Deras air yang mengalir dari langit menaikkan pilu cedera yang tergores. sakit sakit sekali. Hari ini bisa jadi merupakan hari terparahku, kecepatan sepeda motor yang kunaiki dikala itu melampaui kecepatan biasaku. Seketika lampu rem mobil didepanku menyala. Saat ini saya terbaring tidak bisa berdiri, tetesan keras langit menghujani setiap sakitku.
19 Januari 2018 Langit pagi itu ialah langit teristimewa bergaul 7 warna indah dan kabut dingin. Matahari yang masih malu-malu menampakan senyumnya terlihat samar tertutup awan putih. Berangkat ditemani teman setiaku yang merah mengkilap terlihat indah bersinar terpantul cahaya langit, terutama spion yang baru kemarin kupasang menaikkan ke sepeda motorku. Setelan merah ialah setelan sangat pas untukku bila berdampingan dengannya. (Brum brum brum) melaju dengan kecepatan handalku 70km/jam.
Berangkat ke kampus tidak lupa singgah ke tempat warung kopi yang berada di sebelah sekolah. Abah yang terbiasa dengan kedatanganku, telah ketahui ramuan yang pasan untukku. “DI, tumben banget datengnya pagi banget.” Sapa Abah dengan senyum lebarnya. Balasku “Hahaha, iya dong bah, selagi ada teman bicara.” Ucap Abah sambil membawa pesananku. Sehabis menyeruput tuntas segelas air kopi hangat menaikkan keelokan di pagi itu. Setibanya di tempat menuntut ilmu khas para mantan siswa, nampak beragam ciri khas anak masing masing kelas. Mulai dari yang nampak royal serta elegan, sisosialis yang bahagia berkumpul, hina anak cermin mata yang bawa tas kelebihan muatan serta buku-buku bawaannya. Disini pula tempatku bersama anak-anak pembawa pc dengan ribuan koding didalamnya. Dibelakang gedung kelasku terdapat suatu tempat yang posisinya yang menyudut melewati jalan yang hitam serta banyak pepohonan membuat orang lain tidak sempat berani buat Tetapi buat ordatang ketempat itu, aneh sepertiku, tempat indah ini ialah tempat yang istimewa jauh dari orang serta keramaian kantor. Kebimbangan Ketika hujan itu dikala kulihat seorang mengenakan baju lusuh tidak beralas kaki bawa tas kecil serta kotak buah. Kesimpulannya kuberanikan diri mendekatinya. “Permisi, maaf lagi apa kamu disini?” Kataku sambal memandang kearahnya. Dari wajahnya nampak seumuran denganku mukanya putih pucat bertubuh kurus sedikit oriental. “Lagi duduk.” Balasnya dengan tersenyum. Tetapi singkatnya membuatku jemuh. “Iya saya ketahui itu. Baru kali ini saya melihatmu disini, serta kau menempati tempat yang biasa kugunakan.” Kataku sambil jengkel. Sebab tempat yang tadinya hening, hariini hendak ditempati 2 makhluk tidak silih tahu. “Tenang saja saya tidak hendak mengganggumu. Oh ya perkenalkan namaku Raka.” Sembari mengulurkan tangan putihnya berharap saya kan menyambutnya. “Hmm.. Saya Ara.” Malas sekali saya menjawabnya dalam batinku berharap esok serta seterusnya dia tidak hendak kembali lagi.
Tidak lama setelah itu seorang suster tiba mengarah arah kami sembari berlari menyusuri jalur yang seragam denganku tergesa- gesa. “Rakaa raka, telah aku bilang deh Raka tidak boleh keluar kamar.” Ucap sang suster sembari mengendalikan napasnya. “Maafkan saya tetapi saya telah bosan disitu.” Sehabis itu Raka berangkat serta bisa jadi ia kurang ingat sudah meninggalkan kotak buahnya disampingku. Akibat lupanya, akhirnya saya terpaksa membawanya.
