Mentari mulai menunjukan sinar indahnya, dimana orang-orang akan memulai aktivitasnya. Hari baru semangat baru, itulah kata kebanyakan orang. Dunia akan semakin indah apabila jika ditemani seorang sahabat yang selalu ada. Viana, dia adalah gadis berparas cantik dari keluarga yang serba berkecukupan. Viana dan Arini sudah bersahabat sejak kecil, dari mereka belum sekolah sampai saat ini.
Pagi itu di rumah mewah keluarga Viana dan kegembiraan di dalamnya. “Pagi mah, pah.” Sapa Viana. “Pagi cantik.” Jawab papahnya sambil memberi senyum. “Emm… jadi cuma kakak doang nih yang dipanggil cantik, Keyla enggak nih.” Ledek adik Viana pada papahnya. “Udah-udah, ayo makan dulu.” Tegur Ibu Viana.
Hangatnya suasana keluargalah yang membuat Viana selalu tenang. “Mah, Via mau jalan-jalan bentar yah.” Ucapnya pada mamahnya. “Nak, ingat loh kata dokter. Kamu itu gak boleh kecapean.” Mamah Viana sangat mengkhaeatirkan kesehatan Viana. “Via bosen mah, pengen nyari angin. Cuma sebentar kok mah.” Ucap Viana. “Gak papa mah, biar Keyla aja yang nemenin kakak. Sekalian jagain kakak, mamah jangan khawatir pasti aman kok sama Keyla.” Sambung Keyla. “Yaudah, tetep hati-hati lo yah.” Tegur mamahnya pada mereka berdua.
Merekapun jalan menuju taman yang tak jauh dari rumah. Tanpa diduga mereka bertemu dengan seseorang. “Loh Via, lo udah sembuh?” Tanya Arini. “Kak Via udah sembuh kok Kak Rin.” Jawab Keyla tersenyum. Via hanya tersenyum memandang wajah sahabatnya itu. “Tapi bener kan Vi, lo udah sembuh.” Arini seolah tak yakin dengan jawaban Keyla tadi. “Iya Rin, gue udah enggak papa tenang aja. Duduk dulu yuk.” Jawab Viana mencoba mengalihkan perhatian. “Ya udah ayo.” Jawab Arini. “Kak, kan udah ada Kak Rin nih, aku pulang aja yah. Kan kakan udah ada yang nemenin.” Ucap Keyla. “Ya udah gak papa pulang aja sono.” “Kak Rin, Key titip kakak yah. Jagain loh awas sampe lecet.” “Udah pasti dijaga kok, tenang aja Key.”
Setelah Keyla pulang, merekapun duduk sambil melanjutkan obrolan. Saat itu keadaan Viana sedang buruk, wajahnya terlihat pucat. “Vi, lo gak papa. Kok wajahmu keliatan pucat banget.” Arini sangat menghawatirkan keadaan sahabatnya. “Gue gak papa kok, tenang aja kali.” Viana berusa baik-baik saja di depan Arini. “Emang kemaren lo sakit apa sih, kok gue gak dikasih tau.” Tanya Arini penasaran. “Cuma demam doang kok. O iya, gimana sama beasiswa lo. Jadinya berangkat kapan nih?” Viana berusaha menutupinya dengan mengalihkan pembicaraan. “Nah, itu yang pengen gue omongin dari kemarin. Minggu depan gue udah berangkat.” Jawab Arini. “Yah, udah mau pisah aja nih, tapi gak papa deh kalo buat masa depan sahabat gue.” Viana meledek sahabatnya. “Masa depan lo juga lah, ya kali lo disini gak kuliah.” Jawab Arini. “Maaf Rin, gue udah bohong. Gue cuma gak pengen nantinya lo malah gak nerusin kuliah.” Ucap Viana dalam hati. “Eh kok bengong sih, mending sekarang kita pulang yuk. Nanti gue malah dimarahin sama adek lo.” Tegur Arini. “Heheh… ya uda ayok.”
Satu minggu telah berlalu, hari ini Arini berangkat ke London. Siang hari Arini sudah ada di bandara. “Via dateng gak yah.” Gumam Arini gelisah. Dirumah, Viana dan mamahnya sudah bersiap untuk menemui Arini di bandara. “Mah, mamah gak usah ngomong ke ke Arin ya mah. Soal sakit yang diderita Via, aku gak mau kalo nanti Arin malah gak fokus sama kuliahnya.” Ucap Via memohon. “Kalo itu memang yang terbaik menurut kamu yak gak papa mamah ngikut aja, tapi kamu harus ingat lambat laun Arin pasti bakal tau.” Dengan wajah pasrah mamah mengikuti kemauwan Via. Viana hanya terdiam merenungi nasibnya. “Ya Tuhan, apakah kau masih memberiku umur panjang. Apakah aku masih bisa bertemu sahabatku tahun depan, bagaimana kalau aku sudah tiada?” Ucap Viana dalam hati.
