Pucuk gedung bertingkat itu terlihat teduh. Perihnya mentari perlahan mulai usam. Spektrum jingga kekuningan atau yang biasa kusebut senja mulai menghias. Jalanan aspal yang semula terasa perih nan panas, kini mulai membaik. Aroma yang melebur bersamanya mulai biasa kembali. Ramai orang pun detik demi detik mulai menghilang. Semua hendak pulang ke peraduannya.
Senja itu terlihat anggun. Menarik hatiku. Aku suka dengan senja. Suka dengan ketenangan yang ada bersamanya. Seolah hatiku merasa damai, dan ingin seperti ini setiap saat. Namun, belum cukup lama aku berduaan mesra melukis keromantisan bersama senja, rintikan hujan perlahan mulai turun. Menjatuhkan titik-titik air ke permukaan bumi. Lantas, aku segera menutup jendela angkutan kota yang sedang aku naiki. Hujan itu dengan cepat merubah segalanya. Anehnya, kilauan sinar jingga kekuningan di langit tak sedikitpun memudar. Hujan kali ini aku rasa indah.
“Kiri, Pak.” Kataku kepada pak sopir yang ada di sampingku. Lalu pak sopir menghentikan laju mobilnya. Aku segera membayar dan turun dari angkutan kota.
Aku berlarian, menutupi kepalaku dengan tas kecil yang aku bawa. Rintikan air hujan telah membuat diriku basah. Aku segera berlari ke arah sebuah toko, yang mungkin bisa menjadi tempat berteduhku.
Sampai disana, aku melihat seseorang yang kira-kira umurnya hampir setengah abad sedang menundukkan kepala. Entahlah. Aku pun tidak tahu siapa dia dan kenapa dia. Aku hanya memperhatikannya saja, dan tidak berani untuk mencoba bertanya kepadanya.
Perlahan, wajahnya yang tertunduk, mulai terangkat dan aku bisa melihatnya lebih jelas. Diriku bertambah diam. Tidak mengerti. Wajahnya begitu sendu. Sendu kelabu. Apa yang sedang dirasakannya, aku tidak tahu.
Dari sorotan matanya yang menatapku, seakan ada sebuah kerinduan yang tak mampu disentuhnya. Ada sebuah kesedihan yang tak mampu untuk ditampakannya. Dia hanya diam dan terus menatapku.
Aku pun mencoba untuk tersenyum kepadanya. Dia pun tersenyum, meski matanya masih terlihat sayu. Aku duduk di sampingnya. Seketika, dia langsung memelukku dan terisak dipelukannya. Air matanya lahir, dan berjatuhan di pundakku.
Aku masih diam membisu. Hanya suara rintikan hujan dan isakan tangisnya yang bisa kudengar. Setelah cukup lama, dia melepaskan pelukkannya dan menyeka bulir bening yang telah terlahir dari matanya. Dari kedua matanya, aku merasa ada sesuatu yang hendak dia ceritakan kepadaku. Entah apa.
Wajahnya yang tak lagi muda, dengan beberapa kerutan di sudut matanya bercampur dengan air mata haru setelah bertemu denganku. Dia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada. Karena sakit dan tak terobati, yang wajahnya mirip denganku. Betapa perih menjadi ibu ini. Meski aku tidak punya ikatan batin dengannya. Namun aku merasakan apa yang dia rasakan.
Kulihat, hujan masih saja menjatuhkan dirinya meski awan belum terlihat gelap. Semilir angin yang berhembus, serasa sangat menusuk ke persendian tulang. Dengan penuh cinta, ibu yang duduk di sampingku menghapus sisa kristal bening di sudut mataku. Kemudian membelai wajahku.
Aku tersenyum.
Selebihnya, ibu itu mulai beranjak dari depanku. Aku hanya bisa diam, dan tidak bisa mencegahnya. Sementara hujan masih menjadi tirai di depan. Ibu itu membuka payungnya dan sedikit berjalan lebih maju, kemudian menoleh ke arahku dan melambaikan tangannya. Setelahnya, dia meneruskan perjalanannya menerobos derasnya hujan.
Payung warna warninya tak lagi kulihat. Punggung tua rentanya pun telah menghilang bersama dengan hujan. Dengan hujan pula air matanya telah tertutupi, dan hanyut membawa duka lara.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana