Dan ketika malam hari tiba-tiba dering handphoneku berbunyi tanda seseorang mencoba untuk menelepon. Aku penasaran, siapa malam-malam begini meneleponku? Nomor asing ternyata, tetapi nomor siapa ini? Jangan-jangan ini nomor penjahat yang ingin menerorku? Atau ini telepon dari komplotan penjahat yang ingin menyanderaku melalui telepon? Aku begitu takut, jangan-jangan ini beneran komplotan penjahat yang meminta uang tebusan atau uang apalah, pikiranku begitu takut saat itu.
Aku memutuskan untuk mereject telepon itu. Tetapi, telepon dari nomor yang sama kembali masuk untuk kedua kalinya. Aku masih ragu untuk mengangkatnya, namun rasa penasaranku dengan telepon ini mengalahkan ketakutan dan juga keraguanku. Aku angkat panggilan ini, dan tiba-tiba seorang wanita berbicara, “Halo, ini Andi ya?”, ujarnya memulai pembicaraan. Siapa ini? Aku begitu penasaran, tetapi suara itu tidak asing di telingaku. Apa ini temanku? Tanyaku dalam hati penuh keraguan. “Aku Putri di,” ujarnya melanjutkan pembicaraan. “Hmmm.. kamu to Put,” jawabku. Rasa penasaranku kini sudah terjawab.
Kami berdua saling berbicara di telpon dan ditemani rintik hujan malam itu, ditemani juga oleh dinginnya udara malam yang menusuk tubuh ini. Kami berdua berbicara hingga larut malam, saling bercerita hingga tanpa disadari diriku tergeletak di kasur. Oh nampaknya aku ketiduran saat itu.
Fajar telah menampakkan sinar merahnya, tanda aku harus bangun dan memulai aktivitas baruku di pagi ini. Meski rasa kantuk dan malas masih melanda pada diri ini, tetapi aku harus mengalahkan itu semua. Sambut hari baru dan juga semangat baru. Di tengah dinginnya udara di pagi hari, aku bergegas membersihkan badan ini untuk kembali bersiap bersekolah.
Tepat pukul 6 pagi aku bergegas menuju sekolah, dan 15 menit kemudian aku tiba di depan gerbang sekolah dan tidak sengaja bertemu dengan Putri. “Ini kebetulan apa kita berdua emang jodoh ya? Hehe,” candaku dalam hati. “Hei, masuk yuk,” Putri mengajakku masuk ke dalam. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk berjalan bersamanya menuju ruang kelas.
Dan ketika kami berdua tiba di pintu kelas tiba-tiba… “Cie… Putri sama Andi ya sekarang,” ucap Ajeng teman sebangku Putri. Aku begitu tersipu malu saat itu, wajahku sampai memerah mendengar ucapan Ajeng. “Cie… Andi sampai merah gitu mukanya,” ujar teman-teman yang lain membuat wajahku semakin memerah saja.
Namun tiba-tiba Si Boy yang juga teman sekelasku datang dan berbicara, “Hei Put, ngapain kamu sama si Andi? Dia kan bodoh. Lihat saja kan kemarin masa ngerjain soal matematika semudah itu tidak bisa sih? Kok kamu mau sih temenan sama dia?,” ujarnya penuh kebencian padaku. Ingin rasanya ku menampar wajahnya saat itu juga, namun Reza teman sebangkuku menahanku agar emosiku tidak sampai meluap. “Kontrol emosimu, jangan mudah terprovokasi sama di,” bisik Reza kepadaku. Jujur aku begitu geram mendengar ucapannya, aku begitu kesal padanya.
Dan saat pelajaran berlangsung aku tak fokus mengikuti pelajaran, apalagi saat itu Pak Bagus yang kembali mengajar. “Pak Bagus lagi, Pak Bagus lagi. Matematika lagi, matematika lagi,” gerutuku dalam hati. Aku begitu geram, marah, dan kesal saar itu. Beruntung aku memiliki Reza sebagai sahabat baikku. Dia selalu ada, mau jadi pendengar yang baik untukku. Hari itu dia juga bersedia mengantarku pulang sampai rumah dengan sepeda motornya. “Lumayan nih, jadi hemat ongkos. Hehehe,” ujarku dalam hati
Hari demi hari telah terlewati, dan pada suatu saat sekolahku mengadakan turnamen futsal antar kelas. Sebenarnya acara ini cukup menarik, begitulah anggapan kakak-kakak kelas di sini. Sebenarnya aku pun malas mengikuti turnamen futsal ini. Aku mana bisa main futsal? Daripada malu-maluin lebih baik tidak usah ikut sekalian. Namun dengan jumlah kuota tim 10 orang tetapi jumlah cowok di kelasku ada 6 orang mau bagaimana pun aku harus ikut turnamen ini, meskipun hanya sebagai pelapis saja.