Di bandara Viana tak bisa menahan air matanya, dia tak sanggup berkata-kata lagi. Hatinya seperti tak ikhlas karna perpisahan ini, namun dia juga ingin melihat sahabatnya meraih impiannya. Hanya sekedar kata perpisahan yang bisa Viana ucapkan. Arini sudah pergi, namun air mata Viana tak kunjung berhanti.
Satu tahun setelah perpisahan, Viana menyibukan diri dengan membuat novel tentang kehidupannya. Sayangnya kondisinya semakin memburuk, dia jatuh pingsan di kamarnya. “Kak, ka… kakak bangun. Mah, pah… kakak pingsan.” Teriak Keyla. Ya Tuhan, kakakmu kenapa nak?” Mamah panik dan takut akan hal yang akan terjadi. “Kita bawa ke rumah sakit aja mah.” Ucap papah yang langsung menggendong Viana.
Meraka langsung menuju rumah sakit, Viana yang belum sadarkan diri langsung dibawa ke ruang ICU. Setelah dokter melakukan pemeriksaan, mereka terkejut mendengar pernyataan dari dokter. Viana harus segera mendapatkan pendonor ginjal yang cocok dengannya agar dia bisa bertahan hidup. Mamah tak kuasa menahan air mata, papah berusaha terlihat tegar untuk tetap menenangkan mamah. Sedangkan Keyla terlihat bingung memegang hpnya. “Udahlah pokoknya sekarang aku harus telfon Kak Rin, Kak Rin harus tau kondisi kakak sekarang.” Gumam Keyla.
“Halo Kak Rin.” Ucap Keyla membuka percakapan. “Iya Key, ada apa?” Arini terkejut mendengar suara Keyla yang tersedu-sedu. “Itu kak, aa… anu.” Keyla seperti tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Ada apa Key, ngomong yang jelas dulu dong. Ada apa? Jangan buat orang bingung kayak gini deh.” Potong Arini panik. “Kakak masuk rumah sakit, kata dokter kakak harus segera mendapat donor ginjal yang cocok biar kakak bisa tetap hidup.” Keyla tak tahan menahan air mata saat menjelaskan kepada Arini. “Apah… kok bisa sih Key, emang apa yang sebenarnya terjadi?” Arini sangat terkejut mendengar kabar dadi adik sahabatnya itu. “A… anu kak, panjang ceritanya aku gak bisa jelasin sekarang.” Keyla bingung harus memulai dari mana. Arini langsung mematikan telfonnya dan mengemas barang-barangnya. “Gue harus pulang sekarang, gie harus tau keadaan Via dan gue bakal cari tau apa yang sebenarnya terjadi.” Beruntungnya Arini, dia langsung mendapat tiket pulang ke Indonesia saat itu juga.
Sesampainya Arini di Indonesia, Arini langsung mengendarai mobil untuk menuju ke rumah sakit. Hal tak terduga pun terjadi. Karena kegugupan Arini, dia mengalami kecelakaan tunggal. Warga sekitar langsung menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Secara kebetulan, ternyata Arini dibawa ke rumah sakit dimana Viana dirawat. “Loh, itu kok mirip banget sama Kak Rin. Tapi gak mungkin lah, masa Kak Rin gak ngabarin kalo mau pulang.” Keyla ragu akan hal yang dia lihat barusan. “Jangan-jangan bener itu Kak Rin, mending aku cek dulu aja lah.” Keyla sangat penasaran. Benar saja, ternya itu Arini sahabat dari kakaknya. Tak berselang lama Arini sadar, Keyla yang sudah ada di sampingya langsung memegang tangan Arini. “Sukurlah, Kak Rin sudah sadar.” Keyla merasa lega. “Key, bagaimana keadaan Viana apakah dia sudah membaik. Kenapa tidak ada yang memberitahuku sejak awal?” Tanya Arini geram. Keyla hanya diam dan memberika laptop milik kakaknya.
“Ini milik kakakku, dan Kak Via menulis novel impiannya disini. Sayangnya novelnya belum selesai, disini kakak akan menjawab pertanyaan kakak. Kalo gitu aku tinggal dulu kak.” Keyla beranjak pergi dari ruangan Arini. Saat Arini membacanya, air mata tak tertahankan. Arini tak menyangka akan perjuangan sahabatnya itu, betapa pedulinga Viana ke Arini.
