Malaikat penjaga. Apakah kalian mempercayai keberadaan mereka? Aku percaya. Malaikat-malaikat penjaga adalah makhluk misterius yang sangat luar biasa. Mereka bisa datang kapan saja tanpa diduga-duga.
Malaikat penjagaku, namanya Vernon Thomas. Sangat tampan dengan penampilannya yang serba emas. Kulitnya yang putih kemerahan tampak seperti boneka porselen. Matanya bersinar, dan setiap kali mata kami bertemu, aku merasa seperti diselimuti cahaya hangat. Nyaman dan menyenangkan.
Vernon menghampiriku musim dingin lalu, tanggal 16 bulan November. Waktu itu aku sedang meringkuk di bawah selimut sambil memerhatikan butiran salju yang jatuh ke kaca di atasku, membuatnya berembun. Air mataku mengalir, pipiku basah, dan mataku sembab. Hatiku terasa retak dan hancur.
Aku tinggal sebatang kara. Kedua orangtuaku meninggal sejak aku masih sangat kecil. Sejak itu, aku diurus oleh nenekku. Tapi sayangnya, tahun lalu nenekku menyusul orangtuaku ke surga, meninggalkanku sendirian, dan membuatku depresi. Aku adalah orang yang tertutup, dan itu membuatku menghindar dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak lagi mempunyai seorang teman, mereka semua meninggalkanku. Aku memang tidak butuh orang lain. Tapi di sisi lain, aku ingin mempunyai seseorang untuk dijadikan tempat berbagi kesedihanku. Seseorang untuk menjadi matahari dan bintangku, sebagai penerang.
Dengan tangan bergetar, aku meraih pisau lipat dari meja di samping ranjangku, dan membukanya perlahan. Aku menghela nafas panjang, air mataku terus mengalir tanpa henti, dan aku mulai mengarahkan pisau ke arah pergelangan tangan kiriku. Menempelkan benda tajam itu ke atas kulitku. Tepat disaat aku ingin menekan pisau itu, ada sebuah cahaya terang di samping ranjangku. Sebuah tangan—tangan putih keemasan, menahan tanganku, dan mengambil pisau itu.
“Jangan,” suaranya jernih dan lembut. “Tidak akan setimpal.”
Beberapa tahun lalu, aku pernah membaca buku fantasi. Buku itu menceritakan tentang bagaimana setiap orang mempunyai malaikat penjaganya masing-masing. Malaikat yang akan selalu menemani dan melindungi mereka. Aku tidak pernah menyangka kalau malaikat penjaga itu benar-benar nyata.
“S-siapa k-kamu? S-sedang apa kau di kamarku? K-kembalikan pisauku!” teriakku histeris. “Kembalikan!” “Leanne,” katanya tegas. “Jangan. Percayalah padaku.”
Aku tidak tahu di mana Vernon menyimpan pisau lipatku, tapi sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya lagi.
Vernon duduk di pinggir ranjang, dan menenangkanku. Dia mengucapkan beberapa kalimat, atau mungkin lebih tepatnya dia bersenandung. Aku tidak bisa menangkap kata-katanya, karena suara tangisanku jauh lebih keras. Namun beberapa saat kemudian, aku menjadi lebih tenang, dan tangisanku pun berhenti.
“Nah,” katanya, tersenyum melihatku. “Merasa lebih baik?” Aku mengangguk kecil, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Namaku Vernon Thomas. Aku adalah malaikat penjagamu. Sudah beberapa hari ini aku memerhatikanmu dan akhirnya aku memutuskan untuk turun sendiri dan melarangmu melakukan sederet hal yang ada di pikiranmu saat ini.”
Dia mengepalkan tangan kirinya, dan menunjukkan lengannya padaku. Leanne August terukir di tangannya dengan tinta emas yang bersinar. “Lihat? Aku milikmu.” Aku hanya terdiam melihatnya, berusaha mencerna semuanya. Aku mempunyai seorang malaikat penjaga. Namaku terukir di lengan malaikat penjaga. Aku tidak sendiri. Ada seorang malaikat penjaga.
“Um,” kataku gugup. “Lalu mengapa kau baru datang sekarang? Mengapa tidak saat orangtuaku meninggal? Atau tahun lalu saat aku benar-benar sendiri ketika nenekku meninggal?” Vernon tersenyum. “Oh, Leanne. Kami hanya datang kepada orang-orang yang sangat membutuhkan kami. Aku manggut-manggut. “Oh, begitu.”
