“Aku tahu kamu gak sebodoh itu untuk tahu bahwa di depanmu ada lubang, tapi kamu tetap menjatuhkan diri kamu disitu!”
Ia berdiri dari duduknya, dan memakaikan jaketnya kembali ke tubuhnya. Memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tas, ia memasang headset yang sudah diputar lagu olehnya sendiri. Menatap lekat ke arahku, akupun membalas tatapannya.
“Aku pulang, Al. Aku gak bisa ninggalin ibu lebih lama dari ini. Kamu cepat pulang juga, ya, hari sudah mendung. Jangan sampe hujan deras kamu masih di jalan. Maaf nggak bisa ngantar kamu, Ibuku nunggu aku.”
Dia tak menunggu jawabanku, tapi ia langsung pergi dengan tasnya yang hanya disampirkan satu selempangnya di punggung. Aku menatapnya dari sini, punggung kurusnya yang berjalan menjauh. Aku masih memikirkan tentang perkataan Rantha yang tadi. Yang sebenarnya, jujur, aku kurang paham apa maksudnya. Juga aku kurang paham dengan perubahan sikapnya yang mendadak. Mungkin ia sedang bad mood, kata hatiku meyakini.
Aku merasa semilir angin menerpa wajahku, tak lama diikuti rintik-rintik hujan gerimis di sore hari itu. Aku tersadar, bahwa Rantha sudah menghilang ditelan ruang. Aku memperhatikan keadaan sekitar, di taman komplek dekat rumah Rantha, yang keadaannya sudah sepi, mungkin karena cuaca yang kurang bersahabat, yang menyebabkan orang enggan datang.
Aku merapatkan blazer yang kupakai, beranjak dari duduk untuk melanjutkan pulang, tak lupa aku menyapirkan tas salempang kecil ke pundakku. Sebelum aku mulai melangkah, aku melihat sebuah payung lipat tepat di tempat yang tadi diduduki Rantha. Aku tahu betul pemilik payung itu, siapa lagi kalau bukan milik Rantha. Rantha bukan tipe orang sedia payung sebelum hujan, tapi ia selalu ada jika aku butuh sesuatu, seperti ini misalnya.
Tiba-tiba air tumpah dari langit dengan derasnya. Buru-buru aku membuka payung itu, dan berjalan di halte bus di depan jalan raya yang tak jauh dari taman.
Kejadian itu telah sebulan berlalu. sejak saat itu, tak ada lagi obrolanku yang serius dengan Rantha. Tak ada lagi aku yang curhat dengannya. Tak ada lagi kami yang menghabiskan waktu bersama. Aku berusaha menghubunginya disela kesibukanku untuk persiapan UAS 1. Tapi tetap sulit sekali aku mengotaknya.
Pernah sekali waktu aku datang ke gedung C, tempat di mana kelasnya berada. Kami memang 1 sekolah, tapi kami beda jurusan, jadilah aku yang ada di gedung A dengan ia di gedung C. Jarak dari gedung A ke C, cukup jauh. Itu dipisah oleh 3 blok di komplek tempat sekolahku berada, sore itu aku diantar Kak Raja menuju gedung C. Saat aku datang ke kelasnya, ternyata hari itu dia izin tidak masuk, tapi teman sekelasnya pun tak ada yang tahu dia izin karena apa.
Dua hari setelah kejadian Kak Raja menembakku, aku memutuskan menerima Kak Raja, aku memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’, karena ia lebih tua dariku, jadi aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan ‘kak’. Seumur hidupku, aku tidak pernah menyentuh pacaran. Terkadang aku iri, melihat temanku yang senantiasa menceritakan tentang itu, jadilah aku mencobanya.
Saat kak Raja menyatakan perasaannya, ia memang tak memintaku menjawab langsung. Ia memberi waktuku untuk berpikir. Barulah malamnya aku beri jawaban itu lewat aplikasi chatting online, aku bilang padanya, aku terlalu malu untuk bicara langsung, dan ia bilang tak apa.
Ditengah gencarnya persiapan UAS 1, aku dan Kak Raja selalu menyempatkan untuk kami yang saling memberi kabar, tidak pernah ada seharipun yang kami lewatkan tanpa kami berkomunikasi, semenjak aku menerimanya. Ditambah renggangnya hubunganku dengan Rantha, menjadikan fokusku tidak terlalu banyak terpecah. Sudah 2 minggu hubungan kami berjalan, selama ini tidak ada masalah yang berarti, kami masih saling mengenal.
