Anila telah membawanya melesap jauh hingga lenyap dari bumi. Entah kemana anila membawanya pergi. Anila yang kerapkali berhembus seakan ingin menyentuh hatiku. Menenangkan jiwa yang telah memasuki senja ini.
Anila juga sempat menghampiri mata ini sekadar untuk menyapa dan seolah ingin membiarkannya menutup dengan perlahan.
Ini adalah kisahku. Kisah tentang aku dan seorang gadis kecil berambut keriting berkulit hitam. Kisah tentang bagaimana kejamnya musuh membombardir serangan tanpa ampun. Tanpa merasa kasihan melihat setiap jiwa berteriak meminta tolong. Seakan telinga mereka tuli dengan suara bom atau tembakan yang mereka buat.
Bahkan hati mereka seolah mati. Meski mereka tahu begitu banyak air mata yang terlihat dari wajah-wajah orang tidak bersalah. Semuanya telah mati bersama teriakan dan air mata meminta kedamaian. Hangus dari kobaran api menjadi abu yang lenyap terbawa angin. Kisah itu telah usai.
Sesekali aku melirik ke arah luar dari dalam mobil. Aku bisa melihat bagaimana pohon-pohon pinggir jalan begitu rimbun dengan daunnya. Berbanding terbalik dengan dulu yang begitu banyak darah. Seakan akar pohon ikut menghisapnya.
Mengingat bagaimana pedihnya kisah itu sungguh membuat hatiku seperti disayat habis dengan luka yang menganga lebar. Namun, ada setitik ruang rindu yang ingin aku sampaikan pada gadis kecil berambut keriting. Aku ingin menjumpainya setelah sekian lama aku tidak mendapat kabar darinya.
Kasih sayang adalah bahasa universal yang hanya bisa dirasakan. Hanya dengan saling peduli dan kasih sayang yang mampu mencairkan es beku menjadi rintikan embun. Kasih sayang adalah sebuah kehangatan. Pesan dari hati untuk sebuah perdamaian.
“Bu, sebentar lagi kita sampai.” Ujar sopir pribadiku. Aku yang sedari tadi niatnya akan menulis. Namun, tidak jadi karena entah memikirkan apa. Aku segera menutup buku kecil yang ada dipangkuanku. Aku sedikit merapikan jilbab dan pakaian sebelum nanti aku sampai di tempat tujuan.
Tak lama, sopir pribadiku menghentikan laju mobil. Lekas dia turun dan hendak membukakan pintu untukku. “Terimakasih.” Kataku seraya tersenyum kepadanya setelah aku turun dari mobil.
Sejenak langkahku terhenti. Mataku berkeliling. Menerawang semua pandangan yang jatuh tepat di depan retina mataku. Tempat ini seperti dua puluh tahun silam. Sedikit berbeda, tapi aku masih mencium aroma dua puluh tahun yang lalu.
Dulu, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, tempat inilah yang menjadi posko bagi anak-anak dan para wanita untuk berlindung dari ganasnya pasukan haus darah. Ini adalah sebuah sekolah. Sekarang pun masih sama. Sebuah sekolah.
“Mari, Bu.” Kata sopir pribadiku mempersilahkan aku untuk berjalan terlebih dahulu. Aku mengangguk, kemudian melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti. Mataku terus berkeliling. Melihat setiap sudut tempat ini.
Memori akan dua puluh tahun yang lalu membawaku kembali mengingat kejadian kelam. Bisa disebut tidak manusiawi.
Dua puluh tahun lalu, tepatnya ketika aku menjadi relawan untuk menolong anak-anak dan wanita yang mengalami trauma telah kututup rapat-rapat semua kejadian itu. Begitu kelam. Aku hanya tak ingin mengingatnya lagi. Tapi, tempat ini seakan memutar otakku untuk mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.
Dua puluh tahun yang lalu, begitu banyak air mata dan darah yang tumpah. Nyawa manusia seakan tidak ada harganya. Seperti nyamuk yang berterbangan dengan mudah untuk membunuhnya.
