Di pelosok desa, tepatnya yang berada di bawah kaki bukit Bromo sana, ada tiga sosok remaja. Ketiga nama remaja itu adalah Sobirin, Teguh dan Dewa. Ketiganya bersekolah di sekolah yang sama. Tapi mereka bertiga bukan saudara sedarah, hanya Sobirin dan Teguh masih ada ikatan saudara. Saudara jauh. Kakeknya Sobirin masih sepupu jauh ayahnya Teguh.
Sejak Madrasah Ibtidaiyah, ketiganya sudah bersekolah bersama. Berangkat ke sekolah bersama-sama. Pulangnya pun bersama-sama. Terkadang, pulang dari sekolah mencari buah kesambi-yang asam-asam manis macam asam gelugur, tapi bentuknya macam duku campuran kelengkeng-yang berada di belakang Perhutani. Sobirin anaknya polos dan mempunyai bakat menari japen. Berbeda dengan Teguh yang agak pemberani dan mudah bosan. Sedangkan Dewa adalah yang paling cerdas di kelas namun penakut. Persamaan dari ketiganya adalah, mereka takut untuk mencuri.
Pagi itu, ketiga sahabat itu berada di hutan pinus. Kabut dari kawah Gunung Bromo mengepul macam asam rokok. Bentuknya mirip dengan pintalan-pintalan kain wol sehingga membuat langit nan biru agak tertutupi. Mereka bertiga memang senang bermain di kaki bukit sambil menyaksikan pemandangan nan hijau dari kejauhan. Pernah suatu ketika, mereka sedang bermain di bukit dekat hutan, tiba-tiba tampak seekor babi hutan yang lari dengan kencang. Lantas ketiganya lari dengan terbirit-birit bahkan sampai naik ke dahan pohon supaya tidak terus dikejar oleh babi hutan.
Pada keesokan harinya, Teguh dengan dibantu oleh Sobirin mempersiapkan sebuah perangkap berupa jaring untuk menangkap babi hutan yang mengejar mereka kemarin. Sebab selama ini, babi hutan telah meresahkan petani yang menanam padi atau jagung dekat dengan hutan. Terkadang batang-batang padi yang masih muda dan belum menerbitkan buahnya tiarap karena terinjak-injak oleh kaki babi hutan. Terkadang ada pula jagung atau ubi rambat yang habis dimakan oleh babi hutan. Padahal jagung dan ubi rambat tersebut akan dipanen dan dijual ke kota.
“Untuk apa perangkap ini sebenarnya?” Dewa mengikat jaring. “Kamu tahu kemarin kalau kita hampir saja diseruduk sama babi hutan?” Teguh mengikat tali. “Semalam, kata Pak Usman, jagung sama ubinya habis dimakan oleh kawanan babi hutan. Padahal kemarin, jagung tersebut mau dipanen. Tentu saja kejadian gara-gara babi hutan tidak bisa dibiarkan. Kita musti menangkap babi hutan itu!” Sobirin tampak emosi gara-gara si babi hutan. “Apakah kalian tahu, kenapa babi hutan dan monyet keluar ke perkampungan?” Dewa menggunting tali dengan sebuah gunting. “Ya mana kita tahu kenapa mereka keluar dari habitat mereka?” Teguh membakar ujung tali dengan sebuah mancis. “Memangnya kenapa?” Sobirin bertanya. “Itu karena ketersediaan makanan di hutan menipis. Otomatis mereka pergi keluar ke perkampungan untuk mencari makanan supaya bisa bertahan hidup.” Dewa meletakkan gunting di dekatnya. “Terus, kenapa babi hutan yang kemarin mau menyeruduk kita?” Teguh mendesis. “Ya, mereka kalau melihat manusia atau bahaya yang mengancam nyawanya otomatis mereka menggunakan senjatanya, dan bukan untuk membunuh kita. Seperti halnya Suku Anak Dalam yang tinggal di tengah hutan. Kalau mereka sudah kehabisan sumber makanan di dalam hutan, otomatis mereka akan keluar dengan membawa senjata sebagai pelindung diri dari harimau, babi hutan, atau ular yang bisa mengancam nyawa mereka.” Dewa meletakkan jaringnya di tanah.
