“Leonal…” “Lo diapain lagi sama dia?” Gadis itu terdiam di ujung sana. Ini sudah jam 2 dini hari dan ia kembali membangunkan lelaki itu. Seharusnya ini adalah waktu yang ideal dimana beberapa orang sibuk berkelana bersama angan dan mimpinya. “Sorry, gue bangunin lo lagi, Le…” Suara seraknya mulai memenuhi ruang telepon. Lelaki itu terdengar menghela nafas panjang, lalu kembali fokus ke topik obrolan mereka. “Udah berapa kali gue tegasin, Lea, gue sama sekali gak keberatan kalau lo bangunin gue tiap tengah malam kayak gini,” Gadis itu kembali terisak. Ia merasa sakit dan bersalah di saat yang bersamaan. Kenapa Tuhan baik sekali memberikannya sahabat lelaki yang sangat tampan dan pengertian seperti Leonal?
“Please, don’t cry baby. Justru lo cerita ke gue, itu jauh lebih baik. Setidaknya gue tau gimana keadaan lo sekarang, cause you not fine at all,” Kata-kata Leonal membuatnya semakin terisak. Ia merasa sangat rapuh. Disaat orang yang ia sayang mencampakkannya, kenapa justru Leonal-lah si lelaki biasa yang selalu berada di sampingnya bukannya Aldric–Kekasihnya.
“Le, kenapa lo baik banget sih sama gue? hiks,” “Karena gue sayang sama lo, gue sayang sama engg–sahabat gue,” Gadis itu terhenti terisak sejenak. Ia kembali mengeluarkan cairan yang memenuhi rongga hidungnya, menjijikan. Ini sudah tissue yang kesekian kalinya selama sejam ini. “Soal Aldric,” Lelaki itu terdengar geram di ujung sana. “Dia kenapa? Dia habis jambak rambut kamu lagi, dia habis tampar kamu lagi?!” Gadis itu menggeleng. “Gak, dia gak kasarin aku kayak biasanya.” “Terus hal brengsek apalagi yang buat lo sampai sekejang ini nangisnya?” Gadis itu kembali mengeluarkan tissue lalu mulai menyerka air matanya. Malam ini sepertinya ia harus bercerita panjang. Bagaimana ia bisa menangkap aksi perselingkuhan Aldric dengan gadis yang ia samarkan sebagai sepupunya itu. Apa ada sepupu yang dipeluk semesra itu? Apa ada sepupu yang disuap lembut seperti itu? Dan paling memalukan Aldric lebih membela gadis itu daripada dirinya.
Malam ini udara semakin dingin. Lelaki itu masih senantiasa memberikan masukan serta hiburan kepada sahabatnya yang sedang patah hati. Ia mengerti betul bagaimana perasaan gadis itu, tapi apakah gadis itu juga dapat mengerti perasaannya seperti apa yang ia lakukan setiap tengah malam seperti ini? “Thanks for being a friend, Le,” Lelaki itu menatap nanar langit-langit kamarnya. Lagi-lagi beban menimpa punggungnya. Kata-kata itu yang setiap malam menjadi kapasitas hubungan mereka. Hanya teman dan mungkin selamanya akan selalu begitu. “Ya, gak usah ngomong banyak terimakasih, gue udah bosan.” “Terus gue harus bilang apalagi selain kata terimakasih?” Lelaki itu memperbaiki posisi tidurnya menjadi duduk. Ia mengembangkan senyumnya lalu kembali merespon lawan bicaranya. “Kata sayang, mungkin?” Gadis itu mengusap air matanya, lalu terkekeh kecil. “I love you,” “Love you–” “My best friend.” Senyum yang awalnya mengembang menjadi luntur. Hatinya kembali melengos ke bawah. Seharusnya ia harus selalu sadar dimana batasan hubungan dia dengan gadis ini; selalu berakhir di kata teman.
“Udah ya, Le.” “Iya, lo tidur sana. Jangan lupa cuci muka dulu biar mukanya lebih adem besok.” “Nanti gue telfon jam sepuluh, ya.” “Iya. Yaudah sana, btw ini udah pagi jadi good morning princess.” “Morning.” Sambungan itu berakhir.
I dedicate this song to you, The one who never sees the truth, That I can take away your hurt, heartbreak girl. Hold you tight straight through the day light, I’m right here, when you gonna realize That I’m your cure, heartbreak girl?
Lagu itu menggema di dalam ruangan musik sekolah. Tiga lelaki itu sedang latihan untuk pementasan festival sekolah yang memang diadakan setiap tahunnya. Kebetulan mereka terikat dengan label band sekolah. Beda hal-nya dengan kelas laim yang membuat stand-stand jajanan, membuat cafe mini dalam kelas layaknya festival sekolah di jepang. Semua punya ciri khas masing-masing.