Dua puluh tahun yang lalu, aku bisa mengenali mana manusia dan mana manusia menyerupai iblis yang haus akan darah. Mereka menyebut diri mereka sebagai pahlawan. Memerangi ketidakadilan dengan mengatasnamakan agama. Tapi, kenapa orang-orang yang tidak bersalah juga ikut dibinasakan? Sadarkah jika itu salah? Apakah itu yang disebut perang melawan ketidakadilan?
Mereka pikir, merekalah yang memegang nyawa setiap manusia. Kapan mereka hendaki, maka dengan mudah mereka binasakan.
Satu nyawa perhari rasanya tertusuk seribu anak panah seabad bagi yang melihat atau sekadar mendengar jeritannya.
“Bu,” sahut sebuah suara yang seolah berbisik tepat di telingaku. “Ibu baik-baik saja kan?” tambahnya dengan bertanya kepadaku.
Aku sedikit tersentak. Rupanya sedari tadi aku melamun. Pikiran itu seperti telah membawaku dua puluh tahun yang lalu. “Aku baik-baik saja.” Jawabku sembari menyeka bulir bening yang sedikit menepi di sudut mataku. Sopir pribadiku hanya mengangguk dan kembali mempersilahkanku untuk melanjutkan perjalanan.
Langkah kaki terus membawaku pergi. Membawaku pergi dari titik peraduan. Rasanya aku tak ingin kembali ke titik itu. Titik itu seperti mengingatkanku dua puluh tahun yang lalu.
Saat aku sedang berjalan melewati setiap ruang kelas dengan pandangan mata yang lirik kesana kesini, aku dapati ruang kelas yang terlihat begitu banyak siswa. Namun, belum ada gurunya. Aku mencoba untuk masuk ke dalam ruang kelas itu.
Ketika aku baru selangkah maju memasuki ruang kelas, semua siswa langsung berdiri dan memberi salam kepadaku. Aku tersenyum dan membalas salam mereka.
Rasanya aku begitu bahagia bisa melihat wajah anak-anak ini tersenyum tanpa beban. Tidak ada air mata, tidak ada lagi gencatan senjata, bahkan tak ada lagi darah yang ditumpahkan.
Saat aku akan mulai bicara dengan mereka, seseorang mengetuk pintu dari luar.
Aku mempersilahkannya untuk masuk. Mataku melihatnya dari ujung kaki sampai akhirnya berhenti tepat di wajahnya. Sosok yang berdiri tepat di depanku seakan tak asing lagi. Aku seperti mengenalinya. Seperti menemukan belahan jiwa.
Tanpa aku sadari, bulir bening yang sempat menggenang di pelupuk mata akhirnya jatuh membasahi pipi. Dada serasa sesak. Ingin katakan sesuatu. Namun, sulit. Ada rindu dari dua puluh tahun silam yang belum aku sampaikan.
“Assalamu’alaikum.” Katanya membuka pembicaraan. Hatiku bergetar mendengar suaranya. Ya, aku kenal suara itu. Suara anak kecil berambut keriting dua puluh tahun yang lalu.
Lekas anak itu langsung berlari ke arahku dan menjatuhkan diri dalam pelukanku. Aku bisa mendengar bagaimana dia terisak. Pun denganku. Aku tak lagi bisa menahan air mata yang sedari tadi aku coba untuk menahannya.
Perlahan aku melepaskan pelukannya. Aku melihat wajahnya yang dipenuhi dengan air mata. Aku hapus bulir bening dari wajahnya. Namun, dia tetap menangis tepat di depan mataku. Aku mencium keningnya dan langsung membuatnya semakin terisak. Dia menggenggam erat kedua tanganku lalu menciumnya.
“Assalamu’alaikum?” tanyaku mencoba kembali tersenyum di balik air mata. Dia mengangguk. Aku tahu, dia adalah seorang gadis kecil berambut keriting yang lain keyakinan denganku. Setelah dua puluh tahun, akhirnya aku bisa bertemu lagi dengannya. Betapa Allah begitu baik. Mempertemukanku dengan gadis kecil berambut keriting yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis dewasa.
