Namaku Ara Monika biasa dipanggil ara. Aku hanyalah gadis biasa yang terlahir dari keluarga sederhana. Cantik? Aku juga gadis tidak populer yang memiliki wajah dibawah rata-rata alias biasa-biasa saja tidak ada yang bisa kubanggakan, otakku pun sangat tumpul, hanya satu yang patut diacungi jempol pantang menyerah selalu mencoba dan mencoba walau selalu gagal dan gagal lagi dan hobiku adalah memasak.
Setiap hari aku selalu membantu ibuku di kedai kecil-kecilan depan rumah. walaupun begitu hidupku sangatlah damai tidak ada yang menggangguku sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama dan kedamaian itu berubah saat kakiku menginjak sekolah tingkat atas (SMA), kalian pasti tahu anak-anak yang memasuki masa remaja pasti sangat menjengkelkan bahkan mereka akan mengkritik cara berpakaian, berjalan dan hal-hal sepele lainnya, mungkin mereka yang biasa disebut populer akan sangat membutuhkan kritikan-kritikan itu tapi tidak bagiku, aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan tentang styleku.
SMA Negeri 01 ENGEL Hari ini adalah kelas pertamaku di Sekolah Menengah Atas setelah menjalani serangkaian Masa Orientasi Siswa (MOS) selama tiga hari berturut-turut, sangat melelahkan karena bertingkah seperti orang gila, menuruti semua kemauan kakak-kakak panitia masih teringat di kepalaku bagaimana salah satu kakak panitia memintaku akting drama di depan seluruh siswa-siswi MOS.
“heiii kamu, maju?” aku yang saat itu tengah memikirkan entah apa itu tak mendengar saat salah satu dari kakak panitia memanggilku dan parahnya dia adalah panitia yang paling sadis menurut teman-teman seangkatan lainnya. “apa kamu tuli, hah!” “heiii!!!” “Ara, sssttt…” untungnya sahabatku Kasih menyadarkanku dari lamunan panjang tak berujung, dicubitnya lenganku seraya cengengesan ke arah panitia dan tanpa sadar aku menjadi pusat perhatian semua anggota MOS hari itu. “ada apa?” ujarku dengan nada sedikit kesal sebelum menyadari apa yang terjadi dan aku sangat malu padahal selama hidupku aku berusaha bersembunyi tanpa menimbulkan masalah namun kali ini sepertinya akulah yang telah memulai masalah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Apakah aku sanggup melewati masa-masa SMA ku? Mengingatnya saja membuatku ingin memngubur diri ke dalam inti bumi, mungkin sedikit berlebihan.
“sayang, mengapa kau tinggalkan aku hiks… hiks…!” “aku mencintaimu sayang, kumohon jangan tinggalkan aku hu… hu… hu…!” “bagaimana aku menjalani hidup tanpamu di sisiku huaaa…!” aku meraung-raung seperti orang gila dan menjadi bahan tertawaan, akting ditinggalkan kekasih bahkkan aku tidak memiliki pasangan untuk menjadi lawan main, lucu sekali. Setidaknya mereka menyediakan seorang laki-laki untuk kulampiaskan saat itu bukannya meraung-raung akting sendirian bahkan telingaku saja rasanya mau tuli mendengar teriakan dari mulutku sendiri.
Aku berharap apa yang terjadi waktu itu tak ada yang mengingatnya, aku harap mereka lupa ingatan dan tak mengenaliku. “sial, bagaimana bisa aku bernafas selama tiga tahun di sekolah ini setelah kejadian memalukan itu.” desisku. “aku benar-benar malu, ugh.”
“araaa…!!!” “oh, kenapa gadis itu suka sekali berteriak.” aku mengalihkan pandanganku dan berkacak pinggang menyambut kasih, dia adalah sahabatku sejak duduk di sekolah dasar (SD). “kamu ini, kenapa harus berteriak?” kamu pikir aku tuli, hah?” “hei, hei lihatlah ratu drama kita ini sedang kesal rupanya.” ujarnya sesampainya di depanku, aku hanya mendelik kesal. “oh ayolah, ini hari pertama kita, ara. Kelas baru, teman baru dan wajah-wajah tampan yang baru.” “bahkan aku akan jadi lelucon baru, apa kamu bahagia?” “ya, aku bahagia,” dia memelukku seraya memamerkan senyum pepsodent. “wah, bagaimana bisa gadis licik sepertimu menjadi sahabatku.” “takdir, ara.” “takdir yang menakutkan, heh.” “hei, kamu benar-benar keterlaluan,” kami tertawa bersama, beginilah caraku dan kasih menjalin persahabatan sejak bertahun-tahun lalu. Tidak ada yang tidak saling mengetahui rahasia masing-masing, kami akan selalu terbuka jika ada masalah yang mengganggu.