Clek.. Pintu ruangan terbuka. Suara gitar yang di mainkan lelaki berambut cepak itu mendadak terhenti, ia langsung menaruh gitar kesayangannya di samping drummer yang kebetulan di huni oleh Adnan. Ia berlari kecil sambil tersenyum menghampiri gadis yang berada di ambang pintu itu. “Lea, tumben kesini.” Gadis itu tersenyum sambil memberikan selembar brosur pameran kelasnya, “Datang ya! Kelas gue ngadain cafe gitu, siapa tau lo dan grup band lo tertarik datang.” Leonal mengangguk dengan semangat, “Itu sih pasti! Tenang aja, nanti gue borong semua menunya.” Gadis itu terkekeh lalu memukul pelan bahu Leonal, “Bisa aja sih, baal.” Leonal menyubit pipi gadis itu gemas, “Gak percaya ya? Liat aja besok.” Leanita–Gadis itu menarik paksa cubitan Leonal. Lelaki itu memang hobby membuat pipinya menjadi sakit seperti ini. “Sakit tau, gak pernah rasain ya? Nih! Nih!” Kedua orang itu saling menyubit pipi masing-masing, tak lama kemudian suara tawa mulai terdengar. Adnan sang drummer hanya mampu saling melayangkan kode ke arah Raditya–gitaris.
“Ehm..” Kedua orang itu langsung menoleh ke sumber suara. Lagi-lagi mereka tertawa. Leonal terdiam sejenak menikmati tawa gadis itu yang selalu menggema indah di telinganya, senyum manis yang menimbulkan lubang kecil di tengah-tengah pipinya. Bagaimana suaranya yang lembut dan nyaring membuat hati Leonal mendadak tenang. Leanita yang menyadari hal tersebut sontak terhenti tertawa, “Udah gak lucu ya? Hahaha.” Leonal menggeleng, “Masih lucu kok, itu senyum lo masih lebih lucu.” Gadis itu tertawa, hal ini yang Leonal selalu nikmati keberadaannya. Leanita melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ini saatnya ia harus kembali ke kelas untuk mempersiapkan dekorasi cafe mini-nya. “Yaudah gue balik ya,” “Eh, tunggu!” Leonal menarik tangan Lea tanpa sadar. Ketika gadis itu memandang lengannya barulah Leonal melepaskannya lalu tersenyum bodoh. “Ma..maksud gue, besok habis pameran kelas lo,” Gadis itu masih setia menanti lanjutan ucapan Leonal. “Lo datang ya liat gue tampil,” Gadis itu menyeritkan alis, “Harus banget ya?” Leonal mengangguk, “Iya, soalnya ini lagu gue ciptain khusus buat lo.” Gadis itu tersenyum lalu menepuk bahu Leonal, “Iya, nanti gue usahain kalau acara gue cepet kelar. Btw, semangat ya!” Leonal terdiam dengan hati yang berbunga. Perlahan gadis itu meninggalkan ruangan, meninggalkan jejak manis di hati Leonal. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama karena detik selanjutnya bunyi drum Adnan merusak suasana yang ada. Leonal menoleh ke arah Adnan lalu melayangkan tatapan kesal, “Lo gak bisa liat temen bahagia apa!” Adnan terkekeh lalu tersenyum mengejek, “Iya deh biarin si friendzone bahagia.” “Siapa bilang gue korban friendzone?” “Itu barusan. Udahlah Le, dia udah punya cowok,” Tukas Adnan yang membuat hati Leonal mendadak broken. “Lagian cowok Lea kan sepupu lo sendiri, Le.” Leonal benci fakta itu hingga detik ini. Ia menyesal pernah mengenalkan sepupunya itu kepada Leanita. Penyesalan besar, andai waktu bisa diputar ia ingin mencabut status sepupunya dengan lelaki brengsek itu.
Welcome to the fancy festival this years theme is the markets! Please enjoy all the stalls representing countries from around the world! Suara mikrofon mulai terdengar. Suara yang merupakan salam pembuka mengenai festival SMA Fancy. Banyak stand-stand yang sudah terpasang, ada juga beberapa kelas yang telah di hias menyerupai cafe-cafe kecil. Beberapa orang telah berkumpul menyaksikan hiburan-hiburan dari stand tertentu. Ada yang mengambil tema Japan, Korea, Thailand dan negara-negara asia lainnya.
Ketiga orang ini menelusuri beberapa stand yang mereka anggap menarik. Adnan memilih mampir ke salah satu stand baju. Tangannya terselip di antara timpukan baju yang telah di hanger. Adnan mengangkat salah satu baju bermotif flower cocok sekali dengan tema musim panas.
“Baju yang ini cocok gak buat Lyliana?” Raditya tersenyum mengejek, “Masih ingat mantan ya, Ad?” Adnan dengan bangganya mengangguk, “Yoih. Memang sih udah jadi kenangan, tapi gak salah kan kalau damai sama mantan?” Raditya mengibaskan tangannya di udara, “Serah dah, serah.”
Leonal tak banyak bicara, sedaritadi ia hanya diam dan mengikut kemana pun kedua temannya pergi. Entah mengapa ia menjadi malas mengunjungi stand-stand selain stand gadis pujaannya. Suara dering telepon membuat khayalannya terputus, dengan cepat ia merogoh saku celananya dan mulai menjawab panggilan yang masuk. “Hallo?” “Le, boleh ke taman sekarang? Sumpah gue berasa, hiks,” Leonal sedikit terkejut mendengar suara isak dari gadis yang setiap malam mengganggu tidurnya, yang setiap malam bercerita tentang asmara, yang tiap malam melukai hatinya dengan kata teman. “Lo tunggu disana! Jangan kemana-mana!” Leonal terlalu terburu-buru sampai tak sempat mengucapkan kata pamit, ia hanya memukul pelan bahu Raditya seolah memberikan syarat kalau ia akan pergi ke suatu tempat. Detik ini, ia harus memastikan kalau gadis itu baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Iga Selvani Blog: igaselvani.blogspot.com