‘Romantika Seorang Teman’
Udara pagi begitu menyegarkan, sinar mentari menyembul dari langit biru. Susana seperti ini adalah waktu para siswa berangkat sekolah untuk menimba ilmu. Ralat, kecuali hari minggu. Hari ini adalah hari senin, aku dan keempat temanku berjalan beriringan sambil bercengkrama, kami tertawa seraya mengobrol, mulai dari hal yang sedang hitz, -misalnya nyanyi eta terangkanlah- dan hal lucu lainnya tentang kekonyolan-kekonyolan jenaka di sekolah. Kami senang, disaat beginilah kedekatan dengan teman terasa kental dan kentara. Karena hanya dengan mereka bibir ini ingin terus melekukkan senyum.
Kami tiba di pinggir jalan, keluar dari area perumahan, saatnya menunggu angkot lewat. Dikarenakan hari ini hari senin -hari dimana para siswa diwajibkan tiba di sekolah pukul tujuh pas untuk melaksanakan upacara- angkutan umum selalu padat, mengharuskan kami untuk menunggu lebih lama. Kami adalah tipe teman setia kawan, jadi, kalau ada satu angkot yang berhenti dan menyediakan dua tempat duduk, salah satu dari kami tak ada yang mau naik. Lebih baik menunggu angkot yang lain, dengan begitu kami bisa naik bersama-sama. Kalau terlambat, mungkin dihukum bersama juga. Haha.
Namun, akhir-akhir ini terasa berbeda. Kami yang biasanya berlima, kini berkurang satu, menyiskan aku dan ketiga temanku. Ke manakah sahabatku yang satu itu? Sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri, mengapa dia tiba-tiba menghilang? Bukan, bukan menghilang. Melainkan…, menjauh?
Aku, Riska, Rani, Rifa menghentikan langkah begitu tiba di gerbang sekolah. Keempat pasang mata kami tertuju pada satu objek, di mana di sana ada Riri yang sedang berjalan sembari bersenda gurau dengan teman ‘barunya’. Ingat! Teman baru!
“Rah, liat deh si Riri, dia sekarang kok sombong banget ya ke kita? Heran deh aku. Makin ke sini makin nyebelin, minta ditimpuk kali pakek tai kambing!” komentar Rani gemas. Dia selalu marah-marah kalau melihat Riri, tapi wajarlah. Orang tu anak sombongnya keterlaluan. Kedua temanku yang lain mendukung Rani ketika dia mengeluarkan racauannya, sedangkan aku cuma bisa elus-elus dada.
Aku masih tercenung, Riri melewati kami berempat, hanya melempar senyum sumbang. Kubalas senyum itu, walau terkesan ragu. Masalahnya, aku sudah telanjur kesal. Jujur, aku rindu 5R. Rahma alias diriku, Riska, Rani, Rifa dan Riri. Akankah 5R itu akan menjadi 4R? Kalau di dunia kerja, sudah kupecat saja Riri. Tapi…, ini bukan tentang pekerjaan, melainkan menyangkut tentang teman, tentang kebersamaan, tentang suka-duka yang telah kami lalui sejak TK.
“Rah, PR MTK-nya udah?” Rani, Riska dan Rifa tercengang tatkala Riri tiba-tiba bertanya kepadaku, duduk di dekatku, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku pun sebenarnya kaget.
“Kalau udah, liat, dong.”
Anjir! Rani mengumpat dalam hati. Tangannya meremas buku di atas meja, segeralah Riska dan Rifa mengusap bahu Rani, menyuruhnya untuk tetap sabar, menghentikan kedua tanduk merah yang mungkin akan muncul di atas kepala Rani.
“Ciyeee sekarang udah punya pacar,” celetuk Riska watado. Riri hanya cengengesan. ‘Diihh pakek ketawa segala! Heeeh dosa lo banyak keleuuus. Jangan ketawa!’ Begitulah ekspresi wajah yang terpancar di wajah Rani. Ada setan jahat yang sedang menguasai jiwanya, mengobarkan api amarah. “Siapa pacarnya? Gimana? Langgeng terus ya, Ri.” Riri tertawa lagi.
Rifa dan Riska menaikkan kedua alis acuh tak acuh, saling melirik penuh ejekan. Munafik, sih. Di depan manis-manis, di belakang, busuk kayak pisang yang terbengkalai di atas kulkas bertahun-tahun.
“Makasih ya, Rahma. Kamu emang temen terbaik aku, deh.” “Sama-sama,” jawabku sedikit ketus. Riri pun kembali duduk di tempatnya. Keinginan sudah terpenuhi, ditinggalah sumber penyelamatnya. Hajaarrrr!!!
Semenjak itu, kami sering membicarakan segala keburukan Riri. Iya, ngomongin orang di belakang itu nggak baik, tapi… Ahhh namanya juga anak sekolah, mereka paling demen ngerumpi. Apalagi kalau orang yang diomongin nyebelin tingkat dewa. Dia resmi dicap sebagai teman yang ‘butuh nggak butuh’. Di saat ada maunya, baru mendekat, kalau nggak butuh, udah aja pergi ke laut, syukur-syukur dimakan ikan paus, atau ditelen kerang, atau mungkin dinikahin putra duyung alias duyung cowok, dan mereka berbahagia di istana laut. Mungkin Rani bakalan bilang ‘Alhamdulillah. Daratan tak akan pernah mau menerima kamu lagi, sobat!’
Aku sakit hati dengan sikap Riri, apa dia tidak ingat dengan kenangan-kenangan manis kami? Kami selalu berbuat baik padanya, tapi sekarang dia malah begitu, layaknya kacang yang lupa kulitnya. Dulu, disaat dia sedang dilanda masalah, kami yang selalu memberi solusi, kami yang selalu menghiburnya. Tapi mungkin sekarang dia sudah tidak peduli lagi, menjauh, sampai aku bertanya pada diri sendiri; apa salah aku? Apa aku masih banyak kekurangan? Ya, namanya juga manusia, nggak ada yang sempurna. Haruskah kujelaskan hal itu kepadanya? Maaf kalau aku belum bisa yang terbaik, tapi jujur, pertemanan kita ini aku jalin dengan penuh ketulusan.
Sudahlah, lagipula, aku masih mempunyai ketiga temanku yang lain. Biarkan saja Riri pada jalannya, kalau dia ingin kembali, pintu persahabatan kami akan tetap terbuka, walaupun harus bertekuk lutut dulu, jadi dayang khusus untuk Rani. Karena dia nggak akan langsung maafin. Udah pasti ogah-ogahan!
Tapi… Bagaimana pun dia adalah temanku. Sosok yang pernah hadir sebagai teman curhat. Tugasku hanya satu, menyikapinya dengan baik dan sabar.
Karena memang begitulah romantika pertemanan.
Cerpen Karangan: Jaisi Quwatul Blog / Facebook: Jaisii Quwatul