Seorang gadis dengan wajah paling muram di dunia kini sedang berlayar dengan perahu kecil bersama seorang nelayan yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Di tengah perjalanan, nelayan itu menceritakan banyak hal mengenai keindahan laut biru yang berada di sekeliling mereka. Terdengar dari tutur katanya, sepertinya ia benar-benar mencintai pekerjaannya. Bukan hanya sebatas pekerjaan menangkap ikan, tetapi lebih dari itu. Nelayan itu mencintai laut karena laut adalah sebagian dari dirinya. Gadis itu tertunduk lesu, pikirannya juga ikut tenggelam dalam gulungan ombak. Ia merasa tertombak berulang-ulang kali. Hidup nelayan itu sepertinya seribu kali lipat lebih berharga dibanding dirinya yang tidak punya apa-apa untuk dicintai di dunia. Ia tidak punya hal-hal yang bisa dengan bangga diceritakan pada orang lain karena dunianya saja sudah berhenti dan mati sejak lama.
Kini perahu kecil itu meraih bibir pantai. Gadis itu meninggalkan salam perpisahan pada nelayan dengan senyum paling hangat yang ia punya. Saat ini, hanya ada ia seorang diri bersama pasir pantai yang sejak tadi dalam genggaman. Jarum-jarum cahaya sore hari itu cukup meneduhkan jiwanya. Jakarta yang terlalu pelik membuat gadis ini melarikan diri. Satu-satunya jalan keluar adalah berlari ke markas rahasia yang menjadi tempat kabur paling aman dari kelamnya Jakarta yang berkali-kali melukai hatinya. Baginya, Jakarta terlalu sulit untuk diajak berkawan. Jakarta terlalu sering memberikannya duka sehingga ia tak bisa lagi menghirup napas lega. Setidaknya, gelombang laut dan suara khas pantai menjadi obat penenang walau sekedar pelarian.
“Ren! Renjana!” teriak seseorang yang suaranya tak asing di telinga. Renjana menolehkan wajahnya dan berkata, “Manusia itu datang lagi.” Dengan napas yang masih terengah-engah karena berlarian dari sudut ke sudut, laki-laki itu memasang wajah murka dan meninggikan nada bicaranya, “Kamu kenapa ada di sini? Ikut aku, kita pulang sekarang!” “Justru aku yang harusnya bertanya. Dari mana kamu tahu aku di sini, Baskara?” “Intuisi.” “Intuisimu terkadang tepat, ya, Bas.” “Tulisanmu akhir-akhir ini sudah cukup menjadi tiket untuk membawaku ke sini, Ren. Sekarang, jawab pertanyaanku. Kamu kenapa?” “Kamu egois kalau tiba-tiba menyuruhku untuk pulang ke Jakarta, Bas. Lihat, di sini aku sedang menikmati duniaku sendiri.” “Aku tahu kamu tidak akan semudah itu kuajak pulang, Ren.” “Kamu harusnya duduk di sini sebentar. Buka kedua bola matamu lebar-lebar dan lihat keindahan di sekelilingmu, Bas.”
Baskara menuruti keinginan Renjana yang memintanya untuk tinggal. Sementara itu, Baskara masih menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya mengenai keindahan yang disebut-sebut oleh Renjana tentang tempat ini. Baskara hanya bisa merasakan kehampaan yang mutlak berada di sekelilingnya. Ia tidak pernah membayangkan kalau Renjana bisa sampai ke sini sendirian. Untung saja, intuisinya tepat dan ia tidak datang terlambat. Kalau tidak, Renjana yang keras kepala akan melakukan hal-hal yang menyedihkan dan diluar dugaan.
“Bas, tadi aku mengelilingi laut biru dengan perahu bersama seorang nelayan.” “Bagaimana? Kamu senang, Ren?” “Entahlah, perasaanku justru kacau. Setiap orang yang aku temui selalu bercerita mengenai hal-hal yang ia cintai, hal-hal yang menjadi alasannya mengarungi bumi. Sementara aku? Hidupku mungkin tidak lebih berharga dari kantong plastik bekas makanan yang bertaburan di jalan raya.”
Baskara sudah tahu arah percakapan ini. Entah berapa kali ia harus meyakinkan Renjana kalau hidupnya lebih berharga dari apa pun di dunia. Renjana yang terlalu keras kepala tidak pernah mau mendengarkan. Ia selalu merasa paling hina di antara hal-hal paling hina di bumi.
“Analogimu mungkin kurang tepat, Ren. Karena kantong plastik bekas itu bisa menjadi penyambung hidup bagi beberapa orang. Kantong plastik itu bernilai harganya.” “Kamu tidak pernah paham jalan pikiranku, ya? Kamu harus mengunjungi pikiranku sesekali untuk tahu bagaimana keadaannya.” “Renjana, aku adalah manusia pertama yang punya kebebasan untuk masuk ke dalam pikiranmu tanpa perlu izinmu.” “Aku masih heran kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba dan menemukanku. Kamu manusia atau Tuhan, Bas? Di antara banyak kemungkinan, entah kenapa selalu kamu yang harus selalu ada didepan mataku. Padahal, kamu itu Baskara. Kamu ditakdirkan terang menyinari bumi. Kamu dicintai umat manusia. Tidak sepertiku yang selalu menjadi gelap dan mengusirmu ribuan kali. Anehnya, kamu selalu datang lagi, menawarkanku cahaya yang magis. Kamu aneh, Bas.”
Baskara hanya tersenyum mendengar celotehan aneh yang keluar dari mulut Renjana. Entah apa yang dipikirkan Renjana saat ini sampai-sampai ia mempertanyakan wujud Baskara seolah-olah ia bukan manusia. Pikiran Renjana sudah terlalu kalut sehingga Baskara hanya mengiyakan perkataannya dan tidak mau ambil pusing.
“Bas?” “Iya? Ada apa?” “Apa yang kamu pikirkan soal laut biru?” tanya Renjana sambil menunjuk laut biru yang berada di sekeliling mereka. “Laut biru itu kamu, Ren. Kamu seperti laut biru yang menyimpan banyak hal didalamnya. Kamu sama dalamnya dengan laut, Ren. Keberadaanmu indah, hidupmu berharga, kamu menenangkan.” “Terima kasih, ya.” “Untuk apa?” “Terima kasih karena sudah menjadi Baskara yang merendah ke bumi. Terima kasih karena menyebutku berharga. Walaupun aku tidak tahu wujudmu sebenarnya, entah kamu seorang manusia atau seekor paus yang sedang menjelma untuk mengintaiku, kamu adalah Baskara yang menenangkanku sore ini. Hangatmu membuat aku merasa cukup.”
Setelah berdialog panjang dengan pikiran Renjana yang arusnya deras, Baskara akhirnya menemukan titik terang untuk membawa Renjana pulang. Baskara tahu, ia hanya perlu menuruti isi pikiran Renjana sebentar, lalu membawanya pergi dari kehampaan.
“Kalau begitu, ikut aku, ya. Kita pulang.” Renjana tersenyum kecil, ia memandangi wajah Baskara dan berkata, “Iya, aku mau pulang.” “Ayo, Renjana. Sebentar lagi matahari tenggelam. Setelah sampai, kita bisa makan ke warung soto favoritmu. Atau kamu mau ke angkringan di dekat lampu merah? Makanan di sana selalu membuatmu bahagia.” “Aku ingin pulang sendiri, Bas. Tujuanku bukan Jakarta dan tidak pula ikut denganmu.”
Cerpen Karangan: Wafiqoh Maulidia Blog / Facebook: Wafiqoh Maulidia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com