Suasana pagi yang segar di bulan agustus 2015 itu mengawali perjalananku. Ya, panggil saja aku Giovani. Inilah kali pertama aku jauh dari kedua orangtuaku. Perasaan sedih dan takut menghampiriku. “bagaimana ya kehidupan disini?”, “teman-temanku nanti baik gak ya?”. Begitulah kata hatiku. Rasa takut menghampiri karena selama ini aku selalu berada di samping kedua orangtuaku. Mataku masih kosong mengenai lingkungan di luar zona nyamanku. Ya, dari sinilah awal aku memahami arti kehidupan yang sesungguhnya.
Hari pertama kuliah, aku pergi masih diantarkan kakakku. Kakakku mengatakan padaku bahwa masyarakat kota ini baik. Aku berjalan memasuki kawasan kampus masih dengan perasaan takut dan sedih. Di parkiran sepeda motor, aku bertemu dengan teman baruku. Panggil saja dia Riri. Dia merupakan warga asli Yogyakarta. Pertemuan awal dengannya sudah diwarnai dengan canda tawa yang melebur kecanggungan kami. Perasaan sedih dan takut yang tadinya kurasakan perlahan redup. Suasana tenang di Kota Yogyakarta juga meredupkan sedih dan takutku. Memang benar, teman yang ramah dan niat yang baik membawaku ke tempat yang menyenangkan. Di kota inilah aku melanjutkan proses hidupku.
Hari pertama kuliah, murid baru dijadwal mengikuti perkuliahan Bahasa Inggris di luar wilayah kampus. Aku bingung karena tidak tahu dimana tempatnya. Tiba-tiba riri memanggil dan menawarkan untuk pergi kuliah bersamanya. Aku pun menerima tawarannya. Entahlah, tapi aku merasa nyaman dengan riri. Seketika aku tertarik untuk mengenal riri lebih dalam. Bagiku, dia berbeda dari wanita lainnya. Penampilannya bak seorang lelaki dan berkarakter tomboy. Meskipun begitu nada bicaranya sangatlah halus.
Sepanjang perjalanan, riri mengajakku berbicara. “Kamu kok kuliah disini? Kenapa?”, tanya riri. “Iya ri, kalau di Medan terus nanti pengetahuanku gak nambah-nambah dong haha”, ujarku. “Hiihh kamu berani ya jauh dari orangtuamu. Kalau aku sih berani gak berani”, jawabnya sambil tertawa kecil. “Sebenarnya aku sedih juga jauh dari orangtuaku, tapi kan aku harus belajar ri”, jawabku. “Jangan sedih, kan disini nanti kamu ada temen-temennya juga. Kan ada aku juga”, ujar riri. “Iya juga ya, makasih loh ri”, jawaku sambil tersenyum kecil. Sesampainya di tempat perkuliahan Bahasa Inggris, aku dan riri masuk ke kelas. Sayangnya kami berada di kelas yang berbeda.
2 jam kemudian, kelas kami pun selesai. Aku pun menemui riri di parkiran dan kami pun kembali ke kampus. “Gio, kita makan yuk. Aku lapar”, ujar riri dengan lembutnya. Aku pun mengangguk. “Ehh bentar ya aku panggilin livia dulu soalnya dia tadi juga mau makan”, ucap riri sembari pergi memanggil livia.
Livia? Siapa livia? Ternyata, livia adalah teman riri sedari SMP. Dia berkulit putih, rambutnya sebahu dan menggunakan kawat gigi. Ya, sungguh indah ciptaan Tuhan yang satu ini. Mereka pun datang dan kami pergi menuju kantin. Sambil menunggu makanan, riri mengenalkanku kepada livia. Aku pun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. “Livia, kalau boleh tau kok kamu sempat pindah ke bandung waktu SMA?”, tanyaku yang mencoba akrab dengan livia. “Oh, iya, aku kan emang asli orang Bandung gio. Ya, makanya kemarin SMA disana bentar”, jawab livia sambil tertawa kecil. “Dihh boong banget. Gio, dia ini cantik-cantik gini tapi nakal loh makanya dipindahin ke bandung. Vi, ntar sebelum makan lu doa dulu”, ujar riri sambil tertawa. “Enak banget lu ngarang cerita. Iya iyaa bawel ah”, ucap livia.
