Icha sedikit keheranan mendapati sepucuk amplop putih yang tergeletak manis di atas meja belajarnya, padahal ia merasa yakin saat satu jam yang lalu ia pergi keluar untuk membeli beberapa barang yang ia perlukan ke Indomaret, yang letaknya lumayan agak jauh dari rumahnya, di atas meja tersebut kosong melompong, tak ada apa pun. Icha mengambil amplop tersebut dan membukanya, isinya selembar kertas kecil dengan coretan rapi pena hitam di atasnya, sekali lihat, Icha sudah bisa menebak dari siapa selembar surat tersebut.
“Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu belajar kimia Sabtu besok, aku sudah terlanjur janji untuk ikut rombongan timku menjajaki gunung Gede dalam dua hari ini, aku harap kamu nggak marah, dan tolong simpan baik-baik Edelweiss yang aku dapat dari pendakianku sebelumnya, mungkin dengan menyimpannya kamu akan selalu merasa aku selalu berada tak jauh dari kamu..”
Icha meraih sekuntum edelweis yang terdapat di dalam amplop tersebut, kadangkala ia merasa kagum pada sahabatnya yang satu ini, yang selalu rela bersusah payah ikut pendakian ke berbagai gunung hanya untuk menyenangkan dirinya dengan membawa pulang sekuntum edelweis, bunga yang sangat Icha suka.
Thanks ya Revan, gumam Icha saat menyimpan edelweis tersebut dengan sangat hati-hati di antara lembaran buku hariannya. Di dalam lembaran buku tersebut terdapat beberapa kuntum edelweiss yang sudah mengering.
Esok harinya, Icha pergi belajar kelompok dengan tiga temannya yang lain, mereka akan mengerjakan tugas kimia yang harus mereka kumpulkan selasa depan. Mereka mengerjakan tugas tersebut di salah satu rumah teman Icha, Tina. Membutuhkan waktu yang lumayan agak lama bagi Icha dan teman-teman mengerjakan tugas tersebut, tapi akhirnya bisa selesai juga.
Icha pulang kembali ke rumahnya dengan mengendarai sepeda lipat kesayanganya. Ia merasa sedikit heran saat melihat ibunya tampak seperti sengaja menunggunya di halaman rumah. Dan raut wajahnya tampak terlihat resah. “Ada apa Bu? Apa ibu sengaja menunggu Icha pulang?” Ia segera bertanya begitu turun dari sepedanya. Ibu tampak senyum agak sendu, “Cha… tadi mama-nya Revan nelpon, kamu harus tabah ya mendengarnya, Revan meninggal semalam, ibu kurang paham kronologisnya, yang ibu tahu ia terjatuh saat hendak mengambil edeweiss di tepi jurang…”
Langit seakan-akan runtuh menimpa Icha, ia limbung dan hampir terjatuh kalau saja sang ibu tidak segera meraihnya. Surat itu… Edelweiss itu… Tiba-tiba saja semuanya terasa gelap gulita bagi Icha.
END
Cerpen Karangan: Nani Purnimasari Blog: meijaprameswari.blogspot.co.id