“Tuhan begitu baik padaku. Aku bersyukur bisa bertemu kembali denganmu. Cinta dua puluh tahun silam yang kau berikan telah mengubah semuanya. Kau bisa melihat dan merasakannya sekarang.” Ucapnya dengan menyeka sisa air mata.
“Apa yang kau katakan benar. Hanya dengan cinta, perdamaian akan hadir. Terimakasih atas dua puluh tahun silam dengan cintamu. Kau memulihkan traumaku dan anak-anak yang lain. Sehingga kami dapat tumbuh dengan tangguh. Meski kadang, aku masih teringat betapa kejinya dua puluh tahun silam.” Tambahnya. Aku tersenyum dan langsung memeluknya lagi. Cukuplah. Kau tak perlu katakan apapun. Allah telah baik kepadaku. Begitu juga dengan Tuhanmu. Dia telah mempertemukan kita dengan cinta.
Dua puluh tahun yang lalu …
Dooorrrrr!! Doorrr!! Gencatan senjata masih mengaum keras. Suara dentuman bom yang dilemparkan juga masih nyaring terdengar. Banyak bangunan yang hancur karena perang ini. Ditambah banyak nyawa yang melayang terkena tembakan dan puing-puing bangunan yang runtuh.
Aku, sebagai tim penyelamat dan bertugas memulihkan kondisi kejiwaan merasakan sayatan yang dalam dari dalam hati. Begitu banyak darah yang bercecer dan jasad manusia yang tergeletak begitu saja. Sudah tugasku untuk segera menyelamatkan nyawa manusia dari hantaman senjata dan bom-bom perang.
Sampai akhirnya, aku menemui seorang gadis kecil berambut keriting, berkulit hitam sedang menangis. Aku mendekatinya. “Ayo ikut kakak,” kataku. Tapi, gadis itu menolak ajakanku. Saat kulihat, ternyata disampingnya ada jasad manusia yang sudah tidak bernyawa dan berlumuran darah.
“Ini mamamu?” tanyaku pada gadis kecil berambut keriting itu. Dia mengangguk tanpa melihat ke arahku.
Segera aku memanggil semua tim untuk membantuku. Awalnya gadis kecil itu meronta-ronta dan tidak mau ikut denganku. Tapi, ini juga demi keselamatannya. Biarpun dia menangis, aku harus tetap membawanya ke tempat yang lebih aman dan jasad mamanya segera diselamatkan oleh tim penyelamat.
Entah siapa nama gadis itu. Setiap kali aku tanya dia tidak pernah menjawab. Hanya sebuah isyarat, seperti anggukan yang berarti ya dan gelengan kepala yang berarti tidak.
Berbeda dengan anak yang lain. Jika anak yang lain bermain bersama, gadis kecil yang aku temui hanya duduk sendiri berselimut kebisuan abadi.
“Hei kenapa kau tak ikut bermain?” sahutku seraya duduk di sampingnya. Gadis kecil itu menggeleng. “Mau ngga main sama kakak?” kataku mencoba untuk mengajaknya bermain. Dia tetap menolakku. “Hmm gimana nanti kalau kakak kasih kamu hadiah?” ucapku yang masih berusaha membuat dia mau bermain seperti anak yang lain. Sekadar untuk melupakan kesedihannya agar tidak semakin berlarut.
Mendengar perkataanku, pandangan gadis kecil itu langsung tertuju padaku. Mata yang memerah dan wajah penuh dengan duka tanpa ada rasa ceria dalam guratannya dapat aku lihat jelas. Akhirnya dia mengangguk. Syukurlah. Aku merasa senang dia mau bermain bersama denganku.
Aku bermain sepak bola dengan gadis kecil itu. Hingga akhirnya, sebuah senyuman langka yang aku jarang lihat dari wajah gadis itu mulai merekah. Dia tampak bahagia dan sedikit bisa melupakan akan kejadian perang itu. Walau sebenarnya suara dentuman masih terdengar.
