“Ada apa sih, kok lihat jam mulu dari tadi?” Dian tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahku yang masih sibuk merevisi beberapa bagian dari skripsiku siang ini di ruang belajar jurusan. “Iya nih, temen gue ada yang lagi sidang. Gue mesti dateng, sohib gue soalnya.” Kataku pada Dian yang kemudian mengangguk sebentar. “Oh temen-temen SMA loe yang sama-sama keterima di kampus ini ya?” kata Dian sambil meregangkan ototnya yang dari tadi duduk kaku di depan laptop. “Iya, udah lama gue ga ketemu sama mereka. Sekitar tiga bulan. Bayangin, di kampus yang sama.” Aku sejenak tertawa menatap langit-langit. “Eh, udah nih ya. Kayaknya dia mau selesai.” Kataku sambil membereskan laptopku lalu melambaikan tangan ke arah Dian dan berlalu keluar dari ruang belajar.
Dita, sahabat baikku dari SMA adalah yang akan selesai sidang hari ini. Kebetulan kami diterima di kampus yang sama. Bersama kelima sahabatku yang lainnya, kami menjalin persahabatan sejak berkuliah di kampus ini. Kelima sahabatku yang lain ini sebenarnya tidak begitu dekat denganku ketika SMA seperti aku dengan Dita. Hanya, ketika sama-sama diterima di kampus yang jauh dari orangtua kami, kami mulai akrab dan menghabiskan setiap weekend untuk kumpul bersama.
Aku ingat ketika pertama kali kami naik kereta ke kota ini dan mencarikan kos bersama. Menjalani kehidupan mahasiswa baru bersama meskipun kami berbeda jurusan. Bahkan sampai membuat kami susah mendapatkan teman yang lain saking sudah akrabnya dengan kami bertujuh.
Dita. Sahabatku yang tergolong populer di kampus. Sangat cantik dan sangat memprioritaskan belajar. Meski banyak disukai cowok-cowok, dia sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan pacarnya yang sekarang sedang di Jakarta. Aku dan keluarganya sangat dekat karena sering main ke rumahnya ketika SMA. Silvia. Sahabatku yang paling ahli soal teknologi. Sempat kerja separuh waktu sebagai fotografer. Silvia termasuk tomboy dan sedikit berantakan tetapi paling pintar memasak. John. Sahabatku yang blasteran Australia-Indonesia. Dia bercita-cita menjadi seorang pemimpin negara. Kuliah di kampus favorit inipun adalah dimotivasi oleh cita-citanya tersebut. Aldy. Sahabatku yang paling cekatan dan cermat. Semua urusan pasti beres kalau sama dia. Mulai dari acara liburan bareng, acara ngumpul bareng, pokoknya dia itu paling pengertian dan perhatian sama keperluan kami semua. Nathan. Sahabatku yang paling banyak ngomong, suka menggombal kami para cewek, dan paling usil diantara semua. Selalu saja ada lelucon yang tidak bisa membuat kami tidak tertawa karena dia. Dan yang terakhir adalah Brandon. Dia adalah satu-satunya yang paling tidak banyak bicara padaku. Kadang yang lain suka bilang dia terlalu serius dan sok cool. Tetapi dia tidak pernah absen ketika kami ada acara untuk kumpul bersama.
—
“Dea. Dateng juga loe.” Aldy berteriak ke arahku dari kejauhan. Aku melihat mereka semua sudah disana. “Ya iyalah. Temen gue.” aku tersenyum ke mereka sambil melirik pintu ruangan dimana Dita sedang sidang tertutup. “Kalau Dita baru loe dateng. Gue kemarin engga tuh.” Kata John sambil memasang mukanya pura-pura marah. “Itu kan kemarin gue ketemu dosen, bro.” Kataku sambil mengambil tempat duduk di dekat Silvia. “Kamera baru loe Sil?” “Udah lama. Loe sih kelamaan ga ikut ngumpul.” Kata Silvia sambil mengutak-atik lensa kameranya. “Iya, gue kangen tau sama loe De.” Kata Nathan sambil siap-siap memelukku. Tetapi aku langsung mengarahkan tanganku menolak. “Okay, stop. Dasar. Ga berubah loe Than.” Kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Eh, urunan bunga buat Dita bayar ke siapa?” “Gue.” Kata Aldy. Sementara aku sibuk bertransaksi dengan Aldy, muncullah Brandon dari kejauhan. “Hei. Dah pada lama?” kata Brandon sambil merampas botol minuman Silvia. “Minta dikit. Jangan pelit loe Sil. Entar lama lulus.” “Dikit apaan? Loe habisin semua tuh minuman gue.” Silvia mengarahkan tinjunya tetapi ditahan oleh Brandon. Mereka semua tertawa lepas. “Eh ada Dea.” Brandon tiba-tiba menghampiriku lalu memelukku. “Sini duduk deket gue, kita udah lama ga ketemu.” “Brandon dikasih meluk, gue engga.” Kata Nathan dengan suara agak meninggi. Sementara aku masih setengah sadar sehabis dipeluk oleh Brandon. Sejak kapan dia seramah itu. “Kesambet apaan loe Don. Tiba-tiba ramah begini ke gue.” Kataku pada Brandon yang masih senyam-senyum tidak jelas. Tiba-tiba Dita keluar dari ruangan dengan ekspresi riang. “Gue lulus. Gue lulus.”