Aku dan kasih melangkah menyusuri sepanjang koridor, tidak banyak anak-anak yang datang karena hari masih terlalu pagi, kami sengaja janjian untuk datang lebih awal agar dapat memilih tempat duduk yang strategis. “kelas kita yang mana?” tanyaku pada kasih. “kelas 1C,” jawabnya. “aku rasa kita ada di kelas yang buruk.” “ya, itu sesuai dengan otak kita yang tumpul,” ujar kasih sambil tertawa geli.
“menurut teman-teman saat MOS kelas 1A adalah kelas terbaik di sekolah ini dan kelas menengah yaitu kelas 1B dibilang pintar juga tidak dan dibilang bodoh juga tidak artinya netral.” tambahnya. “berarti benar kelas kita yang terburuk,” ucapku. “aku rasa begitu.” “oh, aku menyesal.” “menyesal kenapa?” “terlahir menjadi anak yang bodoh, mengapa dulu waktu kecil aku tidak rajin belajar,” keluhku seraya menelungkupkan kedua tanganku ke wajah. “ara, kamu masih bisa diandalkan di dapur, kok,” kata kasih kemudian dengan nada jahil. Berpura-pura menghibur. “aissshhh… kamu ini.”
Setelah berjalan sekian lama, aku dan kasih menemukan habitat kami maksudnya kelas 1C yang berada paling ujung jauh dari populitas anak-anak berotak tajam. “akhirnya,” ujarku. Kasih yang menurutku sedikit pecicilan terlebih dahulu mengambil tempat duduk di paling pojok dan tentunya satu paket, “sungguh tempat duduk yang strategis, jauh dari jangkauan guru.” “kamu sangat ahli memilih tempat,” kataku pada kasih dengan bangga yang disebut hanya tersenyum dibuat-buat seraya mengangguk-angguk. Mungkin orang-orang mengira kami sengaja datang pagi-pagi ke sekolah karena menginginkan tempat duduk paling depan, salah besar. Bagi anak-anak otak tumpul tempat duduk paling belakang adalah suatu kebanggaan dan tempat duduk paling depan adalah bencana sangat berbeda dengan tanggapan anak-anak kelas terbaik dan kelas menengah yang berlomba-lomba duduk di paling depan dan berharap menjadi perhatian guru, mereka adalah orang-orang yang memuja popularitas. “tentu saja, itu keahlianku,” ujar kasih.
Beberapa menit kemudian anak-anak mulai berdatangan dan memasuki kelas masing-masing begitu juga dengan kelas 1C dihari pertama saja sudah membuat keributan ada yang berkenalan, ada yang iseng melempar kertas dan keributan-keributan lain sepertinya tidak ada rasa canggung diantara mereka atau mungkin juga mereka sudah saling kenal saat MOS.
“lihatlah, otak mereka bahkan lebih tumpul daripada kita?” bisik kasih padaku, matanya memperhatikan anak-anak sekelas. “mereka hanya belum dewasa,” kataku asal-asalan. “memangnya kau sendiri sudah dewasa?” “a-ah… entahlah.” krik… krik… krik…
Tidak lama kemudian bel sekolah berbunyi pertanda bahwa kelas akan dimulai, kegaduhan yang terjadi beberapa waktu lalu kini mulai senyap seiring langkah kaki wali kelas kami memasuki ruangan 1C. Tak… tak… tak… suara dari high hell terdengar sangat jelas dilantai. “aku rasa wali kelas kita sama mengerikannya dengan kelas ini?” bisik kasih lagi ini yang kedua kalinya dia berbisik padaku. “mungkin,” ujarku tak berminat.
Pintu kelas terbuka. “selamat pagi, anak-anak,” sapa wanita setengah baya yang baru saja memasuki ruangan. Buku-buku tebal melekat erat dalam pelukannya. Tampang guru mereka itu tidak begitu sangar malah terkesan ramah hanya suaranya saja yang menjadi point. Point untuk menakut-nakuti murid yang kurang kasih sayang dalam artian lain. “pagiii…!!!” anak-anak 1C ber-koor-ria membalas sapaan wali kelas. “perkenalkan nama ibu Sri Muliasih, ibu memegang kendali kelas ini alias wali kelas dan ibu akan bertemu kalian di mapel IPA. Oke, berhubung ini hari pertama kita gunakan untuk perkenalan. Satu-satu maju ke depan kelas memperkenalkan diri masing-masing.” Mataku membelalak seketika sementara kasih terkikik geli. “hahaha… tampangmu kayak orang habis modal,” mati-matian kasih menahan tawanya. Kalau saja tidak ada bu sri yang berdiri mentereng bersinar-sinar memasang tampang mengintimidasi di depan kelas mungkin dia sudah tertawa sekeras-kerasnya. Kasih tahu kalau aku orangnya paling ‘demam orang banyak’. Lihat aja sekarang tampangku kocak abis sambil mengkeret ketakutan, maju aja belum. Nyaliku sudah ciut 99,9 persen. Yang 1 persen Cuma buat nafas sama bertahan agar tidak ambruk.
