Aku terbaring lemas di ranjang. Menatap langit langit kamar. Pintu dan jendela kamarku dikunci rapat. Udara hanya masuk lewat ventilasi kecil. Mataku sayu, lelah, berat, tapi tidak bisa tidur. Suhu tubuhku panas, rasanya seperti dipanggang. Menelan ludah rasanya seperti menelan duri, sakit sekali rasanya. Rasa menyesal selalu ada di pikiranku. Andai waktu itu aku dengar nasihat Ibu.
“Hana, makanan sudah ibu taro di depan pintu ya. Makan yang banyak agar cepat sehat!” Teriak Ibu di depan kamar. Ibu tidak boleh masuk ke kamarku untuk menaruh makanan dan menyuapiku seperti dulu. Sebenarnya, Ibu tak masalah jika ia masuk dan menyuapi, ia akan tetap berjaga jarak denganku, Tapi aku melarang keras. Keadaan ini sangat berbahaya, Aku tak ingin Ibu sepertiku. “Iya bu,” Jawabku pelan, namun aku tetap berbaring di ranjang. Malas mengambil.
Aku bosan. Kuambil ponselku yang berada di meja dan menyalakannya. “1.000 kasus dalam sehari? I-ini naik sekali dari hari sebelumnya!” ucapku dalam hati ketika melihat kasus virus Corona di Indonesia sudah naik drastis. Aku sedih, takut, panik bercampur pusing tiba tiba. Apakah aku kena virus mematikan itu?
Daripada keadaanku semakin menjadi, aku memutuskan untuk makan siang. Kubuka sedikit pintu kamarku dan cepat-cepat mengambil. “Bebek goreng!” kataku senang. Ibu memasakkan makanan kesukaanku. Tiba-tiba rasa semangatku meningkat. Aku melahapnya. Bebek goreng buatan ibu memang lezat sekali. Aku yakin, aku bisa sehat kembali.
Namun, 2 hari kemudian, keadaanku semakin parah. Malamnya setelah hari itu, Aku semakin lemas. Semangatku hilang. Tidak ada lagi. Muncul gejala baru di tubuhku. Sesak nafas dan kehilangan indra perasa. Makanan seenak apapun itu yang Ibu buat tidak ada apa-apanya lagi sekarang. Hambar semua.
Akhirnya ibu memanggil petugas kesehatan untuk mengecek tubuhku. Yang kubisa hanyalah berdoa pada Tuhan, semoga apapun itu hasilnya, aku bisa sehat dan normal kembali.
Positif. Itu hasilnya. Petugas kesehatan menyuruhku isolasi di rumah sakit karena keadaanku sudah buruk. Itu artinya aku harus meninggalkan ibu di rumah. Ibu tersenyum padaku Sebelum aku naik ke mobil. “Ibu menunggumu sehat!” bisiknya pelan. Aku mengangguk. Aku pasti sehat. Pasti.
Sesampainya disana aku ditujukan ke sebuah kamar. Kecil, namun itu lebih dari cukup. Ada sebuah ranjang, jendela dan laci meja kecil. Kutaruh koper berisi baju dan barangku di pojok, lalu berbaring di atas ranjang. Badanku masih pusing sekali. Ingin tidur sebentar.
Keesokan hari dan seterusnya aku mulai menjalani aktivitas di sana. Awalnya ku biasa saja. Minum obat, makan, tidur seperti biasa. Tapi 1 minggu kemudian aku baru merasa kesepian. Aku kangen Ibu. Semalaman aku menangis. ingin sembuh, ingin peluk Ibu, ingin pulang ke rumah. Rasanya menderita sekali. Mataku bengkak akibat menangis.
Esoknya, Aku mencoba pergi ke taman di rumah sakit. Semua pasien covid boleh berjalan jalan, menghirup udara segar, senam, olahraga dan lain lain disana. Tamannya cukup luas dan hijau. Ada beberapa pasien sedang mengobrol dengan pasien lainnya, ada yang sedang berlari pagi, ada juga yang sedang meneliti bunga-bunga disana. Terdengar aneh, tapi mau bagaimana lagi. Daripada mereka terkurung di kamar. Ku mencoba duduk di salah 1 kursi taman, lalu mendengarkan musik dari earphoneku.
“Hm, hai! Boleh kenalan?” seseorang menepuk bahuku dengan pelan. Aku tersentak kaget, lalu melepas earphoneku. Seorang gadis. “Eh, maaf. Aku sedikit kaget,” Jawabku. Ia mengangguk lalu tertawa, “Zanira Thalia Wulandari, Panggil saja Zanira. kamu?” “Hana,” balasku pendek. Aku mempersilahkan dia duduk.
Gadis yang bernama Zanira itu tampak seumuran denganku. Kulitnya sawo matang, matanya hitam, memakai kerudung ungu. Entah mengapa wajahnya sedikit bercahaya. Mungkin karena sinar matahari atau mungkin hanya perasaanku saja. “Kamu dari kamar mana?” Zanira memulai percakapan. “252,” Jawabku sambil menunjukan lantai kamarku. Dia ber-oh pelan. Zanira berada di kamar 344. Cukup jauh dari kamarku. “Kenapa bisa disini?” tanya Zanira. Pertanyaan itu membuatku bingung. Tapi akhirnya ku mengerti. Kuceritakan awal mula ku kena penyakit ganas tersebut sampai ku berada di rumah sakit ini.