“Sudah jadi? Kita pasang perangkap ini di dekat pohon sana!” Teguh membawa jaring yang sudah jadi. Lalu ia menunjuk ke arah pohon besar yang lebat daunnya di tepi hutan. Kemudian, ketiga sahabat itu pergi ke sawah petani yang berbatasan dengan tepi hutan. Setelah itu, mereka memasang perangkap tersebut dengan ditutupi daun-daunan. Berharap kalau nanti malam, babi hutan yang telah meresahkan petani berhasil tertangkap.
Dan keesokan harinya, apa yang mereka harapkan akhirnya tertangkap. Seekor babi hutan betina terkena jaring perangkap. Namun mereka tidak membunuhnya melainkan melepaskannya ke dalam hutan kembali. “Kita jangan membunuhnya!” Dewa melarang kedua sahabatnya. “Kenapa?” “Dia babi betina. Kasihan kalau dia dibunuh. Kasihan anak-anaknya. Dia sedang mencari makan buat anak-anaknya. Kemungkinan juga dia mencari makan agar bisa menghasilkan susu buat anak-anaknya yang masih menyusu. Apakah kalian berdua tega memisahkan induk dari anak-anaknya?” Dewa menepuk pundak kedua sahabatnya.
Lulus SMA, Sobirin bekerja di sebuah pabrik keramik tak jauh dari rumahnya. Itu adalah pabrik keramik satu-satunya di desanya. Ada orang dari kota-yang pensiun dari perusahaan keramik-yang kemudian mendirikan pabrik keramik dengan memboyong keluarganya. Dia membeli sebidang tanah dekat rumah Sobirin. Sejak itu, dia bekerja di pabrik keramik bersama ibu dan adiknya. Sebenarnya, Sobirin lulusan SMK. Dari kelas 1 sampai lulus dia telah belajar bongkar pasang mesin. Memang awalnya dia sempat bekerja di salah satu PO bus, tapi entah karena alasan apa, akhirnya dia hijrah ke pabrik keramik tersebut. Bahkan sampai hari itu. Dari si Boss keramik, dia belajar tentang cara awal membuat keramik yang berkualitas. Mulai dari mengecor, mengoven, melukis sampai pemasarannya.
Kalau Sobirin masuk ke pabrik keramik, beda lagi dengan Teguh. Pulang dari Pulau Madura-lulus SMP dia dimasukkan ke pesantren yang ada di Bangkalan Madura-dia membuka usaha laundry di kota. Bahkan ia menetap di sana. Hanya saja kalau hari Sabtu sore sampai Minggu, dia pulang ke desa. Sebab ibunya masih tinggal di sana. Ketiga kakak lelakinya sudah berkeluarga dan tinggal satu yang masih tinggal di rumah peninggalan ayahnya. Selain menerima cucian baju, dia juga menerima laundry khusus karpet dan helm. Pelangganya lumayan banyak sehingga perlahan-lahan bisnis laundry-nya maju. Dengan begitu ia bisa menabung buat biaya pernikahan. Hanya saja dia masih belum punya calon.
Kalau Sobirin bekerja di pabrik keramik dan Teguh menekuni usaha laundry, berbeda dengan Dewa. Sudah tiga tahun dia merantau ke pulau seberang. Sampai saat ini kedua temannya itu belum menerima kabar tentang sahabat mereka yang satu itu. Namun keduanya tetap berdoa agar Dewa menjadi orang yang sukses sesuai dengan cita-citanya dulu, menjadi seorang penulis terkenal. Sejak kecil, Dewa memang sering diminta bercerita di muka kelas. Dan setelah lulus SMA, Dewa mulai mengirim cerpen-cerpennya ke koran yang terbit di kota. Tapi, ketika ibunya menjual tanah sekaligus rumahnya pada seseorang, maka Dewa harus ikut ibunya merantau ke luar pulau. Bahkan sampai hari ini, keduanya belum menerima kabar, kapan sahabatnya itu pulang. Mereka rindu seperti saat-saat bertualang di hutan dan perbukitan. Mendaki bukit yang curam, menyeberangi sungai yang dalam dan penuh bebatuan, dan menangkap babi hutan.