“kita absen sesuai abjad,” kata bu sri kemudian. “Ara Monika, maju!” “damn it!” aku baru ingat kalau nama depanku berawal dari huruf abjad pertama. Meskipun sudah dipanggil, aku tidak berani maju bahkan aku tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduk yang semakin memanas. Karena pantat semakin ditekan ke bangku, menahan emosi yang campur aduk. Rasa takut dan tidak percaya diri adalah yang terbesar.
Ibu sri memelototi seisi kelas berusaha mencari pemilik nama yang tak kunjung beranjak dari tempat duduknya dan mengulang dengan keras. “Ara Monika, maju!” Kasih menyengol lenganku, nyaris saja aku berteriak. “apaan sih…-” “buruan maju sana. Bu sri udah manggil-manggil sambil melotot gitu,” kata kasih. “nggak mau,” bisikku bersikukuh dan tanpa kusadari kasih menyerigai. “bu?!” kasih mengacung-acungkan tangan ke atas. Aku menatap tajam padanya namun tak digubris, jahat. Bu sri menatap kasih. “kamu yang namanya Ara Monika,” katanya kemudian. “bukan, bu. Tapi ini,” kasih menunjuk langsung ke samping tepat di depan hidungku. “oh my god, kasih sudah gila,” umpatku dalam hati. Kasih hanya senyam-senyum dengan wajah dibuat sepolos mungkin. “nggak bakalan mati berdiri, kok,” ujarnya berpura-pura menghibur. “oh, damn… damn… damn…!” aku mendengus kesal. Dalam hatiku kesal setengah mati.
“kamu maju sekarang,” kata bu sri sambil menunjukku dengan penggaris tapi aku tetap tak bergeming dengan wajah pucat pasi bak vampire. Setengah kesal akhirnya bu sri menggunakan kata-kata ancaman. “maju sekarang atau ibu suruh kamu memperkenalkan diri di depan anak-anak satu sekolah?” kejam. Dengan terpaksa dan dibarengi langkah terseok-seok layaknya kuda patah kaki aku maju ke depan kelas.
Suasana mencekam terasa seperti sedang main film horror, tidak ada yang berbicara dan tertawa melihat tingkahku kecuali satu manusia nista yang duduk sebangku denganku, kasih. Dia mati-matian menahan diri agar tidak ber-haha-ria. “oke, ara bertahanlah tidak sampai digigit dan mati. Just sometimes daripada mati beneran kalau disuruh memperkenalkan diri di depan anak-anak satu sekolah. Lebih memalukan, cukuplah pengalaman saat MOS,” batinku menyemangati diri sendiri. “pertahankan 1 persen yang tersisa,” lagi-lagi batinku bergejolak. “ara… ara… ARAAA…!!!” “kaget aku,” aku jatuh terduduk di depan kelas tersadar dari pemikiran-pemikiran beringas karena teriakan bu sri yang tengah menahan kesal melihatku yang terlalu lama berpikir. Tawa teman-teman sekelas meledak melihat adegan ‘kaget’ ku. Tak ayal lengkingan tawa kasihlah yang paling mendenging-denging di telingaku, saking panas hatiku. Haha… Aku bangkit dan membungkuk meminta maaf pada bu sri. “m…ma…maa…maaf b…bu,” suaraku mencicit. Dan meledaklah kembali tawa para pendosa itu, pendosa yang tega melihat temannya tengah kesulitan mirip orang kena penyakit ‘gagap’ akut.
“ayo mulai,” kata bu sri mengingatkan. Suaranya melembut mungkin karena dilihatnya tampangku yang tidak berbeda jauh dengan, mayat hidup. “n…na…maku… a…ara… mon…mon…nika,” Begitulah seterusnya… perkenalanku adalah perkenalan yang mencetak skor paling lama dan paling memalukan. Seandainya ada pintu kemana saja milik doraemon, aku ingin lenyap dari muka bumi saat ini juga. Tapi itu tidak mensyukuri hidup namanya.
Entah sejak kapan berita tentang ‘demam orang banyak’ sampai berita pengenalan ‘kaget’ diriku menjadi gosip paling hangat di sekolah dan menjadi trending topic di fanspage FB sekolah. Seharusnya aku maklum, pasti teman-teman kelas 1C tercintaku yang isinya pada tolol… lol… lol… kebangetan membuka aibku. Aib yang menyebar lebih cepat daripada virus mematikan. Kenapa mereka tidak merahasiakannya, coba, justru dengan menyebarnya berita ini, gelar kelas 1C akan bertambah selain penghuninya bodoh menjadi bodoh kebangetan.