Suatu hari kelasku mengadakan rapat membahas turnamen ini yang akan segera berlangsung. David, sang ketua kelasku membuka rapat dengan meminta masukan kepada teman-teman sekelas. “Apa ada yang punya masukan untuk tim kita dalam persiapan turnamen ini?,” tanya David membuka pembicaraan. “Aku rasa tidak ada Vid, kita kirimkan saja 6 orang untuk turnamen ini. Memang kan begini keadaannya, kelas kita cuma punya 6 cowok. Masa yang 4 mau pinjam ke kelas lain?,” usul Robet salah satu teman sekelasku juga. Tetapi tiba-tiba si Boy mengancungkan tangan hendak memberikan usulannya. “Pasti dia mau mempermalukan aku lagi di depan teman-teman sekelas,” pikirku penuh curiga. “Saya mau usul pak ketua!,” ujar Boy. “Silahkan Boy,” jawab David. “Saya rasa kita hanya perlu membawa 5 pemain saja dalam turnamen ini,” ucap Boy memulai usulannya. “Loh? Mengapa begitu? Bukannya jika kita mengirim 5 orang saja kita tidak punya pemain cadangan?,” David mulai bertanya-tanya. “Buat apa ngandelin pemain cadangan payah kayak si Andi ini, percuma saja! Dimasukin di babak kedua pun tak pengaruh apa-apa buat tim kita. Dia bakal jadi pemain yang tidak berguna!,” jawab Boy dengan ketusnya. “Hei! Tolong jaga bicaramu itu! Kau telah menghinaku di hadapan teman-teman sekelas. Memang siapa kau ini? Jangan sok bisa futsal deh! Belum jadi pemain profesional aja sombongnya minta ampun!,” jawabku penuh kemarahan. “Hahaha lucu.. daripada kau? Nendang bola saja tidak bisa! Puh dasar payah!,” ucap Boy sambil tertawa keras. Aku ingin memukul wajahnya saat itu, tetapi Reza kembali menahanku. “Sudah cukup, tak perlu kau ladenin lagi,” ucap Reza menenangkanku. David pun juga menenangkan keributan ini. “Sudah, sudah tak ada gunanya kalian ribut begini, lebih baik kita pikirkan apa yang harus kita persiapkan untuk turnamen ini. Aku sudah putusin untuk tetap mendaftarkan 6 pemain. Jadi aku mohon maaf Boy usulanmu aku tolak,” ucap David. Boy begitu kecewa dan meninggalkan kelas tanpa sepatah katapun.
Suatu hari kami mengadakan latihan dalam persiapan menghadapi turnamen ini. Tetapi latihan ini sungguh tak menyenangkan bagiku. Bagaimana tidak, Boy terus dan terus saja menghinaku dalam latihan ini. “Sedari kemarin gua udah gak setuju si Andi bergabung di tim ini. Kalian lihat saja kan? Dia gak bisa sama sekali main futsalnya, nendang bola pun kayak nendang angin. Hahaha,” ucapnya sembari tertawa. “Kau sudah keterlaluan Boy!” (aku bersiap menampar wajahnya, tetapi tangan Reza kembali menahanku. “Lu mau nampar gua? Yakin lu berani? Cowok penakut kayak lu mana mungkin berani nampar orang. Paling cuma ngomong di mulut doang,” Bot membalas ucapanku.