“Apakah kita akan tetap bersama meski kita sudah menikah dan sama-sama memiliki anak kelak?” Teguh memandang langit yang terbungkus permadani hitam dan ditaburi bebatuan intan permata yang berkerlipan, di atas sana. Saat itu, keduanya sedang tiduran di loteng rumah Teguh yang memang dicor dengan semen sehingga tidak bocor ketika musim penghujan. “Aku juga tidak tahu, Mas.” Sobirin yang saat itu juga memandangi langit menjawab pertanyaan Teguh. “Apakah kamu sudah menerima kabar dari sahabat kita yang satu itu?” Teguh melihat ke arah Sobirin. “Tidak, Mas. Lha wong aku lupa menyimpan nomor handphone-nya Dewa.” Sobirin mengecek list contact di handphone jadulnya dengan jempol. Saat itu hp masih tut-tit-tut. Merknya tidak penting.
Tak lama kemudian datang Ribut. Teman mereka bertiga namun tidak masuk dalam barisan. Tapi keempatnya juga dekat meski jarang. Ribut akan muncul dalam kehidupan mereka berdua kalau salah satu dari ketiga sahabat itu tidak ada. Sehingga mereka jumlahnya tetap tiga. Ribut memiliki tubuh yang tinggi dan perut yang buncit. Cita-citanya dulu adalah menjadi Angkatan Laut. Tapi, karena tidak lolos saat mengikuti tes-disebabkan oleh penyakit jantung yang dideritanya dan juga sering muncul keringat dingin di tangan dan sekujur tubuhnya-akhirnya lulus SMA dia langsung diterima sebagai kurir barang. Tugasnya adalah mengantarkan paket ekspedisi antar kota. Awalnya dia dulu pernah menjadi sekuriti di sebuah pabrik yang ada di Lumajang, namun setengah tahun kemudian dia mengundurkan diri karena tidak tahan dengan cuaca yang ekstra dingin. Dia juga tidak diperbolehkan terkena angin malam yang dapat membahayakan jantungnya.
“Hei, sudah dapat kabar belum?!” Ribut berjalan menghampiri kedua sahabatnya. “Kabar apaan?!” Teguh dan Sobirin bangkit dari rebahannya. “Kata temanku, Dewa sudah kembali ke sini! Tapi, dia malah kena tangkap sama polisi!” “Apa?! Dewa sudah kembali dan kini ditangkap sama polisi?! Kok bisa?!” Teguh kaget bukan buatan. Lantas dia saling berpandangan dengan Sobirin. “Memangnya dia ditangkap karena soal apa?” Sobirin bertanya. Ia masih penasaran.
Ketiga pemuda itu lalu mendatangi kantor polisi di mana Dewa tertangkap. Tapi sesampainya di sana, mereka bertiga sama sekali tidak menemukan Dewa. Menurut keterangan salah seorang polisi paro baya yang malam itu bertugas berjaga di pos, seorang pemuda yang bernama Dewa tadi pagi kena tangkap sama pihak bank karena ketahuan telah mencuri sebuah dompet milik nasabah yang hendak menyetor ke bank. Tapi, pas setelah shalat Magrib, pemuda itu kabur dari kantor polisi dan saat ini masih dikejar sama anggota.
“Kapan Dewa pulang dari perantauan?” Teguh memegangi rambutnya sendiri. Lalu dia duduk di sebuah bangku panjang. “Anda bertiga siapanya tersangka?” Polisi yang mengetik di depan komputer bertanya. “Kami bertiga temannya tersangka dulu waktu sekolah, Pak. Kami kenal betul siapa dia, Pak. Dan sejak kecil, dia sama sekali tidak pernah mencuri apapun. Makanya kami langsung ke sini untuk mengecek kebenarannya.” Sobirin yang menepuk-nepuk keningnya menjelaskan. Kepala polisi muda itu manggut-manggut. Dan tak lama kemudian, sebuah mobil patroli datang. Mereka bertiga bangkit dan ternyata di belakang ternyata tidak tampak sahabat mereka. Pergi ke manakah Dewa?
