Menulis tak semudah yang diperkirakan berbagai orang. Banyak orang yang menganggap ringan sebuah kegiatan menulis, tapi nyatanya, mereka pupus di tengah jalan karena begitu beratnya menulis. Entah, hantu apakah, setan apakah ataukah jenis makhluk apakah yang merasuki kata menulis sehingga banyak orang yang takut dengannya.
Kata-kata anti menulis tak pernah terukir pada diri seorang temanku. Dia adalah seorang teman yang sangat gigih memperjuangkan kemauannya maupun kemauan orang lain. Dia lah Dafi, seorang anak yang tak akan mau mundur terhadap masalah yang dihadapinya. Kehandalannya terhadap menulis membuat jalan baru bagi kehidupannya.
Lika-liku tetap dihadapinya sebagai seorang penulis. Dia mengenal dunia menulis sejak membaca dan menelaah berbagai novel karya sastrawan ternama. Dia mulai memfokuskan diri pada menulis sekitar umur 12 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk bersaing dengan penulis ternama, bahkan penulis yang sebaya. Saat itu, dia hobi sekali membuat cerita pendek. Dibacakannya cerita tersebut pada seluruh teman-temannya. Suara tertawa terdengar saat dia membacakan cerita yang ditulisnya itu. Entah, siapakah yang berlebihan atau tak paham. Aku pun mencoba mendukung argumennya tapi malah aku terkena timbal balik. Aku disangka menjadi pawang kucing. Maklum, kucing selalu identik dengan kekonyolannya dan apapun itu yang berhubungan dengan non-logika. Ditambah kata pawang, karena aku selalu mendukung dan berusaha agar dia lebih baik. Tentunya dengan caraku sendiri. Kelihatannya, aku bukan pawangnya malah, tapi mungkin malah saudara kucing.
Kejadian diatas berulang kali terjadi. Dafi, tetap gigih. Dia mungkin terlalu berekspetasi lebih tentang cerpennya itu. Hal itulah yang mengantarkannya pada cambuk yang membuat dirinya terkapar dan mungkin semangat dan nyawa menulisnya hampir sirna. Kejadian itu bermula saat dia bersamaku telah duduk di bangku SMP. Dia tetap berupaya agar dia disegani sebagai penulis cerpen. Sebenarnya, dia tak butuh banyak orang yang dimana orang-orang tersebut menyukai cerpennya. Dia hanya butuh satu kelompok atau dalam kata lain tidak lebih dari 5 orang teman.
Saat dia membacakan cerpennya kepada teman-temannya yang bersangkutan dan dipercaya olehnya dapat menyukai cerpennya, datanglah seorang anak yang merusak semua itu. Memang menurut pengamatanku, anak ini telah menyimpan banyak sekali dendam pada temanku. Panggil saja anak itu Dasa. Dasa tiba-tiba saja merebut lembar teks cerpen yang telah dibuat Dafi. Dafi melawan, tapi apa daya, seperti semut melawan laba-laba, Dafi pun malah didorong ke belakang dan jatuh tersungkur. Anak-anak yang loyal dengan Dasa, tak menolong. Mereka hanya melihat, bahkan ada beberapa yang malah menertawakannya.
Setelah Dafi berhasil dikalahkan oleh Dasa, Dasa membaca cerpen karangan Dafi dan berkomentar, bahwa cerpen Dafi itu tak pantas dijadikan karya sastra. Sepatutnya, karyanya dijadikan lagu dan digunakan untuk membangunkan para penghuni alam baka. Dalam kata lain, berarti cerpen karangan Dafi amatlah jelek, sampai-sampai apabila dijadikan lagu, orang-orang yang kehilangan nyawa akan terbangun karena lagu yang liriknya diambil dari cerpen karangannya.
Sepulang sekolah, Dafi duduk di batu besar di pinggir sungai. Kebetulan, aku melihat karena aku berniat menghilangkan penat. Aku duduk bersebelahan dengannya. Aku bertanya kepadanya. Pertanyaanku tidak dijawab. Aku bertanya beberapa kali kepadanya, tetap saja tidak mendapat apa yang aku harapkan. Aku tahu bahwa dia trauma dengan kejadian siang tadi. Dia pun harus menerima luka di kepalanya karena cerpennya. Seharusnya saat terluka seperti itu, dia istirahat, tapi dia malah duduk termenung menghadap sungai brantas.
Saat aku ikut terdiam, tiba-tiba dia berkata padaku. Dia mengatakan mengenai sulitnya memiliki teman seperti dia. Teman yang lain harus ikut terkena sengsara apabila dia sengsara. Dia menutup kalimat-kalimatnya dengan derai air mata. Aku pun memperhatikannya. Entahlah, kenapa saat seperti itu mulutku sangat sulit berucap. Tingkahku tersebut menambah sedih dirinya karena menganggap bahwa aku telah acuh tak acuh dengannya. Sebisa mungkin aku memberikan jawaban terbaik, jawaban yang memang sesuai dengan hati nurani diriku. Aku menjawab bahwa dirinya tak membebani diriku sama sekali. Justru, aku yang salah, kenapa aku tak memberikan sebuah resolusi mengenai masalahnya itu. Bagaimana caranya menjadi seorang penulis terkenal dan besar.
Aku mengajaknya pulang. Dia tetap tidak mau. Aku pun terpaksa melakukan berbagai diplomasi dan membenturkan berbagai argumentasi kepadanya. Dia pun akhirnya mau pulang. Sesampainya di rumahnya, aku pun langsung membeberkan berbagai cara dan langkah-langkah yang harus dia tempuh agar dapat menjadi seorang penulis terbaik. Aku pun menawarkannya untuk mengirimkan naskahnya ke penerbit online. Sebelum itu, dia harus berjanji padaku agar tak menyerah sampai tujuan. Dia pun menyanggupi dan menyetujuinya.
Selang beberapa waktu, dia menyatakan menyerah terhadap intruksiku tersebut. Aku pun mencoba memberikan sikap optimistis padanya. Dia pun setuju dan mengikuti saranku tersebut. Pada akhirnya ada sebuah lomba menulis cerpen secara online. Siapa saja yang dapat memenangkannya, cerpen karyanya dapat diangkat menjadi sebuah film pendek dan tentunya jaminan ketenaran. Dia tak mau mengikuti karena harus berperang dan melawan seluruh penulis profesional. Aku tetap memaksanya. Dia menurut padaku.
Berhasil langkah yang aku sarankan. Dia berhasil keluar sebagai seorang pemenang. Dia bersiap-siap untuk melakukan skenario film tersebut.
Senyum bangga mewarnai hari-hariku selanjutnya. Aku berharap temanku tak trauma lagi dengan masa lalunya yang kacau. Aku hanya bisa mengatakan selamat pada temanku tersebut dan berharap semoga mimpi-mimpinya dapat tercapai. Sebuah harapan yang tak pernah dipadamkan akan semakin menyala-nyala. Itulah motto diriku mulai saat ini dan aku juga berusaha dapat memberikan penghargaan yang terbaik pada temanku tersebut.
Cerpen Karangan: Wildan Hansyah Blog / Facebook: Wildan H