Tiba-tiba Reza mengajakku ke pinggir lapangan dan berbicara kepadaku. “Tak ada orang bodoh di dunia ini. Mungkin saat ini kau dianggap bodoh dan payah, tetapi kalau kamu mau mengubah ejekan orang menjadi sebuah pujian aku siap membantumu mewujudkannya,” ucap Reza penuh arti. “Aku ga ngerti maksudmu Za,” ucapku penuh tanda tanya. “Aku akan mengajarimu teknik dasar bermain futsal. Mungkin ini tidak akan membuatmu menjadi pemain profesional, tetapi setidaknya kau tidak akan direndahkan dalam pertandingan kelak,” jawab Reza. Aku begitu senang Reza menawarkan hal itu kepadaku. “Kamu memang sahabat terbaikku, 1000 teman sekalipun tanpa adanya kamu sama aja aku gak punya teman sama sekali. Cuma kamu yang bisa ngertiin aku saat ini. “Demi kelas ini aku berjanji akan tampil baik dalam pertandingan besok,” ucapku kepada Reza. “Nah gitu dong. Semangat! Pantang mundur sebelum menang. Kita sama-sama berjuang demi kelas ini,” kata Reza memotivasiku.
Pertandingan pertama pun dimulai, namun Reza tak kunjung datang. Kita semua khawatir, padahal dia kapten tim ini. Waktu pertandingan pun dimulai, seluruh tim diharapkan memasuki lapangan pertandingan. David sempat meminta panitia menunda pertandingan selama 5 menit, namun panitia menolak. Pertandingan pun tetap dilaksanakan.
Dalam pertandingan itu Boy begitu egois, tak sekalipun dia memberi bola padaku ataupun pada teman lainnya. Keliatan banget dia ingin jadi bintang di pertandingan itu. Aku sempat adu mulut dengannya. “Lu jangan egois dong! Ini permainan tim bukan permainan individu!,” ujarku kesal. “Jangan banyak bicara kau! Akulah sang bintang di sini! Hahaha,” ujarnya penuh kesombongan. Karena keegoisannya permainan kita amburadul. Babak pertama pun kita kalah dengan skor 0-2.
Di ruang ganti semua pemain begitu kecewa, sudah jelas kekalahan kita karena keegoisan Boy, tetapi Boy tak terima dia disalahkan namun tiba-tiba Reza datang mengagetkan kita semua. “Lu dari mana aja? Kita butuhin lu banget kapten, kita udah ketinggalan 0-2,” ujar David. “Aku sengaja datang terlambat, aku ingin melihat Andi dan Boy bekerja sama dalam pertandingan ini. Namun hasilnya begitu mengecewakan,” ujar Reza. “Boy apa kamu gak sadar kekalahan tim kita itu karena kamu? Apa kamu gak sadar keegoisanmu mengantarkan kita ke gerbang kekalahan? Apa kamu gak mau tim kita menang dan akhirnya jadi juara? Tolong Boy, demi kelas ini demi tim ini kurangi keegoisanmu. Aku mohon sebagai kapten sekaligus sebagai teman baikmu,” ujar Reza kepada Boy. Boy terdiam, tapi tiba-tiba peluit berbunyi tanda pertandingan babak kedua dimulai.
Anehnya pada menit-menit terakhir babak kedua, Boy akhirnya mau memberi umpan padaku dan akhirnya “gooollll,” teriakku penuh kegembiraan. Aku bisa mencetak gol di pertandingan itu. Tetapi sikap Boy yang mulai dewasa membuatku lebih senang. Dia tidak egois lagi.
Pertandingan itu timku memang kalah 1-2, tetapi aku tak begitu kecewa. “Aku minta maaf sama kamu, aku udah ngerendahin kamu. Gara-gara aku tim kita jadi kalah begini,” ujar Boy penuh penyesalan. Dia pun memelukku dengan erat. “Sudahlah, ini bukan sepenuhnya salahmu. Jadikan ini pelajaran buat tim kita agar lebih baik lagi di pertandingan selanjutnya,” ujarku kepada Boy
Aku bangga sekaligus bahagia. Aku bangga aku berhasil mengubah ejekan dan hinaan padaku menjadi sebuah pujian dan tepuk tangan. Aku bahagia, tak peduli timku kalah, tapi aku senang karena tak ada lagi pertengkaran lagi di timku ini.
Tak ada kemenangan yang lebih hebat daripada kemenangan atas hawa nafsu kita sendiri.
TAMAT
Cerpen Karangan: Firdaus Deni Febriansyah Blog: cerpenfirdaus.blogspot.co.id