—
Seorang pemuda berjaket kumal, duduk di hadapan seorang pria paro baya. Dia menangis dan menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang getir. Namun dia masih tetap tegar dalam menjalani kehidupan yang pahit ini. Dan pemuda itu adalah Dewa. Sejak kabur dari kantor polisi, dia naik bus jurusan Banyuwangi. Tentu saja karena ingin bebas dari kejaran polisi. Sebab, sejak berita penangkapan dirinya di kantor bank, keluarganya menjadi heboh. Bahkan tetangganya juga ikut heboh. Dari Banyuwangi dia menumpang sebuah truk yang hendak ke Bali. Setelah dari Bali, dia menumpang sebuah pickup yang hendak ke Lombok. Sesampainya di Lombok Timur, dia nyaris pingsan karena sudah dua hari tidak makan. Dia hanya meminum air keran yang ada di masjid. Akhirnya dia sampai di rumah orang yang dituju.
“Sebenarnya saya tidak ingin mencuri, Pak. Saya mencuri karena terpaksa. Saya benar-benar lapar dan haus sementara uang telah habis.” Dewa menangis. “Kamu tahu saya dari siapa?” Orang yang dipanggilnya “Bapak” menepuk pundak Dewa seraya mengulum senyum. “Saya tahu nama dan alamat Bapak dari Pak Darmanto yang berada di Batam. Ini ada surat dari beliau. Pak Darmantolah yang meminta saya agar mencari ilmu hakikat hidup.” Dewa menyodorkan secarik surat. Orang itu menerimanya dari tangan Dewa. “Alhamdulillah. Ternyata orang yang sudah saya tunggu akhirnya datang.” Pria paruh baya itu menepuk-nepuk kembali pundak Dewa. “Maksud Bapak?” Dewa mengernyitkan keningnya. Heran.
“Kamulah orang yang sudah lama saya nantikan kedatangannya. Pak Darmanto juga telah memberitahu saya lewat telpon. Sesungguhnya, ilmu hakikat hidup dapat kamu temukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan, di sebuah pabrik keramik atau laundry pakaian. Untuk mendapatkan keramik yang sempurna, pertama-tama, segumpal tanah lempung diolah dengan gilingan sampai benar-benar siap dibentuk. Terus ditetesi dengan air. Lalu dicampur dengan gips. Setelah itu dicetak dalam cor. Setelah terbentuk lalu dibakar dalam oven dalam suhu panas yang tinggi. Semakin baik suhu panasnya, maka cetakan keramik itu semakin bagus dan tidak akan mudah pecah. Setelah dikeluarkan dari oven didinginkan dulu, baru dipoles dengan cat sehingga bisa menarik perhatian pembeli. Begitu sama halnya dengan manusia. Supaya diterima oleh Tuhan, seorang manusia yang telah melakukan perbuatan dosa, harus siap mencetak ruhnya. Dicetak dengan melakukan pembedahan. Dikeluarkan semua kotoran-kotorannya. Lalu dioven dalam meditasi yang lama. Semakin lama meditasinya maka semakin bagus hatinya. Dibakar semua penyakit-penyakit hitam itu. Baru setelahnya didinginkan dan dihiasi dengan perbuatan amal baik.” Pria paruh baya itu mengelus punggung Dewa dengan lembut.
“Tolong ajari saya, Pak, supaya saya bisa seperti keramik yang layak jual di hadapan Tuhan.” Dewa menangis. “Insya Allah.” Lelaki paruh baya itu menganggukkan kepalanya. “Ajari saya untuk menemukan kunci rahasia ketuhanan itu, Pak.” “Insya Allah. Insya Allah. Sudah hak kamu untuk mendapatkannya.”
Cerpen Karangan: Khairul Azzam El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliiiky Probolinggo, Juni 2021 Novelis. Lahir di Probolinggo. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com