“Kenapa kau berdarah-darah, Dee?! Apa sekarang orang-orang memasang ranjau di sepanjang jalan ke tempat ini?”
Dee memandang nanar pada ketiga rekannya yang duduk mengeliling sebuah meja kecil. Lelaki yang bertanya tadi, Biruni, kini tengah memandang penuh heran pada perempuan yang berdiri di ambang pintu itu. Napasnya terengah dan pakaiannya ternoda merah disana-sini, terkena rembesan darah dari lukanya.
“Mereka hampir membunuhku!” pekik Dee. “’Membunuh’?” seeorang yang bernama Raja mengerutkan kening, bertanya-tanya apakah kata-kata Dee tadi bermakna denotasi atau sekedar majas seperti yang biasa ia gunakan.
Dee menarik kursi dan menjatuhkan diri di atasnya, “Kuberitahu, aku hampir tamat tadi, secara harfiah!” perempuan itu menegaskan.
Orang terakhir diantara mereka, Kelvin, menyodorkan segelas air dan beranjak untuk mengambil kotak obat.
“Kelompokku makin melarangku untuk bertemu kalian. Kami itu kelompok kecil, jika ada yang membuat masalah bisa habis kami diganyang kelompok lain.” Ujar Dee.
Biruni duduk bertopang dagu, pandangannya menerawang langit-langit ruangan kecil itu. “Dulu kota kita tidak begini,” gumamnya. “Antar kelompok damai-damai saja. Kita disibukkan oleh kehidupan masing-masing tapi selalu disatukan lagi oleh Festival.” “Festival ya… tapi sekarang itu sudah dilarang.” Sahut Dee sambil membersikan lukanya. “Festival kembang api yang menyatukan semua golongan di kota. Saat malam bulan baru, langit sedang gelap-gelapnya dan bintang terlihat jelas. Warna kembang apinya selalu mengingatkan kita pada kota, yang beragam tapi indah.” Biruni bernostalgia.
“Tapi itu dulu. Waktu orang-orang asing itu belum kemari, waktu kota kita masih hijau, waktu tanah belum kering dan berbatu. Sekarang langit kita sudah terkotori dan kembang api dilarang. Orang-orang tenggelam dalam urusan dan kelompoknya masing-masing. Kota ini retak.” ujar Raja. “Sudah pecah malah.” Timpal Dee. “Mungkin belum, Dee. Mungkin kita bisa mengembalikan Festival.” Gagas Kelvin dengan suara yang pelan.
Hening, keempatnya dibungkam oleh ide yang dilecutkan Kelvin. Singkat dan lirih namun tepat mengena pada impian yang lama mereka kucilkan dalam hati terdalam.
“Itu gila,” Cetus Dee. “Kita bisa mati.”
Itu adalah hal yang gila, tapi keempat muda tersebut memutuskan untuk mengikuti kegilaan itu. Mereka bisa mati, dalam hal ini Dee tidak sedang bermajas. Tapi keempatnya berpikiran bahwa, jika mereka akan mati setidaknya sisa hidup yang mereka miliki haruslah berarti.
Waktu berlalu tanpa mereka sempat bertemu lagi. Keempatnya berjuang dengan caranya masing-masing, namun mereka yakin bahwa mereka tidak berjuang sendiri. Setidaknya itulah yang mereka pikirkan, sampai hari dimana kabar bahwa Kelvin melanggar perbatasan dan kabur dari kota terdengar oleh rekan-rekannya.
Tidak lama setelah itu mereka kembali berkumpul di ruangan kecil di pusat kota, pusat kota yang telah kehilangan semaraknya sejak lama. Selama beberapa waktu mereka hanya bertiga. Suatu hari Raja terlonjak ketika Kelvin masuk dan berdiri di hadapannya serta Dee.
“Kamu!” Raja berjalan menghampiri Kelvin dengan langkah yang keras. “Kenapa kamu kembali? Apa yang kamu lakukan selama ini? Melanggar perbatasan? Kamu kabur sementara Dee yang seorang perempuan itu berjuang sendirian, membujuk kelompoknya supaya mendukung rencana kita. Pengecut! Kamu dan kelompokmu itu sama saja, dari dulu tidak pernah berubah.” Tukasnya.
