Gumpalan kapas di langit seketika mengubah warna mereka. Jelas, ini bukan pertanda baik untukku dan semua yang pergi tanpa membawa pelindung. Meskipun demikian, aku masih beruntung karena aku sendiri berlindung di bawah atap dan langit-langit. Ditemani novel Ghost Dormitory In Busan, aku menunggu waktu anak-anak langit turun untuk mengharumkan tanah bumi dengan petrichor yang mereka hasilkan. Hm, menenangkan dan misterius, itulah yang terlintas pada benakku.
Sret… Plup! Tepat ketika aku hendak membuka halaman berikutnya, sesuatu terjatuh dari buku yang kupegang saat ini. Menurunkan sedikit untuk melihat lebih jelas, aku mendapati sebuah pas foto yang menampakkan seorang perempuan berambut panjang dengan pipi sedikit gembil. “Ah, fotonya Zee ya…,” ujarku lirih. Kuambil foto itu dan kuperhatikan lekat-lekat. Tanpa disadari, aku melengkungkan bibirku sedikit—tersenyum kecil—kala melihat detail wajahnya. Imut, batinku. Oh, bukan. Sepertinya aku berhasil mengembalikan sesuatu yang telah hilang selama ini.
“Sen,” celetuk seseorang, mengejutkanku dengan suara kursi yang ditarik. Sialan, di tengah cerita seru kau menggangguku? Kenapa tidak dari tadi? “Kenapa, Thur?” balasku pada “teman” yang baru saja memotong kegiatanku. Arthur namanya. Kulihat pula, dia membawa teman-temannya, Mario dan Adel. “Kamu kenapa, sih, mau berteman sama anak kayak Zevanya?” tanyanya, kemudian disambung oleh Mario, “Dia, kan, anak broken home. Udah gitu ditelantarin pula.”
Aku tertegun mendengarnya. Kenapa orang-orang ini menanyaiku tentang Zee dengan penilaian jahat seperti itu? Tak lama, Adel menyanggah dengan, “Maaf, nih. Bukannya kita ada maksud buat nyinggung kamu selaku temannya. Cuman… Masa kamu yang hidupnya jauh lebih baik dan punya kepribadian yang, well, ‘masih di atasnya Zevanya’ mau berteman sama dia?”
Tidak ada maksud menyinggung, katanya. Nice excuse, Miss. Aku benar-benar merasakan yang kamu sebut. “Sen, kita nggak tahu kamu suka dia atau nggak. Tapi kalau rumor anak-anak selama ini benar, kita mau ngingetin bahwa nggak ada salahnya cari orang yang fisiknya lebih oke dari dia dan kepribadiannya nggak mirip anak autis-”
“Cukup.” Aku benar-benar tidak tahan dengan kalimat mereka yang juga menyindirku hanya karena berteman dan menyukai sosok seperti Zee. “Terlepas latar belakang keluarganya seperti apa, rupa dan sifatnya bagaimana, aku tidak peduli. Selama dia tidak bermacam-macam dengan yang lain, aku menganggapnya anak baik-baik. Aku juga tidak peduli dengan rumor yang kalian buat. Kami saling suka, biarkan itu jadi urusan kami. Apa kontribusi kalian dalam hal itu? Dan terakhir, aku tidak pernah malu memiliki teman sepertinya. Atau, jika kami nanti berpacaran, aku bangga dan senang bisa mendapatkan cewek dengan hati bersih seperti Zevanya,” ceramahku panjang lebar.
Lalu, aku segera mengambil novel Glitter Of Diamonds milikku dan berjalan ke arah pintu, membukanya untuk bersiap pergi ke kelas Zevanya. Sebelum aku benar-benar pergi, kubuat diriku berbalik kanan dengan tangan kiri terlihat seperti meremat pintu bagian kiri agar tetap terbuka. “Hei,” panggilku, “Berbicara mengenai malu, malulah dengan kalian sendiri. Tidak selamanya sampul buku yang terlihat norak memiliki tulisan yang tidak menarik.”
Kudekatkan dahiku pada foto hingga ujungnya nyaris menyentuh kulitku. Aku tertawa pelan mengingat kejadian itu. Benar-benar. Dasar budak cinta. “Haduh… Seandainya kamu masih di sini, aku bisa menceritakannya padamu. Aku berani bertaruh kamu bakal tertawa,” ungkapku yang setelahnya dilanjutkan dengan ibu jariku mengusap foto itu perlahan dan mengusap tetesan air yang terjatuh dari pelupuk kiri dan kananku.
Lalu, aku menyelipkan secarik kertas ukuran 3×4 itu di tengah halaman dan berpindah ke halaman awal. Kulihat tulisan tangan yang nyaris mirip dengan mendiang nenekku, namun lebih kecil dan tidak semuanua ditulis dengan huruf kapital. Tulisan itu, meskipun beberapa hurufnya sedikit ternodai dengan tinta hitam, masih bisa terbaca olehku.
Teruntuk Nak Arsen, buku ini saya berikan pada kamu sebagai tanda terima kasih karena sudah menerima Zevanya sebagai bagian dari keluarga kamu dan hidupmu. Terima kasih pula karena sudah mengerti seluk-beluk anak saya lebih daripada saya sendiri maupun keluarganya sendiri. Maafkan saya karena waktu itu menuduh kamu. Jika kamu ingin menemui saya, saya selalu berziarah ke makam Zevanya. Saya harap, kita bisa bertemu di lain kesempatan.
Tertanda,
Hanifah Radhiyatul Ghaniy Ibu dari Zevanya Syahda Aninditta Memoria by Hyun Established January 4th, 2022
Cerpen Karangan: Hyun-seok Sim Hyun-seok Sim itu bukan nama dari lahir. Bukan pula nama Korea betul. Dibuat dari kebingungan karena mengunduh gim Queens of Idol, nama itu akhirnya digunakan sebagai nama pena dan gamertag saja.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com