Sore hari ini terasa sangat berbeda selama tiga bulan terakhir. Aku merasa bersalah begitu lama meninggalkan sahabat yang sudah aku anggap keluarga ini demi suatu hal yang bahkan sangat mengecewakan pada akhirnya. Semua karena suatu kejadian yang mempertemukanku dengan mahasiswa S2 di jurusanku. Aku jatuh cinta padanya. Dia selalu mengajariku banyak hal mengenai skripsiku. Hari-hari kulalui bersamanya meski kami belum pacaran. Dia begitu baik, bahkan tidak bermaksud ge’er, aku tahu dia juga punya rasa yang sama untukku. Hingga suatu hari sebuah perkataannya padaku yang sangat menyakitkan hatiku. “Maafin aku Dea. Selama ini aku udah jadiin kamu pelarian.” Katanya. “Maksud mas?” kataku dengan perasaan tidak enak. “Aku baru putus beberapa waktu terakhir, kupikir aku harus move on. Aku ketemu sama kamu aku pikir aku bisa, tapi ternyata aku masih memikirkan mantanku. Dan kamu harus tau, tadi malam kami baru balikan.” Penjelasannya yang singkat padat itu menyakitkan hatiku. Hal inilah yang kembali membawa aku menemui sahabat-sahabatku ini. Merekalah yang aku rindukan. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati tidak akan pernah lagi meninggalkan mereka.
Siang ini cukup melelahkankan karena mengurus beberapa berkas untuk mendaftar sidang skripsi. Aku setengah berlari ke arah sekretariat jurusan. Aku sedikit tidak percaya dengan yang aku lihat. Ada Brandon di pintu kantor sekretariat. “Ngapain loe?” kataku sambil setengah tertawa melihat gayanya yang sok cool bersandar di dekat pintu. “Lagi kepikiran pindah jurusan. Bosen di jurusan gue.” Katanya sambil menatapku senyum-senyum. “Jayus ah.” Akupun mendorong pintu kantor itu lalu masuk dan berbicara dengan ibu yang menjaga kantor. Sementara Brandon duduk menunggu aku selesai mengurus urusanku. “Gue udah selesai. Jadi, mau ngurus pindah jurusan?” kataku padanya yang masih saja sok cool dengan kaki disilang. “Makan siang yuk.” Brandon mengedipkan matanya lalu menarik tanganku menuju ke parkiran. Aku cuma bisa pasrah mengikuti Brandon.
—
“Yakin ga mau pesen minum?” kata Brandon sambil mengunyah nasi padang di mulutnya. Sesekali dia meminum es tehnya. “Engga Brandon. Gue bawa minum dari rumah. Lebih terjamin.” Kataku pelan-pelan mengunyah nasi di mulutku. “Emang cewek itu kegitu ya? Ga kamu, ga Dita, ga Silvia. Semua pada suka bawa minum sendiri dari rumah.” Kata Brandon sambil geleng-geleng kepala. Aku mengangguk. Brandon yang sekarang benar-benar berbeda. Bukan Brandon pendiam yang kukenal sejak SMA.
Selesai cuci muka, aku berniat untuk melengkapi revisi skripsiku yang belum selesai. Baru membuka laptopku, aku mendengar bunyi pesan line yang masuk. Ternyata dari Brandon. [Brandon] Botol minum loe kebawa sama gue. [Dea] ya ampun [Brandon] kok ya ampun doang. Diambil dong. [Dea] lagi sibuk gue. Besok deh ketemu lagi. [Brandon] asyik ketemu lagi
Begitulah, aku dan Brandon chatting sampai tengah malam. Sejak menghilangnya aku beberapa bulan, sahabat-sahabatku lebih perhatian kepadaku. Tetapi tidak kusangka, Brandon juga. Beberapa bulan tidak ketemu, perubahan-perubahan yang terjadi terlalu signifikan rasanya.