Kelvin terdiam kaku, bahkan setelah mendengar seruan Biruni di luar. Lelaki itu memasuki ruangan dengan tergesa, wajahnya sumringah ketika melihat Kelvin. Namun langkahnya terhenti dan senyumnya luntur ketika melihat raut muka Raja, “Ada apa?” tanyanya. “Jangan sambut kedatangannya, Biruni. Dia bukan lagi bagian dari kita.” “Apa?! Kenapa? Setelah semua yang dia bawa untuk kita?” Biruni menuding ke luar ruangan.
Raja memandang Biruni heran, sementara Kelvin masih diam, terluka begitu dalam oleh kata-kata Raja. Dee bergegas keluar dan menemukan sejibun alat dan bahan yang mereka butuhkan untuk membuat kembang api. Raja terkesiap ketika melihat barang-barang yang memenuhi pelataran itu. Dia memandang ke arah Kelvin dengan perasaan bersalah.
Kelvin berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Biruni memanggil, “Kelvin! Mau kemana?” “Pergi. Pengecut sepertiku bukan bagian dari kalian. Aku dan kelompokku, pandangan Raja pada kami tidak berbeda dari yang lain. Kalian sama saja.” Jawab pemuda itu. “Tidak, tidak, tidak.” Biruni melangkah maju lalu berdiri di antara Kelvin dan Raja. “Dengar, sudah saatnya kita melupakan masalah itu. Setiap kelompok, setiap orang, masing-masing dari kita dikaruniai kemampuan yang berbeda. Dan karena itu kita perlu menempuh jalan jihad yang berbeda. Tapi tujuan kita masih sama…” Biruni memandang Kelvin dan Raja bergantian dengan penuh harap, “Jangan mempermasalahkan perbedaan jalan jihad kita lagi. Setuju?”
Diam. Tidak ada yang bergerak untuk beberapa saat. Tiba-tiba Raja berjalan cepat ke arah Kelvin, nyaris berlari. Kemudian ia mendekap pemuda itu, “Maaf. Setelah ini aku akan selalu mengingat kalau kita saudara, bagaimana pun perbedaan yang kita punya.” Kelvin menepuk punggung Raja dan menjawab pelan, “Ya. Aku juga.”
Setelah masalah mereka berlalu, keempatnya mulai mengundang orang-orang ke pusat kota. Perlu perjuangan untuk menyakinkan dan membuka hati orang-orang ini. Lalu mulailah terlihat di pusat kota yang sepi itu, sekumpulan manusia dari golongan yang berbeda-beda, bergotong royong untuk mewujudkan Festival.
Kembang api pertama yang mereka selesaikan berukuran sebasar guling. Raja bilang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan yang biasa ada di Festival sebelum-sebelumnya. Kembang api itu ditegakkan di atas menara kayu, di hadapkan ke langit senja. Baru saja mereka berbangga dengan hasil tersebut, aparat keamanan datang dan menyeru dengan lantang agar mereka menghentikan kegiatan Seseorang yang berdiri paling depan di antara mereka nampak memandang kesana kemari mencari sesuatu. Suatu ketika dia berhenti dan menudingkan tangannya ke arah Kelvin, “Tangkap dia!”
Kelvin tersentak, tak sempat mengelak ketika beberapa orang maju dan membelenggu tubuhnya. Mereka menangkap Kelvin, karena ia telah melewati batas wilayah kota dan diduga merupakan orang yang mendalangi aktivitas terlarang itu.
Para aparat mulai bergerak untuk membereskan tempat mereka. Raja dan Biruni melakukan yang mereka bisa untuk mencegahnya. Yang lainnya memandang penuh kebingungan dan panik ketika hasil kerja keras mereka disempar-sempar. Dalam keadaan yang mengiris-iris hari itu terdengar suara teriakan yang lantang.
Semua kepala spontan terarah pada sumber suara, seorang pemuda yang kedua lengannya dikunci erat-erat oleh dua aparat keamanan. Ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri. “Jangan diam saja!” lanjutnya. Dee, Biruni, dan Raja berdiri mematung, sadar bahwa itu adalah pertama kalinya mereka mendengar Kelvin berteriak.
Dengan jantannya ia berseru, “Ini tanah kita! Itu langit kita! Jangan biarkan mereka menghalangi kita berkarya di atasnya!” dia terengah, diam sejenak untuk mengambil napas. “Nyalakan kembang apinya!”
Kata-kata itu seakan menyulut sesuatu dalam diri Dee yang membuatnya secara insting berlari untuk meraih pemantik api, melemparkannya pada Raja yang sudah bersiap di dekat menara. Raja menyalakan pemantiknya, api dengan cepat membakar sumbu, melesatkan kembang api tersebut ke langit.
Tidak ada yang bergerak ketika benda yang serupa roket itu meluncur membelah udara. Pada suatu titik di langit senja benda itu meledak, melemparkan kepingan-kepingan cahaya yang singgah sebentar di langit senja, kemudian berjatuhan dan lenyap. Suara letusannya seakan membisukan suara lain. Orang-orang masih mematung hingga beberapa detik kemudian terdengar pekik-pekik girang dari penduduk kota yang ada di sana.
Kelvin terpaku, mendongak menatap langit. Ia disadarkan oleh sentakan dari aparat yang menahannya. Petugas keamanan itu pergi dengan membawa Kelvin. Namun tidak satupun dari mereka bergerak untuk mengamankan tempat itu.
Keeseokan harinya diputuskan bahwa Festival tetap diadakan dengan syarat orang luar dan pihak swasta boleh datang untuk melihat dan mendukung jalannya Festival. Raja dan ketiga rekannya telah memperjuangkan Festival di meja perundingan hingga titik darah penghabisan. Pada akhirnya mereka harus menahan geram dan merelakan “upacara adat” mereka dicampuri tangan-tangan asing.
“Mereka hanya ingin mendapatkan keuntungan.” Tuduh Raja sesudah perundingan. “Orang-orang tidak akan bisa menerima ini.” Timpal Dee. “Bukan hanya orang-orang kota, Dee. Kita juga tidak akan bisa merelakannya. Tapi Festival tidak boleh batal karena ini.” Ujar Biruni.
Kelvin diam saja, duduk anteng di sudut ruangan. Raja menghela napas lelah, kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu. “Ayo teman-teman,” panggilnya. “Perbaiki sikap badan kalian, beri mereka contoh yang baik. Jangan tunjukkan perasaan gusar dan kecewa.”
Ketiganya bangkit dan mengikuti Raja dari belakang. Mereka menemui orang-orang yang masih berkumpul di pusat kota. Orang-orang tersebut sedang duduk diam atau membahas sesuatu satu sama lain, bingung dan khawatir akan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Raja melangkah mantap dan berhenti di antara kerumunan, “Ayo kita lanjutkan!”
Pada hari Festival, acara tersebut berlangsung dari pagi hingga malam. Mengumbar kegembiaan dan kebersamaan yang sempat menghilang. Malam hari, bulan baru, langit gelap dan bintang terlihat jelas. Satu persatu kembang api diluncurkan. Menaburkan cahaya penuh warna di langit malam.
Setiap kepala menengadah ke atas, menikmati warna-warna yang bertabrakan, melecut-lecut dan berpadu menjadi apa yang mereka namakan Festival. Suara kembang api saat diluncurkan dan suara ledakannya membuat mereka merasa berada di tempat yang sama sekali lain. Kilau-kilau cahaya itu menampar hati mereka, menyadarkan akan sesuatu yang mereka abaikan.
Dee menyaksikan kembang api bersama ketiga rekannya, dengan tangan dibelit tali besi. Air mata nyaris lolos dari matanya, cepat-cepat ia seka. Tidak boleh ada yang menangis saat Festival, karena Festival adalah happy ending. Seharusnya begitu, namun teteap terdengar suara isakan yang sahut menyahut di antara ledakan kembang api yang susul-menyusul. Tiba-tiba Festival menjadi pengap oleh haru.
Keeseokan harinya pusat kota menjadi lebih sepi, tapi masih ramai oleh orang-orang yang berberes. Sejak semalam orang-orang tidak lagi melihat Dee, atau Biruni, atau Raja dan Kelvin. Keempatnya menghilang entah kemana. Lalu orang-orang, khususnya pada muda berdatangan ke markas mereka. Sebuah bangunan kecil di pusat kota.
Empat pemuda itu tidak ada di sana. Kemunculan mereka bagai percikan yang menyulut kota rapuh itu. Kehadiharan mereka tidak bisa dipungkiri lagi bagaikan kembang api, begitu semarak dan menyala-nyala dalam langit gelap yang sepi, begitu berani. Namun kepergian mereka juga seperti kembang api, lenyap begitu saja ketika malam berakhir.
Cerpen Karangan: Salsabila Aura R. Blog: salsaaurar.blogspot.co.id