6 Januari 2015 Sudah seminggu semenjak kejadian itu, rasanya sepi dan sunyi. Sesekali dilihatnya kembali foto itu, terukir segaris senyuman di bibirnya. “Dasar bodoh, tch kenapa aku menangis” isaknya yang mulai meremuk foto itu. penyesalan yang menyelimutinya kini menjadi kesedihan berkepanjangan. “kenapa waktu itu kita bertemu” lirihnya yang berusaha untuk tersenyum.
27 Desember Tiya Andira remaja berusia 16 tahun yang kesehariannya dihabiskan di rumah sampai “Cobalah untuk keluar sayang, carilah ruang lingkup baru agar kau tidak murung” saran sang Ibu yang membuatnya berfikir berkali-kali. “Tapi Ibu, di luar sana Aku tidak memiliki teman” jawab Tiya murung. “Kita semua tidak akan saling mengenal jika tidak saling bertemu” ucap sang Ibu sembari mengelus kepala Tiya, “Cobalah keluar saat-saat seperti ini, jalanan akan ramai dengan orang-orang. Mana tahu kau bisa menemukan teman yang sesuai dengan dirimu” saran Ibunya sambil tersenyum. “Baik akan aku coba” jawabnya yakin, Ia bergegas bersiap menggunakan jaket dan rok panjang berwarna coklat tua.
Selama di jalan Ia benar-benar sendirian, Ia bahkan tak tahu mau kemana. Setiap Ia mencoba mendekati kerumunan orang-orang, Ia merasa tidak nyaman. “Ah aku seperti orang gila” ucapnya sambil memakan roti yang Ia beli di toko.
“Haii, apa aku boleh duduk disini?” tanya seorang gadis berbaju putih dengan bawahan rok hitam. “Duduklah tidak ada orang disana” jelas Tiya padanya, “Terimakasih” jawab gadis itu. Batin Tiya mengatakan Ia anak baik, tapi Tiya tak punya cukup keberanian untuk memulai pembicaraan jadi dia hanya diam.
“Kamu disini bareng siapa? kamu ada teman?” tanya gadis itu secara tiba-tiba, itu jelas membuat Tiya gugup. “Eh, ehe aku sendirian. Aku kesini sendirian karena ga punya teman” jelas Tiya sambil menyengir tersipu malu. “Kamu ga ada temen? kita temenan mulai sekarang ya! Kenalin Aku Dita Zahra Ayu, panggil aja Dita” ucap gadis itu “Dan umurku 16 tahun, aku dari luar kota ini. Aku kesini karena ada keperluan dengan seseorang bareng keluargaku” jelasnya panjang pada Tiya. “Eh ah hm, kita temenan? kamu mau jadi teman aku?” tanya Tiya yang masih canggung. “Aku serius, dan sekarang siapa namamu?” tanya Dita pada Tiya, “Namaku Tiya Andira, panggil aja Tiya. Kita sepantaran ya hehe” perkenalan Tiya pada Dita. “Baik mulai sekarang kita berteman” ucap Dita dengan wajah ceria.
Di hari itu entah mengapa terasa lebih berwarna dari hari biasanya bagi Tiya, mereka pergi bermain, melihat ikan di kolam, melihat air mancur bahkan berfoto bersama. Sampai malam mulai tiba “Sudah jam 8, aku harus kembali. Kita bisa bermain besok lagi ya Tiya” jelas Dita sambil melihat arlojinya, “Ah tak apa, sampai bertemu besok” jawab Tiya dengan senyuman. Mereka berpisah di perempatan jalan sambil melambai, dapat dilihat Tiya teman barunya itu yang sudah mulai menjauh. “Dia anak baik, dia juga cantik, dia anak yang ceria. Aku beruntung bertemu dengannya, aku harus jadi anak yang baik juga” ucapnya pada diri sendiri sambil berjalan menuju rumah.
Sesampainya di rumah “Assalamu’alaikum, Ibu aku pulang” ucapnya ketika masuk rumah. “Wa’alaikumussalam, wah kau pulang cukup malam, pergi dengan siapa?” tanya Ibunya. “A-aku bertemu dengan seorang gadis di taman tadi, dia teman baruku namanya Dita. Ibu tahu dia sangat baik mengajakku berteman” jelas Tiya sambil tersenyum menunduk kebawah, Ibunya yang melihat putrinya seperti itu juga ikut bahagia “Baguslah kalau kamu akhirnya tidak kesepian lagi, sekarang pergilah mandi ganti pakaianmu dan cepat turun untuk makan malam” pinta Ibunya. “Siap Bu” jawab Tiya sambil berlari menuju kamar mandi.
Malam sebelum Ia tidur, Tiya memandang Fotonya dengan teman barunya. Ia merasa tak percaya bahwa akhirnya Ia mendapatkan teman. “Ini seperti mimpi, aku harap kami bisa berteman lama” ucapnya yang kemudian langsung tertidur.
28 Desember Keesokan harinya, “Wah ini rumahmu?” tanya Tiya takjub. “Iya, ayo masuk, Ibuku sudah memasak makanan untuk kita” ucap Dita seraya menarik tangan Tiya masuk ke rumahnya.
Di dalam rumah Dita sangatlah luas, ruangan dan barang-barang disana tertata rapi dan bersih. “Ini Nak Tiya ya? Kamu teman barunya Dita kan. Terimakasih ya Nak sudah mau berteman dengan Dita” ucap Ibu Dita pada Tiya. Sekilas di dengar Tiya terasa aneh perkataan Ibu temannya itu, tapi Ia tak ingin menaruh prasangka buruk. “Ayo sini mari makan” ajak Ibu Dita pada mereka.