Pagi ini aku dikejutkan oleh panggilan telepon dari Brandon. Agak kaget kenapa Brandon bisa sepagi ini bangunnya. Setahuku dia paling susah bangun diantara semua sahabatku. “Good morning, De. Udah sadar kan loe?” Aku bergumam, “Iye. Apaan sih loe nelpon pagi-pagi buta begini.” “Dea, kita ketemunya entar malam aja ya. Gue jemput. Sekalian makan malam. Dandan yang cantik. Bye.” Dia mematikan telepon dari seberang sana tanpa aku bisa bertanya dulu. Aku melanjutkan tidurku.
Pukul enam aku kembali bangun, sempat merasakan bahwa Brandon mengajakku makan malam adalah mimpi. Aku pun mengirim pesan line ke dia. [Dea] tadi gue mimpi loe ajak gue makan malam [Brandon] sialan. Itu bukan mimpi. Gue beneran nelpon loe tadi. [Dea] oh okay. Makan malam sama anak-anak juga kan? [Brandon] kagak. Kita berdua aja.
Sebenarnya, perasaanku tidak karuan diajak makan malam berdua dengan Brandon. Brandon sebenarnya adalah sahabat yang baik. Dia sering membantuku misalnya membawa sepeda motorku ke bengkel dan menemaniku ke dokter jaga malam ketika sakit. Meskipun dulu dia lebih suka berdiam, tidak banyak bicara. Tetapi mengapa mengajakku makan malam berdua dan menyuruhku berdandan? Revisian yang menumpuk membuatku tidak sempat berdandan. Dengan menata diri serapi dan sebaik mungkin, akupun menunggu Brandon di depan kost. Brandon pun datang dengan sepeda motornya. Dia membuka helmnya dan melambaikan tangan ke arahhku memberi kode agar aku segera menaiki motornya itu. “Loe suruh gue dandan. Sorry, gue ga sempat.” Kataku sementara Brandon menancapkan gasnya di jalanan. “Masa sih loe ga dandan? Kok gue ngeliatnya malah loe cantik banget, kayak habis dandan.” Kata-kata Brandon yang setengah berteriak karena sedang di jalanan membuat detak jantungku tidak karuan.
Kami pun berhenti di sebuah foodcourt yang terkenal di kota ini. Kami berjalan memasukinya. Tiba-tiba Brandon menarik tanganku, menggenggamnya, tetapi wajahnya tetap fokus ke depan. Anehnya, aku sangat nyaman dengan perlakuannya ini. “Malam ini gue yang bayar dan loe harus pesen minum.” Kata Brandon sambil melihat-lihat meja yang kosong. “Ya iyalah, botol minum gue di elu.” Kataku sambil tertawa ringan.
Setelah memesan makanan, kami pun menyantap makanan yang dihidangkan sambil sesekali bersenda gurau. Makanan pun habis. Tetapi, Brandon diam sebentar seperti sedang mempersiapkan sesuatu. Aku hanya bisa diam, tetapi kemudian mengangkat suara, “Malam ini kayaknya penting ya.” “Ehm, Dea. Sebenarnya ada yang mesti gue bilang ke loe setelah gue simpen beberapa tahun ini.” Brandon kemudian menatapku, gaya bicaranya mulai sedikit kaku. “Setelah beberapa tahun?” kataku mulai bingung tetapi sedikit deg-degan juga. “Please, selama gue ngomong hal ini, loe mau kan dengerin gue? Nanti kalau gue udah selesai, loe bisa ngomong.” Kata Brandon sambil sesekali meneguk es tehnya. Aku mengangguk.
