“Teman-teman minta perhatiannya sebentar dong!” seru Mikael menenangkan kami yang riuh di dalam kelas. “Kemarin Sam kecelakaan, dia dirawat di rumah sakit dan katanya sih keadaannya parah. Ada yang mau temenin gue sama Bu Bunga jenguk?” Suasana kelas tiba-tiba diam tanpa jawaban.
“Kalau ngga ada yang mau berarti Cessa, lo yang temenin gue..” ucapnya berlagak bossy menunjuk ke arahku. “What? Kenapa harus gue sih? Ogah banget gue jenguk dia,” protesku kesal. “Lo kan sekretaris kelas 7b jadi lo harus ikut gue,” ucapnya lalu pergi dari hadapanku.
Well, ternyata hari ini merupakan hari yang cukup berat. Sam adalah musuh besar untuk aku dan sahabat-sahabatku. Tidak ada satu pun dari kami yang menyukainya karena dia sering usil mengerjai kami. Ya, walaupun terkadang, sebenarnya aku sedikit care dengannya karena ia tidak pernah sedikitpun marah kepada kami para perempuan yang kadang membalas keusilannya dengan kekerasan fisik.
“Gue nggak mau tahu pokoknya lo nggak boleh pergi jenguk Sam!” teriak Ayu sambil melempar buku matematikanya ke arah mejaku saat bel istirahat berbunyi. Ayu adalah sahabatku yang paling tomboy dan pemarah. Ia yang sering membalas keusilan Sam dengan mencubit atau memukulnya. “Gue juga terpaksa, Yu, cuma masalah profesionalitas aja,” ucapku santai sambil merapikan catatanku. “Udahlah, Yu, biarin aja si Cessa, kasihan juga si pembuat masalah itu kalau nggak ada yang jengukin. Lagian Cessa nggak mungkin suka sama Sam lah. Iya ‘kan, Sa?” Aku hanya mengangguk ringan menanggapi komentar Debby.
Aroma rumah sakit yang kurang bersahabat menyapaku ketika sampai di tempat tujuan kami. Akhirnya kami sampai di kamar Sam. Aku tertegun sejenak ketika menyaksikan seorang Sam yang katanya nakal, kuat dan sombong itu hanya diam dengan beberapa bagian tubuhnya yang diperban seperti mummy. Jantungku serasa berhenti ketika tatapan matanya menuju ke arahku. Tapi itu bukan Sam… tatapan matanya lemah, sangat lembut dan… Oke aku harus jujur.. itu adalah tatapan mata penuh ketulusan yang hanya sekali kurasakan dalam hidupku sampai sekarang. Tiba-tiba aku mencintainya karena tatapan itu.
“Sa, ibu keluar dulu ya, mau bicara sama mamanya Sam,” ucap Bu Bunga setelah beberapa saat kami sampai. “Gue ke luar bentar juga, Sa, mau telepon nyokap,” Mikael mengekor di belakang Bu Bunga. “Cessa, tante titip Sam sebentar ya.” Mama Sam tersenyum ramah dan sok kenal memanggil namaku.
“Hai, Sa,” sapa Sam lembut. Sungguh aku menyerah melihat tatapan mata itu. Aku hanya tersenyum, mencoba mengingatkan diri bahwa dia adalah musuh sahabat-sahabatku, tapi… hatiku terus berteriak-teriak dia bukan Sam yang biasanya. “Gue nggak nyangka lo dateng kesini jenguk gue. Makasih ya.” “Terpaksa aja kali, tadi si Mikael maksa gue jadi yaudah lah,” jawabku lalu berusaha menjauh darinya. “Gue keluar dulu ya.” “Sa,” panggilnya lalu menggapai tanganku. Ya ampun, rasanya aku tidak bisa bernapas. Ada apa denganku. “Please, jangan pergi,” mohonnya dengan muka sedikit memelas. Aku menatap ke arahnya dengan perasaan sedikit bingung. “Emang kenapa kalau gue keluar?” tanyaku penasaran. “Hmm, ya gue nggak mau sendirian aja,” jawabnya ragu. “Aneh banget alasannya.” “Lo mau tahu alasan yang masuk akal?” “Apa?” aku mulai penasaran. “Gue..gue.. seneng lo ada disini.” Aku terdiam tapi entah kenapa aku tersenyum mendengar perkataannya. Bodoh! Sungguh sangat bodoh aku mengeluarkan senyuman itu. “Kenapa senyum?” tanyanya bingung. “Siapa yang senyum? Gue? Perasaan lo doang kali.” Dia hanya balik tersenyum mendengar jawabanku yang tidak rasional. Untungnya saat itu Mikael dan Bu Bunga masuk.
“Sa, gue harus pulang sekarang nih, nanti sore gue ada les. Lo mau ikut gue?” Tanya Mikael, aku pun mengiyakan untuk pulang. “Gue pulang dulu ya, Sam.” ucapku. “Please, kalau ada waktu lo dateng kesini lagi yaa,” bisiknya pelan penuh harapan. Namun, aku pura-pura tidak mendengarnya lalu berlalu begitu saja.