“Aaaaaaaaaaa!” Tiba-tiba saja gadis itu berteriak histeris dan lari dengan cepat meninggalkanku.
“Hei tunggu!” teriakku sembari langsung berlari untuk mengejarnya. “Tunggu! Tunggu!” Aku mencoba untuk menarik tangannya dan menghentikan langkahnya yang cepat. Jeritannya bertambah histeris saat aku berhasil memegang tangannya.
“Hei hei, kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang bahunya, berharap gadis itu bisa tenang sejenak dan memberitahu kepadaku kenapa dia tadi langsung lari.
Dia mengelap air mata yang membanjiri wajahnya. “I i itu disana. Merah. Me merah. Warna merah. Da darah. Aku takut darah.” Jawabnya yang langsung jatuh dalam pelukkanku seraya terisak.
Aku memeluknya. Warna merah? Darah? Aku mencoba untuk mengingat kembali. Tadi saat sedang bermain sepak bola, ada kertas yang terbang dan kertas itu berwarna merah. Mungkin gadis kecil ini trauma akan warna merah yang seperti darah.
Setelah aku berhasil menenangkannya, aku ajak dia untuk duduk dan memberinya segelas susu hangat, dengan cepat dia menyeruput susu hangat yang aku buat sampai habis tak bersisa.
Doorrrr!! Hantaman suara itu sangat nyaring. Seperti jarak satu meter dari tempatku duduk. Gelas yang dia pegang seketika jatuh dan pecah. Dia menutup telinganya dan berteriak histeris lagi.
“Aaaaaaaa!!” “Tenang tenang tenang.” Kataku berusaha membuatnya tenang kembali. Dia diam dengan nafas yang belum teratur. “Aaaaaaaaa!!” dia kembali menjerit histeris sambil terus menutup telinganya.
“Tenang tenang tenang.” Ucapku lagi. Dia kembali diam “Tarik nafas, lalu buang lewat mulut.” Tambahku. Dia menirukan apa yang aku lakukan. Gadis kecil itu akhirnya diam dan tenang. Ini jauh lebih baik.
“Kamu kenapa lagi sayang?” tanyaku setelah gadis kecil itu terlihat lebih tenang. Gadis kecil itu masih menutup telinganya dengan mata yang mengisyaratkan sebuah ketakutan yang mendalam. “I i itu. Suara itu. A aku takut.” Jawabnya dengan suara terdengar gemetar. Aku mencoba untuk menggenggam kedua tangannya. Berharap dengan cara ini dia akan merasa lebih tenang.
Entah sampai kapan perang ini akan berlangsung. Sementara semakin banyak korban yang berjatuhan. Darah dimana-mana. Suara dentuman senjata dan bom belum juga menghilang. Malah semakin jadi.
Sementara gadis kecil itu masih trauma. Bila mendengar suara bom meledak dan hantaman senjata, gadis kecil itu akan berteriak histeris. Jika melihat warna merah, gadis itu juga akan merasa sangat takut.
Aku tidak tahu pasti kapan gadis itu pulih dari traumanya, yang aku tahu ini sudah tugasku. Sebisa mungkin aku harus memperjuangkan kembali kondisi kejiwaannya.
Aku belajar banyak dari pengalaman ini. Terutama gadis kecil berambut keriting itu. Bahwa setiap apa yang dilihat dan didengar akan memberi dampak pada individu masing-masing. Maka dengar dan lihatlah hal yang positif untuk diri kita yang lebih baik.
Aku, Ahmad Nadira Sarma akan terus memperjuangkan kedamaian di dunia ini sampai tak ada lagi trauma mendalam pada setiap insan. Karena mereka berhak untuk hidup dengan tenang.
Meskipun beberapa hal yang kita anggap menyakitkan akan membuat kita tumbuh dengan tangguh.
“There are many reasons that can make you happiness.”
-Ahmad Nadira Sarma-
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana