29 Desember Di hari selanjutnya melalui telefon mereka merencanakan akan pergi ke Toko Buku terdekat di kota. kali ini Tiya yang akan memandu Dita, mengingat kota ini masih cukup asing bagi teman barunya itu. Ia bangun pukul 04:00 WIB, lalu mandi dan Sholat Subuh. Setelahnya Tiya membereskan beberapa pekerjaan rumah yang mampu Ia kerjakan seperti menyapu, mengepel dan mencuci piring. Hari-hari seperti biasa hanya saja kali ini Ia menunggu dengan harap yang besar untuk teman barunya itu. Setelah semuanya selesai Ia duduk dan sarapan, tepat pukul 09:20 WIB Ia berpamitan dengan Ibunya dan segera pergi ke rumah Dita.
Di perjalanan menuju ke sana Tiya tak henti-hentinya membayangkan mereka akan membeli buku baru, Ia juga berfikir akan mengajak temannya itu membeli beberapa komik favoritnya. Sesampainya di depan gerbang ding dong… Tiya memencet bel rumah Dita, akan tetapi tidak ada respon dari orang rumah “Apa mereka sedang pergi?, kenapa Dita tidak memberi tahuku” gumam Tiya dalam hati. Ditekan terus bel rumah itu sampai 3 kali, dan setelah beberapa saat salah seorang pelayan rumah datang “Maaf Adik ini mencari siapa?” Tanya pelayan itu, “Anoo maaf Bu, apa Dita ada di rumah?” tanya Tiya “Oh non Dita tadi mendadak pergi bareng Ibu dan Bapak, Dik” jawab pelayanan itu. Tiya berfikir pergi kemana sampai tidak sempat memberi kabar. “Ibu tau perginya kemana?” tanya Tiya, “Wah kalau itu Saya kurang tau Dik, Tuan dan Nyonya cuma bilang jaga rumah. Tadi Saya juga kelamaan ke sini karena ketiduran maaf ya Dik” jelas pelayanan itu sambil tersenyum, “Oh ga apa bu, maaf ganggu ya bu. Saya permisi dulu, titip salam sama Dita ya Bu” ucap Tiya yang berpamitan dan langsung berbalik arah dan pulang.
Di perjalanan pulang Ia membayangkan apa yang terjadi dengan temannya itu, lalu Ia teringat akan obat-obatan yang Ia lihat di kamar Dita, “Apa itu obatnya? banyak sekali… apa dia sakit, tapi sakit apa?” Pertanyaan yang muncul di benaknya kian bertambah.
Tiya duduk di Taman Kota dekat air mancur, disana cukup ramai mengingat akhir tahun juga sudah hitungan hari. Biasanya Ia akan pusing jika duduk dikala ramai orang, tapi kali ini Ia tak fokus akan sekelilingnya sampai “kak, kakak kok melamun disini” tanya seorang anak kecil padanya, “Eh astaghfirullah, maaf Dek, Kakak ga liat” jawab Tiya spontan. “Kamu kesini bareng siapa?” Tanya Tiya, “Aku bareng Mama, Papa Kak mau beli kembang api untuk acara Tahun Baru” jawab anak kecil itu, “Hati-hati ya disini ramai banget nanti kamu nyasar” ucap Tiya pada gadis kecil itu, “Oke kak, anuu kakak ga ngucapin Selamat Natal sama Aku?” Tanya gadis itu polos, Tita tersenyum tipis dan menjawab “Dalam agama kakak itu dilarang Dek, ini bukan berarti kami tidak menghormati kalian. Agama kakak kasih pembatas untuk hal yang berhubungan dengan kepercayaan. Nanti kamu juga bakal paham, yang pasti kamu jangan lupa bahagia ya. Pasti kamu pernah merasa sedih akan sesuatu yang kamu ga tau kenapa” jelas Tiya pada gadis kecil itu, “Ohh iya kak Mama juga pernah bilang. Iya kak waktu aku sekolah pernah temanku tiba-tiba jauhin aku padahal kan kak yang buat tempat bekal dia pecah bukan aku” cerita gadis kecil itu, “Wah kamu pasti sedih waktu itu ya, teman itu datang seperti musim akan ada saatnya Ia datang dan pergi. Tapi teman paling baik itu dari kamu sendiri jadi tetap semangat ya” ucap Tiya seraya memberikan kincir angin kertas yang Ia dapat ketika awal masuk Taman. Mereka bercerita sampai orangtua gadis kecil itu datang, gadis itu lalu berpamitan dengan Tiya dan melambaikan tangan seraya pergi dengan kedua orangtuanya.
Menjelang siang Tiya pulang, Ia mengingat kata-kata yang Ia lontarkan pada gadis kecil tadi “Teman itu seperti musim, akan ada saatnya Ia datang dan pergi”. “Aku tak pernah memiliki teman dekat, mereka menganggap aku aneh. Aku juga tak tahu kenapa, tapi kenapa sekalinya dapat aku merasa akan kesepian kembali” ucapnya sambil berjalan menuju rumah. Sesampainya di rumah, semua hal Ia lakukan layaknya hari-hari biasa. Hingga menjelang malam tak ada kabar dari Dita, Ia memutuskan untuk tidur.
30 Desember Hari ini seharusnya menjadi hari yang baik, Ia mencoba datang kembali ke rumah Dita dan didapatinya Dita sedang duduk di halaman depan rumahnya. Sesaat Tiya merasa senang akan tetapi Ia melihat temannya begitu pucat. Diputuskannya agar kembali ke rumah, namun kehadiran Tiya tak sengaja dilihat oleh Dita dan langsung memanggilnya “Tiya ayo sini, kita main bareng lagi” teriakan Dita membuat Tiya membalik badan dan langsung berlari menuju rumah temannya itu.
“Maaf ya Aku kemarin, ga kabarin kamu kalau mau pergi.” Jelas Dita, “Ah tidak apa, aku juga tidak apa-apa kemarin” jawab Tiya. “Kapan-kapan ajak aku ke Toko Buku yang kamu bilang itu. Oh ya kamu juga suka baca komik kan? Semalam sebelum pulang aku cari-cari komik yang kamu ceritakan sama papa aku” jelas Dita sambil mengeluarkan komik yang Ia bawa dari kamarnya. “Wah ini kan, sudah habis kenapa kamu masih kebagian stoknya” ucap Dita tak percaya. Ia bahagia, namun kebahagiaan itu seakan pecah ketika Ia melihat wajah temannya yang pucat “Dita, kamu sakit?” Tanya Tiya pelan, “Gak kok, Aku cuma kecapean doang” jawab Dita. Seakan jawaban itu menutup rasa penasaran Tiya yang kemudian memilih tak menanyakan hal itu lagi.
Hari itu menjadi hari terakhir mereka bermain bersama karena tidak akan ada yang tahu rencana Tuhan selanjutnya. Kebagian karena memiliki seseorang yang bisa diandalkan adalah salah satu hal berharga. Akan tetapi semua bentuk kebahagiaan pada hakikatnya adalah titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali demi melihat sejauh mana Ia bertahan.
31 Desember Mereka berdua sudah datang ke Pusat Kota tepat 30 menit untuk pertunjukan kembang api, dan tentu memakai pakaian yang sama yang pernah diberikan oleh Dita. Awalnya semua berjalan normal hingga 10 menit sebelum tahun baru “Aku ke kamar mandi dulu ya” ucap Tiya pada Dita, “Oke, jangan lama-lama” jawab Dita.
Cukup lama hingga 6 menit ketika suara letusan kembang api muncul terdengar pula suara tabrakan Truk diiringi oleh suara klakson mobil yang ramai. “Apa itu, dari mana asalnya?” tanya Dita dalam hati. Ia sadar bahwa Tiya tak kunjung datang, pikirnya sekalian menjemput Ia akan melihat kkeributan apa yang terjadi.
“Mundur Dik, ini kawasan yang sudah dibatasi oleh Polisi” Ucap seorang Polisi pada Dita. Dita berusaha melihat korban, sayup-sayup dari kejauhan terlihat olehnya wajah seseorang yang Ia kenal, senyum tipis terukir di wajahnya yang kemudian memejamkan matanya. “Tiyaaa!” pekik Dita histeris, Ia berusaha menerobos garis pembatas, tangisannya terdengar menyakitkan. Tak lama terdengar suara letusan kembang api yang bersahut-sahutan, tepat pukul 00:00. Dari jarak jauh Dita berteriak “Tiya bangun, itu… itu kembang apinya… hiks bangun” isaknya yang terasa sesak di dada.
Kejadian malam itu, bukanlah hal yang Dita inginkan. Kehilangan teman tepat dimana semua orang merasa bahagia. Tepat ketika di bawa kerumah sakit Tiya tak dapat bertahan lagi akibat kekurangan darah di area kepala akibat kecelakaan. Hal terakhir yang Ia berikan pada Dita adalah kenangan kurang lebih 72 jam yang berarti.
Cerpen Karangan: Winny Stefanie Tentang Penulis Winny Stefanie. Perempuan kelahiran 15 maret 2005 ini tinggal di kota Medan, Sumatera Utara dan bersekolah di SMAN 14 MEDAN. Hobi menulis yang ia tekuni membuatnya memberanikan diri untuk mengikuti lomba cerpen ini, dengan judul 72 Jam. Bercita-cita menjadi seorang penulis.Akun instagramnya @wnystfny
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com