Kawa, sahabatku adalah sosok perempuan yang anggun dengan kekurangannya yang mudah mengeluh dan sulit berterima kasih. Namun, kekurangan itu terutup di mataku dengan rasa sayang terhadapnya yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri.
Enam tahun kami bersahabat melalui kebahagiaan dan kesedihan bersama tak ubahnya seperti sepasang sumpit mie ayam. Perempuan cantik, tubuhnya yang langsing dan tinggi, bola matanya yang besar selalu menatap langsung pada lawan bicara, hidung mancung dan pipinya yang tirus membuat laki-laki manapun yang melihatnya pasti terpana oleh kecantikannya.
Seberapa banyakpun kelebihan yang dimiliki manusia pasti selalu terselip kekurangan dalam dirinya, begitu juga dengan Kawa. Ia mudah sekali mengeluhkan dirinya pada sesuatu yang menurutku itu adalah hal yang sepele, seperti minggu lalu Kawa mencemaskan perubahan kulitnya yang menjadi hitam setelah liburan. “Aduh Rim, gara-gara ke pantai kemarin tangan gue jadi belang nih”, keluhnya menunjukan pergelangan tangan di hadapanku saat kami berjalan cepat di koridor kampus, karena tiga menit lagi kelas segera dimulai. “Minggu depan udah mulai ujian ya?”, tegur Kawa menghampiri saat aku sedang duduk dengan memandangi layar ponselku. “Iya, belajar lo, jangan bikin contekan doang bisanya”, jawabku tersenyum karena melihat gambar karikatur lucu. Menurutku, Kawa adalah perempuan yang cerdas. Tetapi, ia selalu mengabaikan kemampuannya dan memilih untuk berpenampilan cantik di mata semua orang, itu sebabnya ia tidak pernah belajar saat ujian sekalipun.
“Rim, sore ini temenin ke Mall yuk?”, ajaknya memohon padaku. Karena sore ini aku juga tidak ada acara, aku mengiyakan ajakannya, entahlah apa yang diinginkannya sesampainya di sana nanti. “Iya, gue temenin”, selaku datar saat berjalan keluar kampus. “Ya ampun… Ini cuacanya panas banget deh!”, gerutu Kawa dengan menutupi tangannya menggunakan jaket, karena takut hangus terbakar. “Lebay lo, ini baru panas di dunia, gimana di akhirat, Wa!”, sahutku.
Penglihatan Kawa tertuju pada seorang anak yang duduk di penjuru kota dengan tumpukan koran di sampingnya. Berbalut kaos putih dekil mengalirkan keringat dan debu diusap keningnya dengan tangan tanpa jemari. Memakan sebungkus nasi tanpa menggunakan tangan, melainkan langsung pada mulutnya. “Penjual koran”, ujarku seraya melambaikan tangan di hadapan wajah Kawa. Kulihat tatapanya tanpa mengubah kedipan mata yang tertuju pada anak penjual koran itu. “Oh, eh, iya, ya, iya Rim, kenapa?” Kawa sedikit tergagap sambut ucapanku dan segera memalingkan wajah di sekitanya. “Lo lihatin anak itu?”, ujarku menunjuk arah pojok kota tempat penjual koran tersebut sedang asyik menikmati makannya. “Iya Rim, kok bisa ya?”, Kawa keheranan, “Itu dia gak punya telapak tangan, Rim”, lanjutnya seolah ini adalah kali pertama ia melihat manusia makan dengan cara hewani. “Apapun bisa terjadi, hidup kita udah direncanakan dan gak ada yang bisa mencegahnya”, tegurku menghela nafas dengan suara pelan dan rendah.
Kurasa Kawa empati terhadap penjual koran itu. Tanpa berpikir lama aku berniat mengajak Kawa ke Panti Asuhan Penyandang Disabilitas sebelum kami pergi sore ini. Tempat yang aku harapkan Kawa dapat sadar bahwa dirinya penuh keberuntungan. Sepanjang jalan kulihat mata Kawa seperti membentuk telaga yang seakan ingin menumpahkan isinya.
Sampainya di tujuan tanpa mengira-ngira siapa yang datang Ibu Leli sebagai pengurus Panti Asuhan segera menyambut kami dengan menarik senyumnya. “Rima”, tegurnya sambil meninggalkan pakaian yang sedang dijemurnya. Beliau mempersilahkan kami untuk masuk dan duduk. Ya, memang aku dan Bu Leli sudah saling mengenal, karena jarak panti dari rumah baruku berseberangan. Tanpa membuang waktu lama aku meminta izin untuk memperlihatkan Kawa isi dari Panti Asuhan Penyandang Disabilitas tersebut, dan syukurlah beliau mengizinkan. Senyuman tipis di balik kerudung ya mengantarkan kami berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya.
Kami melihat beberapa anak dengan kekurangan fisik yang berbeda-beda setiap individunya. Dari anak yang Buta, Tuli, Bisu, Cacat Fisik, hingga Keterbelakangan Mental, sampai akhirnya Kawa menumpahkan telaga yang sedari tadi membendungnya. “Bersyukurlah, Wa”, ucapku dengan merangkul tubuhnya, “Tuhan udah menganugerahkan kita kesempatan lahir di dunia ini, bagi mereka keterbatasan fisik bukan halangan untuk terus berkembang dan maju”, ajarku pada Kawa, berharap ia bisa menyadari dirinya bahwa kurang tepat caranya dalam bersyukur.
Fisik bukan patokan untuk menjamin kita hidup bahagia walau terkadang tidak dapat dielakan bahwa kita sering sekali mempermasalahkan “Kesempurnaan Fisik” yang kita miliki. Mungkin selama ini Kawa beranggapan bahwa jika cantik ia akan mendapat sanjungan dari banyak orang. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja cara Kawa dalam mensyukuri nikmat tersebut kurang tepat, sehingga ia tidak pernah merasa puas atas kecantikannya. Pada akhirnya segala yang diciptakan tuhan akan menua dan mati.
Cerpen Karangan: Hilda Fiati Blog / Facebook: Hilda Fiati