Kemudian, Vernon mengeluarkan sebuah kalung yang tersembunyi dari balik leher gaunnya. Sebuah jam pasir emas, indah sekali. “Jam pasir ini,” Vernon mengetuk-ngetuk kacanya. “Menunjukkan waktuku di sini bersamamu.” Aku terbelalak. “Kau tidak benar-benar serius, ‘kan? Kau akan menemaniku, lalu pergi meninggalkanku begitu saja? Malaikat penjaga macam apa itu!” Tapi Vernon malah terkekeh. “Dengarkan aku dulu. Jam pasir ini menunjukkan kebahagianmu. Jika kau memang sangat membutuhkanku, pasir emasnya tidak akan turun. Namun jika kau sudah merasa bahagia, dan aku tidak lagi dibutuhkan, pelan-pelan pasir emasnya akan jatuh. Seperti jarum jam yang berdetik.” “Aku juga hanya bisa menemanimu di malam hari. Aku tidak bisa keluar menemanimu di bawah matahari, karena aku juga tidak boleh mengekspos identitasku.” “Baiklah,” aku mengangguk. “Tidak apa-apa.” “Pergilah tidur,” katanya lembut. “Besok kau harus bekerja, ‘kan?” Aku mengangguk lagi.
Aku bekerja di sebuah kafe kecil, tiga blok dari apartemenku. Tugasku hanya membuat dan menghidangkan kopi, tidak banyak. Aku juga tidak harus banyak berinteraksi dengan pelanggan, itulah alasan mengapa aku betah untuk bekerja di Brew & Chew Coffee Bar.
Keesokan paginya, aku menemukan Vernon sedang duduk di lantai, dengan kepala dan kedua tangannya di atas ranjangku—tertidur. Pakainnya juga sudah berubah. Bukan lagi gaun khas malaikat, namun kaus polos berwarna kuning tua dan celana jeans. Cocok dengan rambut pirang gaya pompadour-nya.
Saat aku bangun untuk duduk, dia ikut terbangun dan kembali tersenyum. “Kau sudah bangun?” Aku mengangguk, dan dia bangkit berdiri. “Sebaiknya kau langsung bersiap-siap, nanti kau terlambat. Sudah hampir jam setengah delapan.”
Tanpa banyak bicara aku menurut dan langsung pergi ke kamar mandi. Ketika selesai, sarapan sudah tersedia di meja makan. “Dari mana makanan ini? Aku yakin kalau kulkasku kosong.” Vernon hanya menyeringai, dan berkata. “Angel’s touch.”
Saat aku akan berangkat kerja, Vernon menemaniku sampai ke depan pintu. “Hati-hati di jalan, aku akan menunggumu saat kau pulang nanti.” “Jangan pergi,” ujarku pelan. “Aku membutuhkan teman.” “Tenang saja, Leanne,” Vernon mengulurkan kelingkingnya. “Aku janji.” Aku membalas senyumannya, dan mengaitkan kelingking kami. “Oke.”
Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan senyuman di bibirku. Aku tidur lebih nyenyak, dan aku juga bekerja dengan lebih semangat. Walaupun aku selalu tidak sabar menunggu shift-ku berakhir pada jam tiga sore.
Setiap hari Senin dan aku mendapat libur, Vernon dan aku akan menghabiskan hari dengan menonton film, membaca buku, dan berbagai hal lainnya di rumah. Kami akan tertawa dan bercanda bersama. Vernon juga selalu menyemangatiku untuk berteman. Mula-mulanya dengan bersikap lebih terbuka pada teman-teman kerjaku, lalu untuk lebih ramah kepada pelanggan kafe. Anehnya, ternyata aku senang untuk berteman.
Sampai suatu hari, aku sedang bertugas untuk menjaga kasir. Seorang pelanggan datang dan menghampiri meja kasir. “Selamat datang di Brew & Chew Coffee Bar,” kataku ceria. “Ada yang bisa kubantu?” Pria itu mendongak untuk melihat menu, dan aku menatapnya. Beberapa saat kemudian, aku menyadari kalau pria itu sangat mirip dengan Vernon. Rambut pirang gaya pompadour, mata kuning keemasan, dan senyumnya; senyuman manis dan hangat.
“Aku mau pesan cold caramel latte dan blueberry cheesecake,” katanya. Aku tidak menjawab, mataku terbelalak. “V-vernon?” “Maaf?” tanyanya heran. Aku menggeleng cepat. “Oh, tidak. Maaf. Kau hanya mirip dengan seorang teman. Maafkan aku.” Pria itu malah tertawa. “Tidak apa-apa.” Aku tersenyum. “Harganya jadi tujuh pound, Sir.” “Ini,” pria itu menyerahkan selembar sepuluhan. “Ambil kembaliannya.” “Terima kasih,” kataku. “Silahkan duduk dulu, aku akan mengantarkan pesanannya nanti.” Aku segera membuat pesanan pria baik itu, dan mengantarkannya ke mejanya—meja nomor lima.