Aku masih belum bertemu dengan Rantha sampai saat ini. peran Rantha dalam hidupku, seketika digantikan Kak Raja, akupun mulai membiasakan diri dengan itu. Sesekali aku memang masih mencari Rantha, tapi ia bukan fokus utamaku. Sampai saat ini ia pun belum masuk sekolah, aku tahu dari salah satu teman sekelasnya -yang tentu saja berotak sama dengan Rantha- yang pernah datang ke gedung A saat hari terakhir UAS 1. Kudengar, Rantha mengikuti UAS, tapi tetap sulit sekali bertemu dengannya, karena ia yang cepat-cepat pulang.
Tanpa terasa, sudah sebulan lebih beberapa hari aku tak berkontak dengan Rantha. Sulit sekali menemuinya, bagai ia menghindar dariku, dan ia selalu berhasil. Setelah pembagian rapot, libur semesterpun aku tak menghabiskan waktu bersamanya, mungkin karena ada kak Raja juga yang ada di sisiku, menjadikan ketiadaan Rantha, bukan suatu perkara besar.
Sampai pada hari minggu, seminggu sebelum awal masuk sekolah, ibuku yang mengajakku ke rumah Rantha, ada pengajian katanya. Saat aku bertanya apa maksud pengajian itu, Ibu bilang bahwa tante Wida -Ibu Rantha- telah meninggal seminggu yang lalu, pengajian itu untuk memperingati seminggu setelah meninggalnya tante Wida.
Mendengar itu, rasanya aku lemas. Aku merasa menjadi seorang yang paling buruk. Ini bahkan tak pernah ada dalam skenario dalam otakku, yang seperti ini tidak pernah kupikirkan akan terjadi. Aku telah melewatkan banyak hal tentang Rantha. Bahkan mungkin, tante Wida pun kecewa padaku, padahal aku sangat dekat dengannya, ia menganggapku sebagai anak perempuannya, bahkan terkadang ia marah jika Rantha membuatku kesal dengan ulah usilnya. Sedangkan aku, jangankan tahu ia sakit, apa lagi menemani disaat-saat terakhirnya. Lebih parah dari itu, aku malah baru mengetahui semua ini setelah seminggu ia telah tiada.
Tante Wida meninggal di Bandung, kota dimana keluarga Tante Wida berada, pun dikubur disana, aku tahu dari Ibu yang menceritakannya. Tante Wida meninggal karena penyakit berat yang dideritanya, membuat tubuhnya semakin ringkih dan sulit mekukan apapun. Sampai Allah berkehendak lain. Terakhir bertemu dengannya, ia memang sudah tidak bisa bangun dari tempat tidurnnya dan melakukan aktivitas apapun hanya di tempat tidur. Itulah sebabnya aku tak pernah bertemu dengan Rantha jika aku mencarinya, karena ia berada di Bandung. Ia hanya pulang saat UAS 1 lalu, setelah seminggu menjalani UAS, ia kembali lagi ke Bandung.
Saat acara pengajian, aku tak melihat Rantha. Kata Ibuku, ia masih di Bandung, tinggal bersama keluarga dari ibunya, mengingat di Jakarta ia hanya berdua dengan Tante Wida, ia tak punya lagi siapapun di kota metropolitan ini. pengajian ini ada, juga karena keluarga tante Wida, tapi Rantha tidak ikutserta kesini. Itu membuatku semakin tak tenang, karena aku tak bisa megungkapkan segalanya pada Rantha. Rasa beralah, kecewa, sedih, menyesal, semua berkumpul jadi satu.
Aku sibuk menghubungi Rantha, dari mulai lewat aplikasi chatting, meneleponnya, tapi dari semua itu tetap tak ada satupun yang diresponnya. Terlalu sibuknya aku dengan ini semua, aku sedikit melupakan Kak Raja, dan terkadang tak memberinya kabar tentangku.
Kurasa hubunganku dengan Kak Raja belakangan ini mulai merenggang. Intensitas obrolan kami berkurang, bahkan beberapa hari ini sudah tidak berkomunikasi. Dia pun tak mencoba untuk memperbaikinya. Sudahlah, apa peduliku? Sekarang yang terpenting aku harus meminta maaf pada Rantha, dan menjalin hubungan yang baik seperti dulu.
—
Aku memandang langit yang menggelap, kulihat rintik-rintik air mulai berjatuhan. Aku hanya terus memandangnya. Besok hari pertama sekolah, apa Rantha masih tetap tidak ingin pulang? Aku akan terus menunggu disini sampai dia datang, walau ditengah malam pun, aku terus menunggunya. Apa peduliku tentang hari pertama sekolah?
Seandainya dulu aku tak menerima Kak Raja. Seandainya dulu aku tak meninggalkan Rantha disaat ada Kak Raja di sampingku. Seandainya aku dulu lebih memperhatikan keadaan dan perasaan Rantha. Seandainya aku dapat menjadi sahabat yang baik untuknya. Seandainya aku dapat merubah itu semua. Seandainya kata ‘seandainya’ itu berarti.