Entah angin apa yang bisa membawaku datang lagi ke tempat ini, tapi sekarang aku betul-betul ada di depan ruang rawat Sam. Aku terdiam, bingung dan tak tahu kenapa bisa sebodoh ini membohongi sahabat-sahabatku hanya untuk Sam, seorang cowok nakal yang sudah dua tahun tidak naik kelas sehingga menjadi seangkatan denganku. Aku rasa aku mencintainya. Ini pertama kalinya aku merasa berbunga-bunga memikirkan tatapan Sam.
Menit ke-dua puluh lima tiba-tiba pintu itu terbuka. “Cessa?” mama Sam menyapaku kaget. “Kok kamu nggak masuk?” “Aku… aku…” jawabku bingung. “Untung kamu datang, tolong jaga Sam sebentar ya, tante harus pergi sebentar, ada urusan penting,” ucapnya lalu pergi dengan terburu-buru tanpa meminta persetujuanku. Sam terkejut ketika melihatku datang.
“Lo jangan kegeeran dulu ya. Gue kesini gara-gara Bu Bunga minta gue kasih fotokopian catatan gue buat lo. Bentar lagi kan ulangan akhir. Dia nggak mau lo jadi veteran lagi.” Alasan yang sangat bagus dan meyakinkan ‘kan? Padahal tidak ada seorang pun yang memintaku datang kesini kecuali Sam. “Makasih ya, Sa. Gue seneng banget lo dateng kesini.” Aku tidak bisa memungkiri rona kebahagiaan itu memang terpancar di wajahnya. Namun, aku tetap ingin menyembunyikan rasa yang ada di dalam hatiku.
“Sa, lo mau tahu nggak kenapa gue suka banget usil sama lo dan temen-temen lo?” Sa, memulai pembicaraan, menyelamatkan kami dari kesunyian. Aku hanya menggeleng. “Karena sebenernya gue tuh lagi cari perhatian sama seorang cewek diantara kalian, gue suka banget sama dia soalnya dia beda dari yang lain,” ceritanya. “Siapa? Ayu?” tanyaku. “Nggaklah, mana mungkin gue suka sama cewek tomboy sok jagoan kaya gitu.” Ia tertawa mendengar pertanyaanku. “Hei dia sahabat gue ya,” ucapku mengingatkannya. “Sorry deh, tapi lo mau tahu nggak siapa?” ucapnya. “Siapa?” tanyaku. “Lo, Sa,” jawabnya singkat. “Oh.” Aku berusaha tenang menanggapi jawabannya.
“Lo nggak merasakan hal yang sama kaya gue?” tanyanya. “Maksudnya?” Aku pura-pura bodoh untuk menutupi jantungku yang hampir copot mendengarkan pengakuannya sekaligus kebimbangan akan perasaan ini. “Lo nggak mau jadi cewek gue?” “Pede banget sih lo, Sam,” ucapku yang tak menanggapi serius senyumannya. “Sa, gue serius.” “Temen-temen gue nggak ada yang suka sama lo,” ucapku jujur. “Temen-temen lo nggak perlu tahu, ‘kan? Gue bisa pastiin kok.” “Gue nggak tahu.” “Please jawab iya.” “Kok lo maksa sih?” “Karena gue tahu lo juga suka sama gue.” “Terserah lo.” “Jadi?” “Jadi apa?” “Sa, lo bertele-tele banget sih, please.” “Dengan satu syarat, temen-temen gue ga ada yang boleh tahu.” “Jadi…” “Iya, Sam, terserah lo.”
Hari-hari pun berlalu begitu cepat. Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa di sekolah. Sam yang sudah sembuh pun masuk. Ia berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tidak pernah mengganggu kami lagi membuat sahabat-sahabatku bingung. Di lubuk hatiku yang paling dalam ada seberkas rasa penyesalan karena membohongi sahabat-sahabatku, tapi aku tidak bisa berbohong, aku menyayangi Sam. Kami backstreet. Kami sering menghabiskan waktu bersama-sama untuk banyak hal di luar sekolah.
Hal yang paling menggembirakan adalah nama Sam tidak tercantum di papan remedial yang biasanya selalu mengobral namanya di setiap ulangan akhir semester. Seluruh sahabatku kaget dan tidak percaya. Mereka bingung akan perubahan Sam semenjak ia sakit.
Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Hari kedua class meeting Sam tidak masuk sekolah. Sungguh aku bingung. Aku mencoba meneleponnya tapi ia tidak sekali pun mengangkatnya. “Sa, udah tahu kabar terbaru tentang Sam belum?” ucap Ayu tergesa-gesa berlari ke arahku menyampaikan berita yang membuatku penasaran. “Sam katanya mau di DO! Dia dituduh jadi provokator tawuran sekolah kita sama SMP Perintis Bangsa kemarin.” Aku tertegun mendengar ucapan Ayu. “Nggak mungkin! Sam nggak mungkin kaya gitu, Yu, gue tahu Sam udah berubah,” ucapku yang tak sadar langsung membala Sam membuat Ayu bingung. “Kok lo jadi panik gitu sih, Sa?” tanyanya curiga. “Maksud gue, Sam itu kan udah berubah, Yu, orang-orang juga udah liat dia itu sekarang jadi baik, iya kan?” Aku bermaksud membela diri tapi Ayu hanya mengangkat bahunya. Aku bingung… Aku tahu Sam tidak mungkin melakukan itu karena kemarin Ia sedang bersamaku.