Makanan yang kami pesan pun datang. Seketika suasana menjadi hening dan kami menikmati makanan kami. Selesai makan, kami pun kembali ke rumah masing-masing. Lagi-lagi, riri menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Sesampainya di depan kos, aku pun mengajak riri untuk ngobrol di kosku.
“Rii, pertemananmu dengan livia masih terjalin akrab ya,” ucapku. “Ya gitu gio, soalnya livia butuh orang yang selalu ada buat dia”, jawab riri yang mengundang tanya. “Emangnya livia kenapa ri? Dia sakit?”, tanyaku. “Emmm, Livia itu sempat depresi karena orangtuanya pergi ninggalin dia. Dia dititipin ke Pakdenya yang di Jogja ini. Orangtuanya tuh janji bakal jemput dan bakal sering nelfon dia tapi gak ada yang mereka lakuin. Livia sedih dan di sekolah juga dia uring-uringan gio. Gak jelas deh pokoknya. Terus aku liat dia gabung gitu sama geng pembuat onar di sekolahan. Yaudah deh, dia jadi sering ke klub malam, merok*k, minum-minuman keras dan bahkan jarang banget masuk sekolah”, jelas riri kepadaku.
“Lalu kok kamu bisa deket sama livia?”, tanyaku. “Semua berawal dari kejadian di toilet sekolah. Waktu itu aku ke toilet dan mencuci tanganku di wastafel. Aku mendengar ada suara orang menangis dari bilik toilet paling ujung. Sejujurnya aku takut tapi aku penasaran dengan suara itu. Pada saat aku membuka pintu, aku melihat livia terduduk pucat di kloset. Aku kaget dan segera meletakkan tangannya di bahuku. Eh belum sampai di klinik kampus, livia udah pingsan. Aku meminta bantuan teman yang lain untuk membopong livia”, ujar riri panjang lebar.
“Semenjak kejadian itu kamu dan livia jadi akrab?” tanyaku. “Iya, saat di klinik dia ceritain tentang keluarganya. Livia minta diantarkan pulang ke rumah dan aku mengantarkannya. Eh dia malah pingsan lagi, akhirnya aku bawa ke rumah sakit terdekat. Aku mencoba menelfon pakdenya tapi gak diangkat. Akhirnya aku berniat untuk menemani livia di rumah sakit. Pakdenya sempat datang ke rumah sakit, namun datang sebentar dan pergi tanpa berbicara”, jawab riri dengan senyuman kecilnya.
“Lalu mengapa pertengahan SMA livia pindah ke bandung?”, tanyaku “Iya, ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil sehingga dia pergi ke bandung dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya disana,” jawab riri.
“Jika aku menjadi livia, aku pasti sudah bunuh diri”, jawabku. “Livia juga ngomong begitu gio. Tapi aku mengatakan padanya bahwa Tuhan lebih menyayangi ibunya. Aku meyakinkan livia meski ibunya meninggalkannya tapi ibunya pasti menyayanginya. Aku membujuknya untuk pergi ke bandung. Untungnya livia berhati lembut. Aku seneng sih sekarang livia udah jadi pribadi yang positif dan dewasa”, jawab riri.
“Ri, aku salut denganmu. Kalau aku jadi kamu, aku gak bakal ngelakuin hal kaya kamu. Orangtuaku selalu mengatakan untuk memilih dalam berteman”, ucapku . “Jadi malu gio. Bener sih kita harus memilih dalam berteman, tapi ada baiknya kita melihat dari sisi positif lainnya. Emm kayanya kita ngobrolnya lama ya, aku harus pulang nih. Aku balik dulu ya gio, see youu ”, ujarnya sambil tersenyum kecil. “Hati-hati, rii. See you”, teriakku dengan nada lumayan keras.
Senja kala itu menutup hariku dengan penuh makna. Senja pun menyadarkanku bahwa mentari itu tak selalu menemani. Begitulah dengan kehidupan ini. Kebahagiaan tidak selalu menyelimuti keseharianku. Dari riri aku belajar, bahwa luka sesakit apapun masih dapat diobati. Dari riri pun aku belajar untuk menerima dan memberi kasih. Mungkin beginilah cara Tuhan mengajarkanku untuk mensyukuri dan menghargai setiap hal yang masih kita miliki.
Cerpen Karangan: Yosephin Hamonangan Pasaribu Blog: yosephinsidehp.wordpress.com Kamu tidak akan pernah mengenal dirimu jika kamu belum menorehkan hitam diatas putih.