Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB, di mana Anya dan teman-temannya mulai berhamburan keluar kelas. Yups, Anya merupakan siswi SMA Nusantara yang memakai sistem fullday school. Seperti biasa, di depan gerbang sekolah sudah ada Rendi, kakak kelasnya yang setia mengantar-jemput Anya sekolah. Jika kalian berpikir bahwa Rendi adalah pacar Anya, jawabannya adalah salah. Rendi adalah sahabat baik Anya sejak kecil, karena memang rumah mereka bersebelahan.
“Ren, mampir makan dulu ya, laper gue.” Kata Anya sembari menaiki motor Rendi. “Kemana?” “Sate ayam Pak Cip enak kayanya.” Balas Anya setengah berteriak, karena motor Rendi sudah bergabung dengan kendaraan lain di jalanan Ibukota.
Selama di perjalanan, Rendi dan Anya tidak banyak berbicara, tidak seperti biasanya. Anya juga tidak menyadarinya karena terlalu lelah dengan kegiatan di sekolah ditambah perut yang berteriak minta diisi.
Sesampainya di tempat makan, Anya langsung memilih tempat duduk, sedangkan Rendi memesan makanan. “Kenapa lu? Kusut banget tuh muka. Habis diputusin Rizka apa gimana?” tanya Anya saat Rendi sudah duduk tepat di hadapannya. Rendi menggeleng, kemudian berkata, “Gue yang mutusin.” Anya tidak dapat menutupi kekagetannya, karena Anya sangat tahu kalau Rendi itu bucin parah terhadap Rizka. “Dihh yang bener? Nggak percaya gue.” “Nggak percaya yaudah.” Jawab Rendi. Hari ini, Rendi memang sedikit berbeda dari biasanya.
Pesanan mereka datang setelah menunggu sekitar 15 menit. Mereka makan dengan santai, tidak terburu-buru. Sesekali diselingi dengan obrolan ringan. Lebih tepatnya Anya yang berbicara, karena Rendi hanya menjawab dengan singkat, anggukan, dan gelengan kepala. “Ren, lu kenapa sih? Aneh gue liatin lu yang banyak diemnya gini, biasanya juga ngata-ngatain gue lu.” Tanya Anya serius menatap Rendi, sedangkan objek yang diajak berbicara malah fokus bermain game. “yesss, menang. Pulang yuk, udah menang gue, udah selesai kan lu makannya?” bukannya menjawab pertanyaan Anya, Rendi malah menjawab hal yang tidak nyambung.
Pagi ini masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Setelah berpamitan dengan Ibu dan Bapak, Anya menunggu Rendi di depan rumah. Sudah sekitar 10 menit Anya menunggu, namun Rendi belum juga muncul. Jam juga sudah menunjukkan pukul 7 kurang 15 menit. Akhirnya, Anya memutuskan untuk berangkat ke sekolah sendiri dengan menggunakan motor matic kesayangannya. Sesampainya di tempat parkir, Anya tidak melihat motor Rendi di deretan tempat parkir khusus anak kelas XII. Anya juga tidak ambil pusing, mungkin saja Rendi telat bangun.
Sudah 5 hari Rendi tidak menampakkan batang hidungnya sejak mereka makan sate ayam Pak Cip. Hari ini, Anya berencana untuk datang ke rumah Rendi. Anya merasa ada yang aneh. Kalaupun sakit, biasanya Tante Rita menitipkan surat izin ke Anya. “Assalamu’alaikum.” Sepi. Itulah kata pertama yang ada di benak Anya. Mobil keluarga Rendi juga tidak ada. Tirai jendela juga tertutup. “Mungkin ke rumah neneknya kali ya?” Tanya Anya pada dirinya sendiri sembari berjalan pulang ke rumah.
Di depan rumah Anya bertemu dengan Ibunya yang sedang menyiram bunga dan tanaman hias lainnya. “Bu, tante Rita sama keluarganya ke mana? Kok rumahnya sepi banget, Rendi juga nggak masuk sekolah.” Tanya Anya penasaran. “Ibu juga nggak tahu. Tapi waktu itu malem-malem mereka keluar pake mobil, terus nggak kelihatan sampai sekarang.” Jawab Ibu Anya. Anya hanya ber-oh ria, kemudian mengambil alih selang untuk menyiram tanaman.