“Lain kali kau harus dengar nasihat ibumu ya!” Ujarnya. Aku mengangguk. Ya memang saat itu aku sedang bandel. Ngeyel. Tidak mematuhi perkataan Ibu dan sekarang aku menyesal. “Ini semua karena Ayahku. Ayahku yang tidak taat prokes, suka berkeliaran di tengah wabah seperti ini dan membawa virus kepada keluarganya. Kata Ayahku virus itu hanya bualan pemerintah dan tidak seberbahaya kelihatannya. Tapi akhirnya, Ayahku dinyatakan terkena covid-19, Awalnya ayahku tidak mau diperiksa, dibawa ke rumah sakit, apapun tidak mau karena ia tak percaya virus itu. Ia pikir ia hanya demam biasa. Namun, kondisi Ayah semakin buruk, Om ku membawanya segera ke rumah sakit. Tapi terlambat. Ayahku meninggal karena sesak nafas yang parah saat di perjalanan,” Zanira bercerita dengan wajah sedih. “Maaf zanira. A-aku tak tahu akan hal itu,” Aku merasa bersalah padanya karena membuat ia bercerita dan teringat lagi. “Tak apa Hana. Bukan salahmu kok!” Jawabnya tenang.
Akhirnya aku dan Zanira mengobrol lebih dalam dan tidak membicarakan hal-hal sedih. Kami mengobrol tentang hobi, sekolah kami, sampai makanan kesukaan! “Aku suka opor ayam, apalagi buatan Nenekku,” Ujar Zanira. Aku mengangguk. Aku juga suka opor ayam. “Ngomong-ngomong soal makananan, sekarang sudah jam makan siang. Aku harus kembali ke kamarku, dadah!” Zanira beranjak dari kursi taman dan melambaikan tangan padaku. “Besok pagi kita bertemu lagi ya, jam 7!” Pintaku padanya, aku ingin mengajak dia jalan jalan keliling taman sambil senam bersama, Kedengarannya seru! “Oke siap bos,” Jawab Zanira. Kami berdua pun tertawa. Ku kembali ke kamar dengan riang. Yes, aku punya teman disini!
Esok paginya, Zanira datang lebih awal dariku. Ia tampak menunggu di bawah pohon sambil berteduh. Aku segera berlari ke arahnya. “Maaf, aku bangun kesiangan!” Ucapku. Zanira menggeleng dan tersenyum seolah mengatakan ‘tidak apa apa!’ Aku dan Zanira berkeliling taman sambil berlari kecil dan mengobrol. Jika lelah kami duduk di salah satu kursi taman.
“Hana,” “ya?” “Ehm, jika kita sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit, apakah kita tetap akan berteman?” Aku bingung dengan pertanyaan itu. “Tentu Za! Kita bisa saling berkontak lewat ponsel, atau mungkin bisa bertemu langsung,” Zanira menatap ke arah langit, lalu tersenyum. “Kau benar juga. Baiklah!” “Tapi, kita harus berjuang sama-sama ya untuk keluar dari rumah sakit ini dan bebas dari virus. Janji?” Kataku padanya. Zanira mengangguk mantap, lalu berkata lantang. “Janji!” Kami pun tersenyum.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu datang kepada kami. “Neng, ayo ikut senam bareng. Sini sini, masih kosong nih,” Ajaknya ramah. Zanira menatapku seperti memberi kode. Aku mengangguk. Ayo temani ibu-ibu ini senam, sekalian menyehatkan badan. Aku senang disini, tapi ku tetap rindu semua berjalan dengan normal. Aku rindu rumah dan kamarku. Juga ibu.
2 bulan kemudian… Tatapanku kosong, melihat ke tanah. Sunyi, sepi, rasanya bercampur aduk. Kejadian 2 bulan lalu, tepatnya hari Jumat pagi masih terbayang di pikiranku. Teman baikku yang kebetulan kami bertemu di taman, tepatnya taman rumah sakit. Mengobrol, bercanda, tertawa bersama. Rasanya masih tidak menyangka. Karena kami sama sama berjanji untuk berjuang dan keluar dari rumah sakit bersama sama. Namun, virus itu memilih untuk berkembang lebih ganas di tubuhmu. Takdir berkata lain. Tapi, Mengapa secepat ini?
“Nak, ayo pulang. Sudah mau hujan,” Ibu membuyarkan lamunanku. Hm, baiklah. Sebelum ku pergi, kutaburkan bunga perpisahan dan memeluk rumah barunya. Aku berjanji, setiap 2 bulan sekali ku akan mengunjungi rumah barumu. Aku akan bercerita semua hal padamu, hihihi. Walau ku tak tahu kau mendengarnya atau tidak disana.
Zanira Thalia Wulandari bin xx, Lahir: 12 Januari 200x, Wafat: 8 Juli 2020 Sampai jumpa, Zanira!
Cerpen Karangan: Khalawa Imana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com