Aku menatap pintu coklat di depanku. Berpikir ulang tentang benar atau tidakkah kedatanganku kemari. Aku tak yakin jika ia ada di ruangan dibalik pintu minimalis dengan aksen khas eropa lama tersebut. Pun jikalau ada, aku sangsi kalau ia tidak akan langsung mengusirku dari sini.
Aku mengangkat tanganku ke udara. Mengepalkan tangan, aku mulai mengetuk pintu tersebut. Tiga kali aku mengetuknya, tidak ada jawaban atau sahutan dari dalam sana. Aku mulai berpikir, mungkin dia tahu bahwa aku datang, jadi dia tidak akan menjawabku.
Setelah jeda sejenak, aku mengulangnya kembali, mengetuk tiga kali, seraya mengucap salam dan memanggil namanya. “Assalamualaikum, Rantha?”
Kembali hanya kebisuan yang ku dapat. Sudah kuucap salam pun, tak dijawabnya. Apakah memang ia benar-benar marah? Apakah ia memang benar-benar tak mau lagi bertemu denganku? Oh, sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Lagi pula, aku yakin jika ia bukan orang yang seperti itu. Sepanjang yang ku tahu, ia tak mungkin searogan itu. Ya, sepanjang yang kutahu. Atau mungkin, aku memang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentangnya.
Aku kecewa dengan pemikiranku satu itu. Walau memang kalau ditelaah lebih jauh, itu benar adanya.
Sudah lebih dari lima kali aku mengulangi itu -kegiatan mengetuk pintu- tapi tetap tak ada apa yang kudapat. Aku menghela napas lelah. Memang sepertinya aku harus menerima jika dia seperti itu. Semua memang salahku. Sebagai sahabat, alih-alih meringankan bebannya, ia jadi harus memikul bebannya sendiri, tanpa berbagi kepada siapapun, justru aku terkesan makin memberatkan, malah.
Aku bersandar pada kusen pintu, memikirkan kembali apa yang telah kulakukan, dan apa akibat dari ini semua. Lagi-lagi aku menghela napas lelah. Semua yang kulakukan dari awal salah, dan berpotensi aku yang akan kehilangan sahabat terbaikku. Seharusnya aku tahu itu dari dulu. Kehilangan sahabat, apalagi seperti Rantha? Oh, tidak, tak ada yang lebih buruk dari itu. Parahnya, mengapa aku baru menyadari sekarang? Mengapa aku setidak peka itu?
Rantha. Terdengar seperti nama yang jarang digunakan, kan? ia bahkan bukan ranthambore di India. Ia hanya seorang laki-laki cungkring dengan badannya yang hanya berisi tulang. Badannya tinggi, sekitar 177 cm, juga kulitnya yang berwarna kuning langsat. Aku dan dia sudah cukup lama berteman, dimulai dari kami kelas 4 SD, kami memang sepantaran. Jaman itu, khusus untuk kelas 4, di sekolah kami, kelas akan dikocok lagi, gabungan dari beberapa kelas. Ia juga menjadi teman sebangkuku, dan mulai saat itu kami menjadi teman, karena sebelumnya kami beda kelas. Dan, sekarang, kejadian itu sudah 7 tahun berlalu.
Aku tersenyum kecil, membayangkan betapa polosnya kami saat itu. Betapa dari kami mulai saat itu menjaga betul persahabatan kami. Betapa aku dengan sesenggukan menceritakan tentang keluh kesahku karena pernah sekali dijahili oleh temanku, yang saat itu dihiburnya aku dengan dibelikannya es krim rasa stroberi, sejak itu pula aku jadi suka es krim rasa stroberi. Betapa dulu, tak banyak yang kami tahu tentang cinta. Betapa cinta tak berpengaruh betul bagi kami. Betapa cinta tak mengubah kami seperti sekarang ini, karena cinta yang kami tahu, hanya sekedar ‘cinta monyet anak SD’.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mempersepsikan arti cinta itu, sesuai diriku sendiri. Namun sekarang, aku kembali ragu pada diriku. Benarkah anggapanku selama ini tentang cinta? Benarkah cinta membawaku harus berpisah dengan salah satu orang yang berharga dalam kehidupanku, sahabatku?