Rintik kecil itu telah berganti hujan yang deras, dan aku masih berada di teras rumah Rantha. Aku duduk di kursi yang ada di teras ini, sambil terus memikirkan Rantha. Tiba-tiba suara pesan masuk membuatku buru-buru mencari ponselku, berharap segera dapat kabar dari Rantha. Aku menghela napas kecewa setelah mengetahui pesan itu bukan dari Rantha, tapi dari Kak Raja, dengan setengah hati, aku membuka pesan itu. Isinya membuatku semakin dongkol saja, yang mana isinya hanya sekedar menanyakan kabar, huh, basa basi yang benar-benar busuk!
Tak membalas pertanyaannya, aku segera mematikan ponsel, dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah hampir seminggu miss contact, aku sudah tidak peduli dengan hubungan ini. biar saja, mungkin sebentar lagi ia akan memutusiku, kutegaskan lagi, aku tidak peduli!
“Alda?” Sebuah suara mengagetkanku, ternyata semenjak tadi aku melamun, melamunkan tentang Rantha, mengapa aku tak sadar? Yang lebih mengejutkan lagi yaitu, suara yang tadi itu adalah milik Rantha, ya, Rantha sahabatku!
“Ran.. Rantha?” Tanyaku setengah tidak percaya, dengan ekspresi keterkejutan yang kentara jelas pastinya.
Aku merasa dunia memang sedang berpihak padaku, Rantha ada di depanku. Segera aku mengucapkan maaf padanya, memberitahunya bahwa aku sangat menyesal dengan semua tindakanku. Dan yang paling kusesali, tentu kesalahanku pada Tante Wida. Aku melakukan itu semua sambil menangis berurai air mata.
“Sudahlah, Al, lagian itu semua udah kejadian. Aku mengikhlaskan Bundaku pergi.” Katanya menghiburku. “Tapi tetap saja, Ran, Aku salah sama kamu sama Tante Wida.” Kataku sambil tetap menangis. “Aku dan Bunda tidak mempermasalahkan itu, walaupun ia juga sempat mencarimu saat ia sakit. Tapi aku bisa menjelaskannya dan ia mengerti.”
Perlahan tangisku mereda, walaupun masih sesenggukan, aku tak lagi mengeluarkan air mata. Aku dan Rantha sekarang duduk di kursi di ruang tamu rumahnya. Itulah Rantha, ia bukan orang pendendam, selalu dapat mengendalikan perasaannya, dan dapat menjaga hati orang lain. Pembawaannya tenang, dan selalu membuat orang dapat merasa nyaman jika berada di sisinya. Rantha dan sisi lembutnya.
“Rantha, besok kita bisa berangkat sekolah bareng, kan, seperti biasa?” “Tidak bisa, Alda.” Katanya terdengar dengan sangat hati-hati. “Kenapa?” Tanyaku dengan nada kekecewaan yang sangat. “Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi disini, Al, jadi–” “Kamu punya aku, Ran!”
Oh sungguh, aku tidak mau apa yang akan ia ucap sejalan dengan pikiranku. Aku tidak mau pembicaraan ini berekor kesitu. Jadi, segera saja kupotong perkataannya tadi, tanpa pikir panjang.
“Alda, aku tahu itu. Tapi, aku tak bisa tetap tinggal disini. Kamu tahu disini aku hanya berdua dengan Bunda, sekarang Bunda udah gak ada, gak ada lagi sanak saudaraku disini, Al.”
Aku tahu ini akhirnya, aku menangis, air mataku meluncur, setetes demi setetes, setelah sebelumnya menggenang di pelupuk mataku.
“Tapi, Ran, aku butuh kamu.” “Aku tahu, Al, karena akupun begitu. Tapi, aku tetep harus pergi, Al,”
Aku hanya menggelengkan kepalaku tidak percaya. Tidak mendengarkan lagi, apa kelanjutan perkataannya. Ini adalah hal yang tidak ingin kudengar, sama sekali tidak.
“Ayahku sudah mengurusi kepindahan sekolahku, dan aku melanjutkan sekolahku di Malang. Aku akan tinggal dengan Ayahku dan Ibu tiriku disana, Al. Aku datang kemari, cuma ingin memberitahumu tentang semua ini, Al. Dan maaf untuk tidak membalas pesan yang kamu kirimkan, aku ada alasan untuk itu.” Ia melanjutkan perkataannya.
“Kenapa kamu datang kalau untuk membuatku merasa kehilanganmu, Ran?” “Karena kamu akan merasa lebih kehilangan jika kamu tidak tahu tentang ini, Al.”
Cerpen Karangan: Ditha Kirani Blog / Facebook: Ditha Kirani Saya masih belajar. Kunjungi instagram saya @dt.a