Drrt… drrt… drrt… Sam meneleponku. “Sam kamu dimana? Aku udah tahu semuanya,” ucapku khawatir saat mengangkat telepon darinya. “Cuma kamu yang tahu aku nggak salah, Sa, please bantu aku,” jawabnya lirih. “Tapi, Sam, kalau aku ngaku temen-temen aku bakal tahu yang sebenernya, aku bener-bener nggak bisa.” “Itu pilihan kamu, Sa, kamu pilih aku atau mereka, terserah kamu.” Sam mematikan teleponnya meskipun aku terus menerus memanggil namanya. Aku bingung dan aku harus memilih. Aku tidak bisa membayangkan rasanya dianggap sebagai pengkhianat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dibenci oleh sahabat-sahabatku sendiri. Maafkan aku Sam, ini pilihanku…
Aku terjatuh sendiri. Tidak ada tempat bersandar. Tidak ada tangan yang akan menggapaiku ketika aku jatuh ke jurang yang sangat dalam. Ini adalah resiko. Aku telah merahasiakan kebahagiaanku maka aku juga harus menanggung pahit ini sendiri. Aku harus terima Sam marah padaku dan tidak menghubungiku lagi. Aku harus tetap ceria di tengah teman-temanku untuk menutupi kepiluan yang menyelimutiku bersamaan dengan perasaan bersalah.
Lima tahun berlalu setelah kejadian itu. Aku telah menjalani kehidupanku seperti biasa. Tanpa Sam. Bahkan aku memutuskan untuk pisah sekolah dari sahabat-sahabatku sejak memasuki dunia putih abu-abu. Setidaknya itu membuatku melupakan rasa bersalahku membohongi mereka.
Aku harus jujur. Aku menyukai orang lain. Namanya Rio. Meskipun sebetulnya dia tidak menaruh perasaan yang sama denganku tapi aku berani mengatakan aku mencintainya selama setahun belakangan ini. Memang tidak ada yang terlalu spesial darinya, tapi dengan kesederhanaan dan apa adanya itulah yang membuatku membuka mata dan melupakan Sam. Sayangnya, Rio terlalu kekanak-kanakan dan hanya menganggapku sebagai temannya.
Hari itu datang juga. Semester ke enamku di dunia putih abu-abu dikejutkan oleh sesuatu yang sudah berusaha kulupakan. Sam. Dia menjadi murid baru di sekolahku. Aku tidak mungkin bisa melupakan tatapan lembut lima tahun lalu itu terpancar lagi dari wajahnya.
“Cessa!” panggil Sam ketika kami berpapasan di lorong itu. Untung saja dia tidak ditempatkan di kelas yang sama denganku. “Hai Sam.” Aku berusaha santai. Entah masih adakah perasaan itu. Meskipun ada, aku berharap rasa itu tinggal sebongkah kecil yang sebentar lagi akan mencair dan kering terbawa angin.
“Aku udah lama cari kamu, ternyata kamu disini,” ucapnya. “Jujur aku kecewa sama kamu, Sa, kamu lebih memilih teman-teman kamu daripada aku.” “Sorry, Sam, aku rasa pilihan aku waktu itu udah jelas. Dengan pilihan itu berarti aku akan meninggalkan kamu dan nggak akan pernah balik lagi.” “Kamu udah suka sama orang lain?” tanyanya setelah lama terdiam. “Iya, Sam. Maafin aku. Aku sakit Sam waktu kamu ninggalin aku begitu aja. Aku terpuruk sendirian. Aku tahu aku salah karena nggak bela kamu tapi dari awal kita udah janji kalau sahabat-sahabatku nggak boleh tahu hubungan kita. Kalau kamu mau bilang aku egois aku terima kok,” Aku menghela napas. “Dan sekarang aku udah bisa hidup tanpa kamu. Please, Sam mungkin kita bisa jadi teman. Itu lebih baik.” “Aku terima keputusan kamu, Sa. Aku juga salah udah ninggalin kamu gitu aja. Satu hal.. aku masih sayang sama kamu dan akan terus menunggu kamu kembali sama aku,” ucapnya lalu ia pergi meninggalkan aku di lorong itu sendiri.
Aku hanya bisa menyaksikan setiap langkah demi langkah ia menjauh dan semakin jauh. Ia pun menghilang di ujung sana dan tidak akan pernah kembali. “Maaf, Sam, aku nggak akan pernah mengubah keputusanku. Ternyata seiring berjalannya waktu, cinta pertama itu telah mati dan tidak akan pernah kembali,” bisikku dalam hati.
Cerpen Karangan: Angela Muliawan Blog: giveandgiveandgive.blogspot.co.id