mangenai wajahnya. Lantas aku tertawa dengan puas.
Kakakku membalasnya dengan memukulku. Aku bisa menghindarinya karna aku cukup lama belajar silat. Dan aku juga membalasnya dengan pukulan. Kami pun berkelahi habis-habisan. Setelah itu aku melihat cuter di mejaku. Aku mengambilnya dan menggoreskannya ke tangan kakakku. Kakakku terus menyerangku tetapi semua seranganya bisa kuhindari. Aku pun terus melukai tubuh kakakku dengan cuter. Ada banyak darah dimana-mana. Aku merasa puas dengan hal itu dan membuatku ketagihan. Aku terus dan terus melukai kakakku. Aku tertawa puas dengan melihat luka-luka di seluruh tubuh kakakku. “udah segitu doang kah, murid teladan? Hehehehehe” ucapku sambil tertawa.
Kakakku sudah lemas dan tetap menyerangku dengan pukulan lemahnya. Setiap kakakku memukulku, aku menggoreskan cuter itu ke tangan atau tubuhnya. Pada akhirnya kakakku kelelahan dan bersandar di tembok. Kakakku mengambil heandphone mau menelepon polisi. Saat ia mau menggambil heandphoneku aku memukulnya dengan tongkat bisbol milikku. “percuma saja, kamu ga akan bisa lari dariku” ucapku sambil menatap tajam matanya. Kakakku meminta maaf kepadaku, tetapi tidak aku dengarkan. Aku pun mengambil pisau di dapur dan menggores-goreskannya ke kulit kakakku. Kakakku meminta maaf dan menangis kepadaku.
“laki kok cengeng?, kenapa engga meminta maaf dari dulu kakakku tersayang” kataku sambil menggoreskan pisau ke pipi kakakku. Kakakku terus menangis dan minta maaf. Aku sudah muak meliat kakakku. “ahhh… Berisik aku udah capek dengernya” aku ******* dadanya berkali-kali, ************** matanya serta, ku ******* jari-jemarinya. Hingga kakakku tidak bisa bergerak lagi. “loh… Udah mati toh”. Aku membiarkan kakakku di lantai yang penuh darah dan melanjutkan ngegame.
Selang beberapa jam ayahku pulang dan melihat kakakku tergeletak penuh darah dan luka. Ayahku menelepon polisi, dan polisi itu membawaku. Polisi itu menyarankan untuk aku dibawa aja ke psikolog. Ayahku pun meminta polisi menemaninya. Aku pun dibawa ke ruangan tertutup hanya berisi tiga orang. Dan ditanya-tanya, ini, itu dan banyak lagi. Aku pun tinggal di ruangan tertutup itu dan seorang perempuan yang terus menenangkanku. Entah berapa lama aku akan tinggal di sini. Kini aku disebut-sebut dengan “orang dengan ganguan jiwa”.
Cerpen Karangan: Kusuma Arum