Dirgantara melangkah keluar, tepat setelah pintu kereta terbuka dan penumpang dipersilakan turun. Matanya menelisik sekitar, membaca papan penunjuk sekilas sebelum melanjutkan langkah. Kakinya lambat menuruni anak tangga yang membawanya keluar area stasiun. Pemandangan asing menyambutnya dengan puluhan teknologi maju ibukota.
“Ojek mas?” Seorang bapak-bapak paruh baya menawarkan jasa miliknya. Aroma parfum menyengat merebak dari jaket lusuhnya. Warna hijaunya mulai luntur termakan waktu. Mungkin bapak itu sudah menawarkan jasa ojeknya lebih dari sepuluh tahun. Dirgantara menggeleng lemah. “Engga pak.” Jawabannya segera membuat bapak itu menjauh. Dari sudut matanya, Dirgantara masih bisa mendapati bapak itu menawarkan jasa ojeknya. Mengabaikan hal itu, Dirgantara meraih ponsel dari saku celananya. Sebuah nomor kembali ia masukkan setelah sekian lama.
Ini bukan pertama kalinya Dirgantara mengunjungi ibukota. Sepuluh tahun lalu, ia pernah datang ke sini. Memang waktu yang cukup untuk menumbuhkan jajaran gedung di seberangnya. Sepuluh tahun lalu, di depan sana hanya hamparan tanah kosong dengan hiasan belukar. Waktu terlalu baik, membiarkan tanah kosong itu kembali hidup. Berganti menjadi puluhan gedung yang lantainya terlampau banyak untuk dihitung dengan jari.
“Halo?” “Dirga!” Dirgantara yakin suara itu tidak berasal dari teleponnya yang terhubung. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang gadis melambaikan tangan ke arahnya. Senyumnya merekah sempurna dengan deretan gigi mungil rapi. Dirgantara mematikan ponselnya. Ia segera menghampiri gadis bernama Nirmala itu.
“Maaf, udah nunggu lama, ya?” Gadis itu memberinya tatapan bersalah yang tidak perlu. Dirgantara baru sampai, hanya saja tatapannya sudah menerawang lebih jauh. Ia tidak banyak bicara di depan gadis bernama Nirmala itu. Dirgantara tahu, Nirmala jauh lebih cerewet daripada dirinya. “Yuk! Keburu telat.”
Nirmala segera mengawali langkah menuju mobil miliknya. Sebuah SUV terparkir tidak jauh dari tempat mereka bertemu. “Kenapa engga parkir di dalem?” Pertanyaan Dirgantara dijawab dengan gelengan cepat oleh gadis itu. Baru saja Dirgantara berasumsi sepuluh tahun merubah Nirmala, ternyata cepat dibantah gadis itu. “Sayang uang parkirnya.” Nirmala duduk di kursi kemudi, memutar kunci pada lubangnya kemudian berangkat. “Kamu tamunya, biar aku yang bawa mobil.” Suara melengking khas seorang Nirmala mengingatkannya pada momen kebersamaan mereka. Gadis itu adalah sosok periang diantara persahabatan mereka. “Aku juga engga ada niatan buat bawa mobil sekarang. Capek.” Dirgantara membuang wajah keluar setelah tidak nyaman dengan tatapan tajam Nirmala. Kemacetan ibu kota adalah hal baru untuk pemuda itu. Menarik diri dari kehidupan luar dan memilih tinggal di pedalaman, tapi masih desa, membuatnya tidak banyak mengikuti perubahan.
Dirgantara hanya mengenakan jeans dan sepatu lusuhnya. Sol sepatunya bahkan masih membawa lumpur tipis dari tempatnya tinggal. Tidak ada satupun barang mewah melekat pada tubuhnya. Dirgantara benar-benar bukan Dirgantara. Pemuda itu dikenal sebagai sosok yang hedon, tapi satu kejadian membuatnya harus meninggalkan itu semua.
Tidak, Dirgantara masih orang yang terbilang cukup mampu membeli barang mewah. Hanya saja, Dirgantara tidak lagi membutuhkan itu semua. Semua yang pernah menjadi bagian dari dirinya harus ia hapuskan. Setiap barang yang pernah ia kenakan menyimpan bayangan masa lalu. Alasannya, Dirgantara terus dihantui memori masa lalu jika barang-barang itu masih ada di dekatnya.