“Ini pesananmu, Sir. Selamat menikmati,” ujarku. Saat aku akan berbalik untuk kembali ke meja kasir, pria itu memanggilku. “Miss!” “Iya? Ada tambahan lain, Sir?” “Siapa namamu?” tanyanya sambil menyeringai. “Apa kau sudah punya janji untuk makan siang?” “Leanne August, Sir,” jawabku dengan heran. “Tidak, memangnya kenapa?” “Panggil aku Lucas. Apa kau mau pergi makan siang denganku? Mungkin kau bisa menceritakan tentang teman yang kau bilang mirip denganku itu?” tanyanya.
Aku merasa tegang, pria bernama Lucas di depanku ini bisa saja pembunuh, atau orang jahat, atau apapun. Aku harus menjawab apa? Tiba-tiba saja aku dapat mendengar suara Vernon dengan samar-samar di dalam hatiku. “Bertemanlah dengan banyak orang, jangan takut.”
“Hmm,” kataku ragu. “Baiklah. Aku akan makan siang pada jam setengah satu.” Lucas bertambah sumringah. “Sempurna, aku akan menunggumu.” Aku mengangguk dan tersenyum. “Sampai nanti.”
Aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk pergi makan siang dengan Lucas. Dia adalah pria yang sangat menyenangkan dan dapat membuatku tertawa lepas, mirip dengan Vernon. Saat dia mengantarkanku kembali ke kafe, dia meminta nomor ponselku dan kami berdua berjanji untuk tetap berhubungan.
Ketika aku sampai di apartemen, Vernon sedang duduk di sisi ranjang dengan ekspresi aku-tahu-apa-yang-baru-saja-kau-lakukan.
“Kau sedang senang, apa yang terjadi hari ini?” “Aku bertemu dengan seorang pria bernama Lucas. Dan coba tebak, dia mirip sekali denganmu! Tidak hanya kepribadian, wajahnya juga mirip!”
Bukannya ikut senang, senyuman Vernon malah berubah menjadi senyuman kecil. Wajahnya tampak sedih. “Kenapa?” tanyaku heran. “Kau seharusnya senang, kau tahu?” “Kalau kau sudah menemukan seseorang yang mirip denganku, berarti tugasku di sini bersamamu hampir selesai,” jawabnya pelan.
Aku terdiam. Vernon mengeluarkan kalung jam pasir itu lagi, dan menunjukkannya padaku. Pasir emas itu sedang turun dengan cepat, dan pasir di bagian atas sudah hampir habis.
“Tunggu,” ujarku cepat. “Kau akan pergi?” Vernon mengangguk. “Aku harus pergi. Tapi jangan khawatir, Leanne. Aku akan selalu bersamamu bahkan kalau kau tidak dapat melihatku. Aku akan selalu melindungimu.” “Jangan pergi,” air mataku mulai menetes. “Kau adalah alasan mengapa aku senang.” Vernon menggeleng. “Tentu saja bukan. Kuberi tahu kau sebuah rahasia: kalau kau bertemu dengan seseorang yang mirip dengan malaikat pelindungmu, orang itu akan menjadi cinta sejatimu.” “Benarkah?” tanyaku tidak percaya. “Aku tidak percaya ‘cinta sejati’.” “Tentu saja, aku tidak pernah membohongimu,” kata Vernon. “Cinta sejati itu ada, Leanne. Kau hanya harus lebih memerhatikan sekelilingmu.” “Lucas adalah cinta sejatiku? Kami bahkan baru saja bertemu,” aku berusaha mengelak. Rasanya tidak mungkin. “Mungkin rasanya sekarang aneh, dan tidak mungkin. Tapi percayalah, kalaupun dia bukan cinta sejatimu, dia pasti akan membuatmu bahagia. Jauh lebih bahagia daripada aku membahagiakanmu.” Aku terdiam sesaat, dan menghapus air mataku. “Baiklah.” “Oke?” Vernon berdiri, dan memelukku erat. “Kau akan baik-baik saja.”
—
Malaikat penjaga. Apakah kalian mempercayai keberadaan mereka? Aku percaya. Enam bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Lucas, kami pun akhirnya berpacaran. Vernon benar, aku memang merasa sangat bahagia. Aku telah menemukan pria yang tepat.
Malam setelah aku pulang berkencan dengan Lucas —saat aku setuju untuk menjadi pacarnya— aku mendapati apartemenku kosong. Vernon benar-benar pergi. Di atas ranjangku terdapat sebuah kertas.
Tugasku telah selesai. Tersenyumlah selalu. V.
Di sampingnya, terdapat sebuah kalung replika dengan bandul jam pasir. Aku langsung memakainya, dan membaca surat dari Vernon sekali lagi.
SELESAI
Cerpen Karangan: Xena Olivia Blog: danielleashepherd.blogspot.com Sibuk berkarya, mengisi kekosongan hati dan jiwa.