Di meja makan, makanan sudah terhidang banyak makan serta ada beberapa pelayan. “Ayo dimakan sebelum dingin” pinta Ibu Dita, “Iya Ma, kami akan makan” jawab Dita. “Tiya kamu mau makan apa? Biar aku bantu ambilkan” tanya Dita, tapi sungguh makanan benar-benar banyak Tiya bingung karena Ia biasa makan secukupnya dan Ibunya tak membiasakan masak berlebih. “Aku pakai Ikan goreng saja, sama sambal asam manis itu” jawab Tiya kemudian, “Itu saja?” tanya Dita yang lalu meletakkan juga udang goreng dan juga ayam suir pedas di piring Tiya. “Kamu harus makan yang banyak supaya gak sakit, kalau kamu sakit pasti orangtuamu akan sedih” penjelasan Dita membuat seisi ruang tamu hening beberapa saat. “Nah iya nak makan saja tidak apa” ucap ibunya memecah keheningan.
Selama makan mereka banyak membicarakan keadaan dan juga hal lain. Mereka terlihat ceria, namun beberapa keadaan membuat Tiya menaruh tanda tanya pada keluarga ini. “Kenapa perkataan Dita tadi seperti mengarahkan pada sesuatu” batinnya sembari melihat Dita.
Selesai makan mereka ke kamar Dita dan ya seperti yang sudah diduga Tiya, kamar Dita 3 kali ukuran kamarnya. “Saranku kita main di rumah aja, keliatannya sebentar lagi akan turun hujan” ucap Tiya, “Ide yang bagus, aku harap kamu ga bosen disini” jawab Dita sambil tertawa.
Dita menuju lemari besar yang ada di kamarnya, memeriksa untuk mengambil sesuatu di dalamnya. Sambil menunggu Tiya melihat-lihat barang-barang milik temannya itu, sangat bagus dan cantik terbesit pula di hatinya ingin memiliki tapi Ia sadar keluarganya tak mengajarkannya memiliki semua apa yang Ia inginkan karena itu pemborosan. Sampai Ia melihat kotak yang penuh dengan obat-obatan “Dita ini obat apa? Kenapa banyak sekali, kamu sakit? Tanya Tiya pada Dita. Sontak itu membuat Dita kaget dan buru-buru menyimpan kotak itu “Ah bukan apa-apa ini obat lama milik nenekku” jawabnya sedikit kaku, “Oh iya ini aku ada baju buat kamu sepertinya akan cocok, aku berpikir kita bisa melihat kembang api bersama ketika tahun baru nanti dengan menggunakan pakaian yang selaras. Aku punya 2 baju seperti ini dan yang ini belum pernah Aku pakai” ucap Dita seraya memberikan gamis bertingkat berwarna hitam lengkap dengan kerudung berwarna abu-abu pada Tiya. “Ini sangat bagus, kau yakin memberikannya padaku?” tanya Tiya, “Kamu itu teman aku satu-satunya disini, anggap aja ini ucapan terimakasih dari aku karena kamu mau jadi temanku serta kenangan dariku” jawab Dita sambil tersenyum. Tanpa sadar Tiya menangis “Aku tidak tahu kenapa, tapi ini menyakitkan rasanya. Aku merasa aneh kenapa kamu bilang begitu seolah kita akan berpisah” isak Tiya. “Aku ga bakal pergi kemana-mana, kalau nanti aku balik ke kota asalku kita masih bisa bertukar kabar melalui ponsel, tapi selagi keluargaku disini aku tak akan meninggalkanmu” jelas Dita pada Tiya.
Sepanjang hari mereka bermain di kamar Dita, kamar yang nyaman dan juga lengkap dengan barang-barang yang ga buat bosen. Mereka banyak berfoto dengan baju-baju yang dimiliki Dita.
Sudah 3 jam mereka di kamar, mereka menonton film sangat lama. Drrrtt… “Ah sebentar telfonku berbunyi” ucap Tiya. Ia lalu mengangkat panggilan ponsel itu “Tiya ayo cepat pulang, Ibu harus pergi saat ini tolong jaga adik di rumah karena Ia sedang tidur” jelas Ibu Tiya melalui telfon tersebut. “Iya bu, aku akan pulang” jawabnya di iringi dengan penutupan panggilan dari ibunya.
“Aku harus pulang Ibuku akan pergi dan tidak ada yang menjaga rumah serta adikku” ucap Tiya pada Dita. “Hmm oke, kapan-kapan kita bisa nonton lagi masih banyak waktu” jawab Dita. “Sampai jumpa besok” lambai Dita pada Tiya yang sudah di depan gerbang rumahnya.
Malam harinya Ia tak banyak berbicara di rumah, Ibunya sudah pulang dan setelah makan malam Ia bergegas ke kamarnya. Ia duduk di atas tempat tidur sesekali melihat langit malam melalui jendela kamarnya. “Aku seperti akan kehilangan, aku tidak mau berfikiran buruk tapi ini terasa akan terjadi” ucapnya pada diri sendiri. “Andai aku bukan anak pemurung seperti ini pasti aku bisa lebih baik.”
Cerpen Karangan: Winny Stefanie Tentang Penulis Winny Stefanie. Perempuan kelahiran 15 maret 2005 ini tinggal di kota Medan, Sumatera Utara dan bersekolah di SMAN 14 MEDAN. Hobi menulis yang ia tekuni membuatnya memberanikan diri untuk mengikuti lomba cerpen ini, dengan judul 72 Jam. Bercita-cita menjadi seorang penulis.Akun instagramnya @wnystfny
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com