Sudah setengah jam perjalan sejak meninggalkan stasiun pusat. Dan sejak itu juga, langit perlahan diselimuti awan abu-abu yang menghalangi cahaya matahari. Dirgantara cemas, apakah ia mampu melihat senja kalau seperti ini? Dan bagaimana dengan tujuannya kemari kalau mendung pun menjadi alasan tertundanya pertemuan itu.
Dirgantara menghela napas berat ketika satu persatu tetes air hujan mengenai kaca depan mobil Nirmala. Gadis itu segera menarik tuas whisper mobil, memberinya sedikit pandangan jalan. Hujan bertambah deras memasuki pertengahan hari. Nirmala tidak bisa mengandalkan pengelihatannya kalau kabut semakin mengurangi jarak pandang. Mereka berhenti di minimarket terdekat, berharap hujan segera reda.
“Biar aku belikan kopi buat kamu.” Nirmala hendak keluar, tapi tangan Dirgantara mencegah gadis itu turun. Nirmala mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti kenapa pemuda itu menolak minuman yang Nirmala tahu, Dirgantara menyukainya. “Kamu engga biasanya nolak kopi.” “Aku engga minum kopi lagi. Belikan air putih aja.” Nirmala mengangguk, menembus hujan secepat kilat sebelum kuyup. Di depan mesin pendingin, gadis itu menatap refleksi tubuhnya sendiri. Sepuluh tahun hidup di pedalaman mungkin memberi Dirgantara banyak hal baru. Tidak mengherankan kalau pemuda itu mulai menolak kafein untuk tubuhnya.
Tangannya meraih sebotol teh kesukaannya, disusul pesanan Dirgantara di tangan lainnya. “Punyamu.” Dirgantara memberinya ucapan terima kasih. Raut wajah Dirgantara memberinya petunjuk kalau pemuda itu menyimpan banyak beban. Sama seperti dirinya, tapi sebisa mungkin Nirmala menyembunyikan itu semua. Ini sepuluh tahun yang mereka nantikan, tidak mungkin ia menyambutnya dengan murung. “Kalau kamu engga siap, kenapa dateng?”
Dirgantara menghabiskan botol minuman ukuran sedang dengan sekali tarikan napas. “Siap engga siap, aku harus dateng, Nirmala. Dia pasti udah banyak berubah, dan aku yakin dia masih berharap kita dateng. Bukannya itu juga yang kamu mau, Nirmala?” Dirgantara meraih laci penyimpanan mobil. Sebuah figura menampilkan foto mereka bertiga. “Aku engga akan ngebuang foto itu, karena cuma itu satu-satunya kenangan yang bisa aku abadikan.” Nirmala menjelaskan itu pada Dirgantara. Tangan mungil Nirmala meraih figura itu, kembali memasukkannya ke dalam laci. Sebuah usapan lembut pada tangan Dirgantara ia berikan. “Sampai sekarang, aku masih engga tau kenapa harus nunggu selama itu buat ketemu dia lagi.” “Dia pasti punya alasannya tersendiri. Mungkin dia engga mau kita tau sebelum waktu yang dia tentukan. Apa kamu pernah berusaha buat nyari dia?” Dirgantara menoleh. Nirmala memberikan gelengan lambat. Gadis itu dekat dengan orang yang mereka cari. Jarak Nirmala bahkan bisa membuat mereka bertemu, setidaknya setiap bulan. “Sedeket apapun kita, kita engga boleh berusaha nyari. Bahkan kesempatan buat ketemu secara kebetulan itu engga pernah terjadi sekalipun. Aku rasa dia punya sesuatu yang bener-bener engga mau kita ketahui, Dirga.” Nirmala kembali mengulang kalimat Dirgantara. Mereka mungkin bersahabat, tapi rahasia sepuluh tahun biarlah waktu yang membukanya.
Hujan tidak menunjukkan tanda akan reda setelah satu jam mobil terparkir di minimarket. Suhu semakin menurun ketika Nirmala sadar, kemudian mematikan pendingin freon. Langit semakin gelap, sama gelapnya dengan keadaan mobil sekarang. Satu-satunya penerangan mereka sekarang berasal dari lampu interior. Sedikit menghangatkan.
“Bahkan manusia seharusnya sudah melakukan banyak hal kalau seperti ini. Apalagi di balik kaca gelap mobil, dan hanya kita berdua.” Kalimat itu membuat Dirgantara meneguk ludahnya. Gadis di sampingnya mulai mengusap-usap lengannya sendiri. Dirgantara tidak membawa banyak pakaian, ia segera menanggalkan jaket miliknya. Lembut, Dirgantara membiarkan jaket itu memeluk Nirmala.