Waktu berlalu sangat cepat. Baru kemarin Anya merasakan hari libur, sekarang Anya harus memulai rutinitasnya kembali sebagai seorang murid. Sama seperti hari-hari kemarin, Anya berangkat sendiri menggunakan motor kesayangannya. Sesampainya di sekolah, ia tak sengaja mendengar percakapan kakak kelasnya mengenai Rendi.
“Sorry Kak, gue Anya temennya Rendi. Tadi Kakak bilang mau iuran buat jenguk Rendi ya? Kalau boleh tahu, emang Rendi kenapa ya Kak?” tanya Anya. “Rendi masuk rumah sakit, baru kemarin juga sih kita tahunya.” Balas Chika, yang merupakan teman sekelas Rendi. “Sakit apa ya Kak?” “Kita juga belum tahu sih, nanti baru mau jenguk” “Ohh gitu ya, sorry nih Kak, kalau boleh tahu Rendi dirawat di rumah sakit mana ya?” “Rumah sakit Medika Insan.” Setelah mengucapkan terima kasih, Anya kemudian masuk kelas. Mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Rendi. Namun nihil, tidak ada balasan, bahkan saat ia telfon, nomornya tidak aktif.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Anya yang hendak menjenguk Rendi pun sampai harus berlari menuju tempat parkir. Sebelum ke rumah sakit, Anya menyempatkan untuk membeli beberapa buah sebagai oleh-oleh.
Sesampainya di rumah sakit, Anya bertanya ke receptionist. Anya terlihat tergesa-gesa dan ingin segera bertemu Rendi. Setelah berada di ruang Cempaka, Anya langsung bertatapan dengan Tante Rita. Tergambar dengan jelas raut kekhawatiran itu. Anya berlari menghampiri Tante Rita dan Om Bondan. Tak lupa ia mencium tangan mereka dan memberikan buah yang ia bawa.
“Rendi kenapa Tante? Maaf Anya baru datang, Anya beneran nggak tahu kalau Rendi sakit.” “Sakitnya semakin parah Anya, jantung Rendi lemah.” Jawab Tante Rita dengan suara bergetar.
Tak lama setelah itu, pintu ruangan Rendi terbuka, memperlihatkan Rendi yang masih menutup mata dengan segala alat medis yang menempel di badannya. Anya tak kuat melihat kondisi Rendi, Anya tak bisa menahan kesedihannya, air matanya lolos begitu saja. “Rendi… mau dibawa ke bawa Om?” Tanya Anya pada Om Bondan karena Tante Rita sudah terisak. “ICU.” Jawab Om Bondan lirih.
Anya terduduk, lemas, air matanya semakin deras. Anya sungguh tidak menyangka dengan keadaan Rendi. Anya pikir Rendi baik-baik saja. Rendi sama sekali tidak pernah menceritakan penyakitnya. Rendi selalu terlihat ceria dan konyol saat bersama Anya, keluarga, dan teman-temannya. Rendi yang selalu mendebat perkataannya hingga berakhir Anya yang marah-marah, Rendi yang selalu mengantarkan Anya kemanapun, Rendi yang selalu mengambil jajanan Anya, dan masih banyak ‘Rendi yang selalu’ lainnya kini terbaring tak berdaya.
Orangtua Rendi dan Anya mengikuti sampai depan ruang ICU, namun baru sekitar 20 menit dokter berada di dalam, dokter tersebut keluar dengan raut wajah yang jujur Anya tidak suka melihatnya. “Mohon maaf Bapak dan Ibu, Rendi sudah berhenti berjuang, dia kembali ke Yang Maha Kuasa.”
Di sinilah mereka pada akhirnya, di tempat peristirahatan terakhir Rendi. Banyak pelayat yang mengantarkan Rendi pulang ke rumah abadinya. Dan kini hanya tersisa Anya seorang diri di pusara Rendi. Menangis sejadi-jadinya. Anya sangat menyesal tidak menemani Rendi disaat-saat terakhirnya.
“Terima kasih Ren udah selalu ada buat gue, sekarang lu udah nggak sakit lagi. Bahagia selalu Rendi.”
Cerpen Karangan: Nur Endah Dwi Apriyani Blog / Facebook: Nur EndAh Halo, nama saya Nur Endah Dwi Apriyani. Biasa dipanggil Endah. Sya berusia 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com