“Gue inget pertama kali kenal loe itu kelas satu SMA, dan kita ada di kelas yang sama. Dari awal, loe itu udah menarik perhatian gue. Loe itu berteman dengan semua siswa di kelas, dan… dan senyum loe itu manis sekali.” “Gue paling susah jatuh cinta. Hati gue keras karena didikan bokap gue. Tapi loe adalah malaikat yang tiba-tiba hadir di hadapan gue. Senyuman loe itu melelehkan hati gue yang keras ini.” “Loe punya banyak teman, bahkan gue tau banyak cowok yang suka sama loe. Gue cuma orang yang menikmati senyuman loe itu dari jauh. Gue sadar tipe cowok kayak gue bukan buat loe.” “Sampai akhirnya kita naik kelas dua, dan keberuntungan memihak ke gue karena kita ada di kelas yang sama lagi. Loe masih ingat ga, pas sekolah ngadain rekoleksi ke luar kota, kita satu kelompok. Hari itu adalah hari yang ga akan pernah gue lupain dimana gue dan loe ada dalam jarak yang deket. Henry, teman SMA kita, dia tahu kalau gue ada feeling ke loe. Dia bantu gue buat nyatain perasaan gue ke loe. Tapi gue adalah pengecut yang gak kuat berdiri di hadapan malaikat kayak loe De.” “Gue ikutin loe ke perpustakaan. Gue mandangin loe dari pojok kelas. Gue catet berapa kali loe nyapa gue selama masa sekolah. Gue bahkan langganan majalah sekolah karena gue tahu loe salah satu redaksinya.” “Loe adalah cinta pertama gue. Tetapi masa kelas tiga menyakitkan hati gue karena kita ga ada di kelas yang sama. Kelas kita bahkan berjauhan. Gue semakin tidak bersemangat belajar, padahal sudah kelas tiga dan banyak yang harus dicapai di masa itu.” “Tetapi ketika beredar kabar kalau loe keterima masuk PTN lewat jalur undangan di kampus teknik terfavorit se-Indonesia ini, jantung gue berdegup kencang. Gue mau nyusul loe De. Gue ga mau jadi pengecut yang cuma bisa mandangin loe dari kejauhan lagi. Gue belajar sekeras mungkin, loe tau kan susahnya keterima di kampus kita ini.” “Cinta gue ke loe mengalahkan kemalasan gue. Pada akhirnya kayak loe tau sekarang, gue dan loe ada di kampus yang sama. Gue bahkan menjadi sahabat loe selama hampir empat tahun ini.” “Tapi gue masih pengecut De. Sudah hampir empat tahun kita kuliah disini, gue bahkan masih biarin gue tersakiti karena memendam cinta. Gue bahkan biarin loe jatuh cinta sama beberapa laki-laki lain yang jelas-jelas ga cinta sama loe.” “Pas loe menghilang beberapa bulan ini, gue dan teman-teman banyak diskusi tentang loe. Kita semua kangen loe, apalagi gue. Gue ngeliat loe di kampus sama cowok lain. Dengan keberanian, gue tanyain dia tentang apa maksudnya deketin loe. Loe itu cuma pelariannya De. Berani-beraninya tuh cowok ngomong itu ke gue, gue tinju mukanya. Sampai akhirnya dia sendiri yang ngaku ke loe, dan loe akhirnya balik lagi ke kita.” “Suatu weekend, gue akhirnya jujur ke anak-anak tentang perasaan gue ke loe selama ini. Jelas mereka kaget. Tapi gue beruntung, mereka adalah sahabat-sahabat terbaik gue. Mereka bantu gue supaya tahan berdiri dan ngomong di hadapan loe.” “Dan sekarang, gue bisa bilang jujur ke loe Dea. Gue sayang sama loe. Selama hampir tujuh tahun ini gue memendam cinta, gue ga pernah mikirin cewek lain yang dampingin gue seumur hidup gue selain loe De. Loe mau kan jadi satu-satunya perempuan yang mengisi hati gue?”
Jelas aku kaget dengan penuturan panjang dari Brandon ini. Brandon, sahabatku. Orang yang tak pernah kuduga memiliki rasa sayang yang begitu dalam ke diriku. Tiba-tiba aku meneteskan air mata, aku benar-benar tak bisa bicara. Sementara Brandon sudah dari tadi berbicara sambil menangis.
“Don, seandainya loe bilang lebih cepat ke gue tentang ini, gue ga akan sibuk jatuh cinta ke orang lain.” Kataku sambil mengusap air mataku dengan tissue. “Gue tau gue ga bisa paksain cinta loe ke gue.” Brandon terisak. Aku memegang tangannya lalu tersenyum kepadanya. “Brandon, gue juga pasti sayang sama loe. Gimana mungkin gue ga bisa. Gue mau kok jadi satu-satunya perempuan yang ngisi hati loe.” Kataku padanya sambil menatap mata tulusnya.
Brandon menarik lembut tanganku lalu mencium punggung tanganku. Aku adalah perempuan yang bermimpi dengan berbagai kisah cinta, tanpa menyadari orang terdekatku telah siap mewujudkannya. Brandon adalah mimpi kisah cintaku yang terwujud.
Cerpen Karangan: Rosa D S Blog: www.personaltreasure.blogspot.com