Nirmala mengukir senyum diantara sadar dan tidaknya sekarang. Menjelang akhir tahun, bumi memasuki musim penghujan di negara mereka. Sialnya, hidup di tengah-tengah modernisasi malah meminimkan pakaian yang biasa dikenakan. Nirmala, gadis itu hanya mengenakan kaos tipis, selaras dengan jeans pendek di atas lutut.
“Aku terlalu polos untuk itu.” Dirgantara melontarkan candaan, tapi intonasinya terlalu datar. Sangat datar, membuat Nirmala mendengus. Ia bukan sosok yang humoris. Orang yang mengenal Dirgantara hanya sebatas pemuda sombong. Mereka tidak mengenalnya cukup jauh. Dirgantara hangat dengan pembuktian jaketnya untuk Nirmala.
Benar-benar senyap sekarang. Nirmala hangat dalam tidurnya, sementara Dirgantara sibuk memainkan ponselnya. Dua digit angka, mendekati waktu senja membuatnya terlonjak. Tinggal dua jam lagi sebelum senja. Dirgantara tidak bisa berbuat banyak selain berharap hujan segera reda. Dalam keheningan yang memuncak, Dirgantara merapatkan jemari tangannya di depan dada.
“Tuhan berikan aku kehidupan sepuluh tahun untuk menepati janjiku. Sekarang aku memohon teramat sangat, tunjukan mukjizatmu untuk menepatiku janjiku. Janjiku tidak sekedar bertemu denganmu, tapi lebih dari itu. Aku mohon, Tuhan, buat aku bertemu dengannya.” Sayup kalimat-kalimat itu masuk menembus gendang telinga Nirmala. Ia menggeliat lambat, tidak mau menginterupsi Dirgantara yang berdialog dengan Tuhan. Matanya mengerjap berkali-kali, memastikan kalau itu benar-benar terjadi. Hujan reda. Cahaya matahari mulai menembus awan abu-abu yang perlahan memisahkan diri.
“Tuhan berikan kita kesempatan. Hujannya reda, Dirga.” Nirmala menghidupkan mobilnya dan dengan cepat meninggalkan minimarket. Jarak mereka semakin dekat. Seharusnya, waktu yang mereka miliki cukup untuk sampai ke tujuan.
Angin lembut mengajak nyiur menari gemulai. Suara deburan ombak menabrak karang hampir meninabobokan mereka. Nirmala menghentikan mobilnya di ujung jalan terdekat menuju pantai. Sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir putih dan lautan luas di depan mereka. Satu pemandangan yang tidak lagi Dirgantara nikmati selama hidup di pedalaman.
“Apa dia masih tinggal di sini?” Pertanyaan retoris Dirgantara jelas memancing amarah Nirmala. Mereka berdua tidak tahu menahu tentang hal itu bukan? Sepuluh tahun tidak bertemu, tidak saling mencari, tidak berusaha menghubungi, bagaimana bisa Nirmala menjawab pertanyaan Dirgantara? “Baiknya kita langsung ke rumahnya sebelum gelap.”
Mereka menyusuri hamparan pantai pasir putih. Sesekali kepiting yang takut terinjak berhamburan masuk ke liang-liang rumah mereka. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah gubukan kecil berdiri di tepian tebing-tebing yang menerobos masuk garis antara daratan dan lautan.
“Halo? Apa ada orang di dalam?” Nirmala menahan tawanya mengucapkan kalimat itu. Ia yakin, temannya itu ada di dalam dan berpura-pura tidak tahu. Cukup lama mereka menunggu sampai seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Hal itu membuat mereka terlonjak, tidak mungkin mereka salah gubukan karena hanya ini satu-satunya yang ada di pantai. “Masuklah dulu, biar nenek ceritakan di dalam!” Mereka mengamati bagian dalam gubukan itu. Tidak banyak hal berubah. Mereka masih bisa menemukan foto yang sama seperti di dalam mobil Nirmala. Pada dasarnya, mereka memiliki foto itu. Hanya saja, sudut gubukan itu mulai dipenuhi sarang laba-laba.
“Sandyakala cuma menitipkan ini.” Nenek itu memberikan sepucuk kertas usang dengan tulisan yang mulai memudar. Nirmala menyipitkan matanya, berusaha membaca isi surat yang mereka yakin adalah tulisan tangan Sandyakala. Nama gadis yang mereka cari adalah Sandyakala, teman mereka yang membuat janji sepuluh tahun ini.