Pikiranku melayang mengingat ke kejadian sebelumnya, yang membuatnya menjadi runyam seperti sekarang ini.
—
“Rantha!” Kataku teriak memanggil Rantha yang tengah asyik dengan buku ensiklopedi yang ada di tangannya.
Ia menengok ke arahku sejenak, kemudian kembali menekuni bukunya, seperti benar-benar menganggapku tidak penting. Aku menatapnya nyalang, dan berjalan menghampirinya.
“Rantha!” Teriakku kali ini lebih keras, tepat di kupingnya.
Hal itu, kontan saja membuatnya refleks menutupi kupingnya bermaksud melindunginya. Dia menatapku sebal, aku semakin mempergarang raut mukaku, menatapnya melotot. Dia malah mendengus, dengan tangannya tetap mengelus-elus telinganya. Mungkin ia merasa kupingnya pengang. Hah, biar saja, rasakan! Kata setan dalam diriku, alih-alih meminta maaf.
“Ga usah teriak-teriak! Aku gak budeg. Kamu yang kayak gitu, tuh, yang bikin aku lama-lama budeg beneran,” katanya dengan bersungut-sungut.
Aku hanya nyengir kuda menanggapinya, merasa tak bersalah.
“Lagi, kalo dipanggil, tuh, nyahut! Diem aja, kayak kutu! Iya, kutu buku! Sampe diajak ngomong udah tetep aja melototin, tuh, buku! Plototin aja terus sampe mata kamu keluar sekalipun! Gak peduli!” Kataku nyerocos tak karuan.
“Aku itu baca, bukan melototin buku, asal kamu tau. Oh ya, ada apa memangnya manggil-manggil orang ganteng?” Katanya dengan penuh percaya diri, memang itu salah satu sifatnya yang paling melekat, PD, bahkan hingga over, seperti sekarang ini.
Dia menutup buku yang dibacanya dan melepas kacamata minus yang tadinya bertengger manis di hidungnya. Dan menatapku lamat-lamat, menungguku bercerita. Ia tahu betul apa tujuanku jika sudah memaksanya menghentikan aktifitasnya, apalagi kalau bukan tentang curhat. Aku memang blak-blakan dengan Rantha, aku nyaman curhat dengannya, berbagai topik tanpa terkecuali, walau tentang lelaki sekalipun. Aku tidak merasa risih sama sekali.
“Aku mau curhat.” “Ya, udah, curhat aja.” Balasnya sambil mengambil HP, tapi aku menghalau gerakannya mengambil HP, ia menatapku dengan pandangan bertanya. “Dengerin beneran, ish, nanti ujungnya kamu gak dengerin aku kalo megang HP, malah sibuk main duel otak!” Kataku memperingatinya.
Ya, sebagai seorang berotak encer, tentu game yang ia mainkan pun, tak akan beda dengan orientasinya yang tak jauh dari mengasah otak. Bahkan disaat sekarang permainan itu tak lagi nge-tren seperti dulu, tapi, bagi dia dan teman sekomplotannya, permainan daring itu tak kan absen untuk mengisi waktu luang jika mulai jenuh membaca. Tentu saja teman sekomplotannya yang kumaksud, tidak beda jauh darinya. Kutu buku!
Dia tidak protes saat tidak mendapatkan HP nya, dia menurut saja. Hmm, tumben, tidak seperti biasanya. Mengingat selain maniak buku, ia juga maniak gawai.
“Mulai, ya, ceritanya?” “Ya.” Balasnya dengan nada malas. “Tar dulu, sebentar, tunggu!” Aku mengingat sesuatu.
Aku mengambil HP dari kantong yang ada di rok bagian kanan. Menyalakan HP ku, aku membuka aplikasi salah satu media sosial tersohor, instagram. Aku mencari riwayat pencarian, kemudian mengklik salah satu username yang sebelumnya sempat kucari, setelah itu menunjukkannya ke Rantha.