Malam pun tiba, Kakak Arini datang. “Kamu pulang kok gak ngabarin kakak dulu sih, kan jadi gini malah.” Tegurnya dengan lerasaan khawatir. “Kak, boleh gak kalo aku bantuin Via untuk yang terakhir kalinya.” ucap Arini. “Lah, kan biasanya kalian juga saling bantu kok. Sekarang kenapa malah kamu minta izin dulu sama kakak.” Arini lalu membisiki kakaknya. “Kamu serius mau ngelakuin hal ini.” Tanya kakak Arini ragu. “Gak papa kak, lagian kan selama ini kita sering dibantu sama keluarga Viana. Bahkan Viana sampai mengorbankan kesehatannya loh kak, biarin aja kak aku bisa mbantu Via buat yang terakhir kalinya.” Tegas Arini menahan air mata.
Pagi harinya Viana dapat membuka matanya, walaupun masih dalam keadaan yang sangat lemah. “Key, apa Arin datang?” Tanya Via seolah dia tau. “Kak Arin kecelakaan kak dan ada di rumah sakit ini.” Keyla takut untuk membohongi kakaknya. “Aku pengen jenguk Arin.” Viana bersikeras ingin menjenguk sahabatnya tanpa melihat kondisinya. “Gak usah Vi, aku di sini kok.” Arini datang dengan kakaknya yang mensorong kursi rodanya. Viana merasa lega masih bisa melihat wajah sahabatnya itu, walaupun dalam keadaan yang tidak tepat. Setelah berbincang-bincang banyak hal, Arini kembali ke ruangannya karena merasakan sakit yang sangat hebat di kepalanya. Arini menahan sakitnya saat ada di dekat sahabatnya itu. Viana yang tak tahu akan keadaan Arini hanya tersenyum bahagia bisa kembali bercanda tawa dengan sahabatnya. “Hah, semoga saja kita bisa main bareng lagi Rin.” Gumam Viana lirih. “Kak, ayo kakak harus bersiap untuk operasi.” Tegur Keyla. Keyla tak berani banyak bicara dihadapan kakaknya. “Bagaimana kalau kakak tau siapa si pendonor itu, bagaimana reaksi kakak nantinya?” Keyla tak bisa mengatakan sepatah katapun.
Setelah beberapa jam penantian, akhirnya operasi Viana selesai dan berjalan dengan lancar. Di hari berikutnya, mamah Viana tak sengaja membaca selembar surat dan tak kuasa menahan air mata. “Mah… mamamh.” Viana memanggil-manggil mamahnya. “Iya ada apa nak.” Jawab mamahnya. “Aku pengen ketemu sama si pendonornya mah, aku pengen ngomong makasih langsung ke dia.” Pinta Keyla. Rasanya sulit untuk mengeluarkan sepatah katapun dari mulut mamah Viana, matanya mulai berkaca-kaca. “Mah, kok malah bengong sih. Ayo mah aku pengen ketemu.” Paksa Viana pada mamahnya. “Nak, kamu masih harus istirahat, besok kalo kamu udah bener-bener pulih mamah ajak kamu ke si pendonor ginjalnya.” Walaupun mata sudah berkaca-kaca namun mamah tetap berusaha untuk tenang.
Dua hari kemudian Via sudah berada di rumah. Dia sedang memberesi baju dari tasnya. “Akhirnya bisa pulang juga.” Ucap Viana lega. Saat sedang mengeluarkan baju daro tasnya Viana menemukan lipatan kertas putih. “Loh, apa ini.” Kertas itu sangat membuat Viana penasaran. “Vi, makasih lo udah banyak mbantuin keluarga gue. Maaf ya Vi, gue gak bisa ngasih apa-apa buat lo. Setelah lo baca surat ini, pastinya lo udah bisa ngelanjutin novel, gue juga udah baca loh novel buatan lo. Kita memang udah gak bisa ketemu lagi Vi, tapi lo harus percaya gue akan selalu ada. Dan sekarang gue adalah bagian dari hidup lo.” Begitulah isi dari surat yang ditemukan Viana. Viana paham akan maksud dari surat tersebut hanya saja dia tak percaya. “Mah, mamah harus antar aku ke tempat Arin sekarang mah.” Tegas Viana. “Kamu yakin nak.” Ucap mamah.
Mamah mengajak Viana ke suatu pemakaman, Viana mulai berkaca-kaca. Air matanya menetes tak henti ketika mereka berhenti di depan sebuah makam. “Ini cuma mimpi kan? Lo gak mungkin pergi kan Rin.” Ucapnya dalam hati. Viana masih tak percaya dalam kondisi yang tidak baik, itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sahabat baiknya.
Lambat laun Viana mulai terbiasa dengan keadaan ini. “Toh juga apapun yang terjadi itu sudah menjadi ketentuan Tuhan.” Gumamnya lirih. Dan akhirnya hal yang tak pernah terpikirkan, Arini adalah kisah akhir dari sebuah novel karya Viana.
Cerpen Karangan: Iva Anggraini Blog / Facebook: Iva Anggraini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com