Teruntuk Dirgantara dan Nirmala Maaf membuat kalian menuliskan banyak pertanyaan, mengumpulkan banyak asumsi, mengurangi waktu tidur kalian, membuat sepuluh tahun kalian terasa lama dan benar-benar menjadi sebuah penantian. Aku meminta maaf tidak bisa memberitahukan semuanya pada kalian. Seorang Sandyakala adalah sosok yang tidak bisa berterus terang bukan? Aku tidak sepertimu, Nirmala, tidak bisa menceritakan banyak hal dengan beragam ekspresi. Tidak juga sama sepertimu, Dirgantara, yang tidak peduli pada banyak hal. Sandyakala hanyalah sosok pendamping dalam cerita utama kehidupan kalian. Aku tidak ingin mengubah alur yang dituliskan Tuhan terhadapku.
Dalam surat ini, aku ingin kalian mengetahui semuanya. Aku ingin kalian tahu tentang penyakit yang aku idap sejak lama. Dan ketika dokter berperan sebagai Tuhan, memvonis hidupku tidak akan lama, aku mulai menulis surat ini. Kalau surat ini sampai pada kalian, yakinlah aku sudah tidak bisa tertawa, tidak lagi menahan sakit, tidak lagi menunggu untuk bertemu kalian. Karena Sandyakala ada bersama kalian. Berdampingan dengan kalian dari dunia yang lain. Aku abadi sekarang.
Sekali lagi aku meminta maaf pada kalian. Sepuluh tahun yang aku harap berakhir dengan kalian melupakanku mungkin gagal. Aku tidak tahu, tapi aku berharap apapun yang terjadi, kalian menemukan surat ini atau tidak, hiduplah sebagaimana seharusnya. Hiduplah seakan-akan nama Sandyakala hanya terbesit dalam ingatan tanpa tahu siapa sosok Sandyakala itu. Aku tidak ingin kalian hidup membawa namaku yang pada akhirnya dituliskan dalam kalender hari dimana aku meninggal.
Namaku Sandyakala yang berarti cahaya merah saat senja. Kalian bisa terus menatapku saat senja. Aku akan memeluk kalian saat itu, saat langit menghipnotis manusia dengan keindahannya. Kalian bisa memelukku juga, jauh lebih dekat denganku kalau saja berdiri di atas bukit. Temukan aku di sana, peluk aku, lepaskan semua amarah kalian karena harus menunggu sepulu tahun lamanya.
Dituliskan oleh Sandyakala
Kalimat terakhir dalam surat membuat mereka tidak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk. Nirmala terisak, memeluk Dirgantara yang berpura-pura tegar padahal sama rapuhnya. Sandyakala, temannya itu meninggalkan mereka. Benar-benar meninggalkan mereka dalam keadaan dimana penantian yang mereka pikir berakhir bahagia, malah berkebalikan.
“Sandyakala ada di atas bukit, temuilah dia sebelum gelap.”
Perintah itu segera mereka penuhi. Mereka naik ke bukit dimana Sandyakala beristirahat dengan tenang. Hanya tumpukan batu menjadi nisan peristirahatan terakhir Sandyakala. Di sekelilingnya, tumbuh subur pohon bunga kamboja. Angin yang tiba-tiba berhembus membawa keharuman bunga itu.
“Aku tidak akan pernah memaafkan kebohonganmu, Sandyakala. Kamu membuat sepuluh tahunku sia-sia. Bukan kejutan seperti ini yang aku harapkan.” Dirgantara marah pada seseorang yang tidur di dalam makam ini.
“Aku juga tidak akan memaafkanmu, Sandyakala. Kebohonganmu hampir memaksaku bertemu denganmu. Aku akan melompat dari sini kalau saja bukan bersama Dirgantara sebagai permintaan terakhirmu.” Nirmala bangkit setelah mengusap nisan Sandyakala. Ia memeluk erat Dirgantara. Satu harapan terakhir Sandyakala adalah ia ingin melihat Nirmala hidup bersama Dirgantara.
“Aku akan memilikimu lebih dari sekedar janjimu pada Sandyakala.” Nirmala mengangguk dalam pelukan Dirgantara. Tugas Sandyakala sudah selesai. Sandyakala abadi dalam kehidupan keduanya.
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com