Kini aku berada di kantin dan bersembunyi di tempat paling pojok. Ingin rasanya aku menangis, betapa tidak. Anak-anak satu sekolah mencari nama Ara Monika dari kelas 1C objek trending topic. Terpaksa aku menyembunyikan diri dibalik punggung kasih. Kasih berusaha menghiburku dan aku hampir saja melupakan fakta bahwa kasih yang membuatku maju ke depan kelas. Mataku beralih berkilat tajam menatapnya, dia hanya cengar cengir seolah tak pernah melakukan apapun. Well, walau ini bukan salah kasih tapi tuntutan guru namun tetap saja aku kesal… kesal… kesalll… dan orang yang tepat untuk melampiaskan emosi hanyalah kasih seorang.
“benar-benar kamu!” tandasku tajam setajam-tajamnya, tanpa ampun. Kukecilkan suaraku saat sadar dengan hingar bingar anak-anak yang ke kantin. Merampungkan acara hajatan, makan dan minum. “jangan salahkan aku tapi ini semua sudah ada di tangan bu sri. Aku hanya membantu mempercepat proses. “Apa katanya?” Mempercepat proses. Yang benar saja. “aku malu, kasih. Sangat-sangat malu,” desisku berusaha tidak menarik perhatian anak-anak lain. “justru ini bisa jadi pelajaran, ara,” kata kasih santai sambil menghirup es strawberry creamy yang masih tersisa setengah di gelasnya. Sementara aku tak berminat untuk makan dan minum sedikitpun, indra perasaku mati rasa. Mungkin terlalu berlebihan. “what the hell?” barusan aku yang salah dengar atau kasih yang lagi melawak. “pelajaran?” kataku kemudian. Kuhembuskan nafas perlahan berusaha bersikap sabar menghadapi tingkah laku kasih. “coba saja kamu yang ada di posisiku, kasih. Kamu akan tahu bagaimana rasanya. Malu, sakit dan terenyuh… bla… bla… bla…” “fine, walaupun aku nggak salah. Aku minta maaf,” tegas kasih memotong ceramahku. Dengan wajah berbinar-binar kutatap kasih. Dia bergidik. Aku tertawa melihatnya. “kamu memang yang terbaik,” kataku. “itu biar telingaku nggak panas-panas amat dan mengakibatkan budek fatal,” balas kasih. Aku tersenyun namun beberapa detik kemudian aku menatap horror pada kasih. Barusan dia ingin bilang kalau aku ini ‘menimbulkan efek penyakit’ gitu. Hello… “benar-benar,” kasih tertawa geli melihat tablo-ku (tampang bloon).
“gue penasaran sama anak yang namanya, Ara Monika,” aku dan kasih membeku seketika mendengar kalimat para penggosip pentolan sekolah yang mulai memasuki kantin. “iya, gue juga. Masa baru hari pertama udah jadi trending topic di seantero sekolah dan fanspage sekolah kita. Banyak yang pasang hastag temukan ara monika,” aku merutuk dalam hati. Memangnya aku game pakai hastag segala. “secantik apa, sih?” “senior junior pada nyari tau, tuh. Kalau ketemu pasti dipermalukan.” “tuh cewek berasa famous.” “kalau nggak salah gue ingat-ingat lupa sama yang namanya ara monika itu.” “demi apa?” “oh iya, loe pada ingat nggak drama queen waktu MOS,” Jedarrr… kepalaku bagai tersambar petir ternyata masih ada yang ingat tentang aktingku tempo hari. “oh iya, ya.” “serius, nih?” “tanya aja sama kakak kelas yang jadi panitia MOS waktu itu.” “kurang kerjaan aja. Lagian gue ngeri ama tuh orang.” “cantik, iya. Tapi judesnya minta ampun.” “gue yang bakalan cari tau dan mempermalukan tuh orang, siapa tadi?” “ara monika.” “ya, terserahlah. Ara atau ari-ari pun nggak masalah, be happy.” “ada yang berani taruhan.” “dia dari kelas 1C.” “udah tau.” “dari tadi gue bolak-balik dari kelas IQ rendah itu, orangnya nggak ada.” “tahu dari mana dia nggak ada? Emang loe kenal gitu.” “nggak sih… nanya aja sama anak-anak rada bego itu. Teman mereka famous karena saking gobloknya aja mereka gembar-gembor,” mereka tertawa terbahak-bahak mendengar komentar terakhir.
Cerpen Karangan: Sesi Herawani Blog / Facebook: Facebook : Ecy II Nothing special about me 🙂