Kemudian ekspresi yang ditunjukkannya hanya mengernyit tanda bingung, juga tatapannya terlihat bertanya.
“Yang punya akun ini, loh, yang pernah aku ceritain tempo hari. Si kakak kelas, Cowok yang kayak suka perhatiin aku gitu, yang bikin aku deg-deg ser. Kamu ingat, kan?” Aku bertanya dengan semangat. “Iya, ingat.” “Nah, dia itu, liat deh, ganteng kan? Tuh, ish, bikin gak kuat iman aja, ya Allah. Nih, tuh, bener, ganteng banget emang!” Kataku sambil menunjukkan foto-foto dirinya yang dia posting di akun miliknya, yang semua fotonya sangat instagramable. “Enggak! Gantengan juga aku, liat aja postnya, sok cool semua, foto mangap dikit aja paling udah jelek, mana berani dia pajang disini, huh, pencitraan! Kalo aku, difoto apa aja juga udah cakep.” Nah, mulai, kan, PD nya yang selangit itu muncul ke permukaan.
Aku tak menanggapinya lebih jauh, dan kembali melanjutkan sesi curhatku. “Masa tiba-tiba dia nyamperin aku tadi ke kelasku, Ran. Dia ngomong dia suka sama aku dan nembak aku di hadapan banyak orang, Ran! Mana kata-katanya manis dan menyentuh banget lagi! Ah, kamu bayangin, Ran, bagian di mananya yang bikin aku gak meleleh, coba?!” Kataku bercerita panjang lebar.
Aku yakin sekarang pipiku pasti sudah memerah karena malu mengingat kejadian tadi di sekolah saat kakak kelas itu menyatakan perasaannya. Membayangkan betapa seriusnya raut muka yang ditunjukkannya saat kejadian itu terjadi. Aku memegang pipiku, sambil kepalaku menggeleng menghalau pemikiran itu.
“Ya. Lalu jawabanmu?” tanyanya tiba-tiba, begitu aku selesai cerita.
Pertanyaan Rantha membuatku ingat kembali bahwa cerita yang kuceritakan belum utuh betul. Aku tersenyum kecil kepadanya. Menatapnya jenaka, seperti bertanya ‘mau tahu banget?’. Lalu dia menatapku balik dengan tatapan yang tidak kumengerti apa maksudnya, karena itu, aku memuruskan melanjutkan cerita tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaannya.
“Sekarang aku tahu dia namanya Raja, baru tadi juga aku tahu, aku lihat di name tag yang ada di seragamnya. Dia tinggi, ya, gak beda jauh lah, sama kamu, cuma dia terlihat lebih mendapatkan gizi yang cukup. Gak kayak kamu!” aku tertawa kecil disela itu, dan melanjutkan cerita. “Kamu tahu, kan, sebelumnya aku cuma kagum melihat dia, apalagi kelas kami bersebelahan, sering kali kami bertemu, hanya melempar pandang barang sejenak, itu mulai dari awal semester lalu. Serius bener, gak pernah terlintas di pikiranku biar bisa pacaran sama dia. Hanya sekedar seperti itu, tak lebih. Lalu aku dikagetkan dengan kejadian tadi yang membuat geger sekoridor lantai 2 gedung A tadi.” Aku bercerita panjang lebar dengan raut muka serius.
Aku melihat sejenak kearahnya. Melihatnya yang masih memandangku dengan ekspresi seperti tadi.
“Menurutmu, aku harus jawab apa? Apa aku harus mencoba?” “Kalau aku jawab, apa keputusan akhirmu adalah jawabanku?”
Aku diam tak menjawab pertanyaannya. yang ia bilang benar juga, apa keputusan akhirku akan bergantung jawabannya? Aku bertanya pada diriku sendiri, aku sangsi akan jawabannya.
“Aku hanya dapat bilang. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu sendiri.” “Tapi, Ran, ak-”
Cerpen Karangan: Ditha Kirani Blog / Facebook: Ditha Kirani Saya masih belajar. Kunjungi instagram saya @dt.a