20 Januari 2018 Semalaman tanpa sadar saya memikirkannya. Raka Raka Raka serta semua keanehan kemarin dan kebodohanku yang wajib repot-repot mengantarkan kotaknya. Berharap ia hendak kembali ke halaman itu, jujur saja saya mulai penasaran dengannya banyak statment kenapa yang berdesak di kepalaku. Sesampainya di taman, saya melihatnya lagi pas di kursi yang kemarin kugunakan tetapi kali ini penampilannya yang lebih apik serta dapat dikatakan tampan. “Hai HADI.” Ucapnya seraya tersenyum membagikan isyarat memintaku mengembalikan kotaknya. “Dari mana kau ketahui saya membawanya.” “Sebab kau orang yang baik.” Jawab Raka yang terdengar menggantung di telingaku.
Hari itu saya berdialog banyak dengannya tentangnya cuma buat membunuh rasa penasaranku. Dari data yang saya miliki darinya, Raka merupakan anak tunggal seseorang dosen kampusku. Semenjak kecil dia jadi senantiasa diproteksi sehingga sampai dikala ini Raka tidak mempunyai sahabat tidak hanya suster-susternya. Kotak yang saya membawa merupakan kotak makan siangnya tiap hati.
Pertemuan selanjutnya Semenjak hari itu saya kerap berjumpa dengannya berbagi cerita dan berbagi kotak buah miliknya, Raka nyatanya orang yang mengasyikkan serta bahagia terhadap hal-hal baru. Tetapi kian hari badan Raka nampak terus menjadi kecil tetapi wajahnnya semakin bersih serta tampan. “Saya suka bergaul dengannya” batinku.
21 Januari 2018 Hari ini merupakan hari ulang tahunku serta hari ini pula Raka mengajakku bertemu dengannya ditempat biasa kami berjumpa. Saya datang di taman lebih akhir 15 menit dariwaktu yang didetetapkan sebab saya percaya Raka kan tiba lebih dini semacam biasanya tenyata Raka belum tiba. Tumben sekali Raka semacam ini sementara itu ia ketahui saya tidak suka menunggu.
Sehabis menunggu nyaris 2 jam, kuputuskan buat berangkat dari tempat itu serta tidak berjumpa Raka lagi untuk selamanya. Jengkel hari ini saya dibuatnya. Seketika suster yang melindungi Raka berlari menghampiriku. “Di Hadi, maaf di Raka wafat di.” Sembari tersengah danmenangis. “Kemarin penyakit jantung den Raka kumat lagi.” “Apaa tentu suster bohong kan? Raka sehat-sehat saja kok ia tidak sempat cerita mengidap penyakit apapun.” “Raka tidak mau memberitahukannya di, dia hanya ingin penyakitnya di pendeam sendiri. Sejak umur 10 tahun Raka telah mempunyai komplikasi kebocoran jantung. Kemarin saya melihat Raka sangat bahagia sekali hendak memperingati ulang tahun bang Hadi hari ini, bisa jadi sebab sangat bahagia kecepatan jantung Raka bertambah, saat ini Raka meninggal bang.” Ucap suster sembari tidak hentinya menangis.
“Saat ini Raka dimana sus?” Saya tidak dapat terima ini kebohongan serta sesak yang akan membunuhku secara lama-lama membuatku tidak menyudahi menangis. “Saat ini Raka masih di Rumah sakit. Advent bang.” Sedini kilat saya menerobos melewati senja kemerehan yang akan menghilang tergantikan hitam. Air yang berlomba keluar dari mataku tidak dapat saya bendung sakit sekali. Bila saya tidak berjumpa dengannya bisa jadi saat ini ku tidak akan mengharapkannya.
Senyumnya cerita serta mukanya masih membayang membuat lamunanku. Deras air yang mengalir dari langit menaikkan pilu cedera yang tergores. Sakit sakit sakit sekali. Hari ini bisa jadi merupakan hari terparahku, kecepatan sepeda motorku yang kunaiki dikala itu melampaui kecepatan biasaku. Seketika lampu rem mobil didepanku menyala. Saat ini saya terbaring tidak bisa berdiri, tetesan keras langit menghujani setiap sakitku. Seluruhnya hitam hitam hitam serta hitam. Kesimpulannya saya berjumpa Raka, ia sudah berangkat sama sepertiku yang terletak disini
Cerpen Karangan: Khoirul Hadi