Pagi-pagi buta aku berjalan sendirian menyusuri kediaman tempat terakhir ia berada. Aku tak tahu jadinya bila aku tak bertemu dengannya. Ia yang membuka mataku, membuatku melihat dunia dari perspektif miliknya.
Ingat aku saat pertama bertemu dengannya dahulu. Aku baru saja memasuki ruang asing penuh meja dan kursi. Ia menyapaku berulang kali meski aku tak sekalipun menoleh. Ia yang berambut pendek namun tetap saja diikat dengan poninya yang berantakan. Aku sudah berada di pojok ruangan asing duduk manis, ia masih saja mencoba menyapaku. Aku kalah, aku melirik mata coklat kehitamannya yang berbinar. Ia tersenyum, senyuman tertulus yang pernah kulihat. Ia tertawa melihatku begitu serius saat menatapnya. Aku mengalihkan pandangan sambil tertawa. Namanya Mae. Nama yang indah serasi dengan paras miliknya.
Hari tak terasa berubah menjadi minggu dan minggu berbuah jadi bulan. Kami selalu bersama, tak peduli suka maupun duka. Aku sangat bersyukur akan hal itu.
Pernah suatu saat kami pergi ke ruang terbuka penuh dengan tumbuhan aneka macam dan warna, Mae malah sibuk memperhatikan tumbuhan berkelopak warna merah tak berduri dengan tinggi tak sampai 2 meter. Aromanya harum dan sedikit manis, seperti cengkeh atau pala. Namanya bunga anyelir. Ia memetik setangkai dan memberikannya padaku.
Sampai pada suatu hari, Mae enggan berbicara padaku. Tudung jaketnya ia gunakan untuk menghindari diriku. Menatap mataku saja tidak. Seharian penuh aku berusaha berbicara padanya. Tak sekalipun ia membalas. Ia malah pindah tempat duduk ke sisi lain ruangan. Aku jengkel, kesalahan apa yang kumiliki sampai membuat dia kesal seperti itu.
Lima jam sudah berlalu dan Mae masih tidak bicara padaku. Tudung jaket yang menutupi kepalanya selalu ia kenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Lonceng tua akhirnya mulai menari merdu. Aku beranjak dari kursi yang sama saat ia pertama kali menyapaku dan bersiap untuk menghampirinya untuk terakhir kali. Bila ia memang tak mau bersamaku lagi, biarlah saja. Lagi pula, sebelum bertemu dengannya aku biasa menjalani hari-hariku sendirian.
Aku menutup mata dan menarik napas. Belum sempat aku menghembuskannya, ia sudah hilang sejauh mata memandang. Aku mencarinya kemana-mana. Dari lorong tempat kita sehari-hari makan bersama apabila lonceng sudah mulai menari sampai ruang berisikan buku dari berbagai jenis yang sangat ia sukai. Ia tidak ada dimanapun.
Aku memberanikan diri tuk bertanya pada seorang berseragam hitam. Ia hampir menjawab dimana Mae berada sebelum seseorang berpakaian hitam lainnya menghampiri kami dan menggelengkan kepala.
Bolos. Itu kata orang-orang berpakaian hitam. Seorang Mae yang terkenal akan kepintarannya dan kehadirannya yang sempurna, bolos? Sangat tidak masuk akal. Orang-orang itu jelas berbohong. Aku menatap mereka dengan curiga sampai lonceng berbunyi lagi. Pikiranku merambat kemana-mana dari kemungkinan yang terbaik sampai terburuk. Aku tidak bisa fokus pada pengajar yang sibuk menuliskan rumus di papan berwarna putih.
Lonceng berbunyi lagi, kali ini kami boleh keluar dan tidak perlu kembali lagi untuk hari ini. Aku menaiki tunggangan beroda empat warna merah menuju rumahnya. Rumahnya elok bertingkat dua dilapisi oleh cat kuning muda. Ini bukan pertama kali aku kemari, tetapi pertama kali aku kemari tak diundang.
Aku mengetuk pintu rumahnya. Sekali dua kali, tidak ada yang menjawab. Hingga pada ketukan ketiga, seorang perempuan tua dengan rambut pendek menjawab ketukanku. Aku mengenalnya, dan tampaknya ia juga begitu. Wajahnya pucat seperti sedang melihat hantu. Sejenak aku berpikir mungkin aku sudah tiada sehingga Mae tidak menghiraukanku dan para orang berpakaian hitam itu adalah orang berkemampuan. Namun aku segera membubarkan lamunan itu karena aku yakin aku belum tiada.
Perempuan itu mengalihkan pandangan dariku, seperti tahu aku kesini untuk apa. Apa Mae begitu membenciku hingga memberitahu semua orang? Perempuan itu menggigit bibirnya. Apa yang ia katakan tidak ada dalam kemungkinan terbaik maupun terburuk yang sempat aku pikirkan tadi. Aku merasa sehabis ditusuk. Wajahku memanas. Aku berlari keluar dari rumah Mae.
Tepat 10 menit kemudian, aku mendapati diriku berada di ruangan berbau obat-obatan. Di depanku terdapat pintu bertuliskan Mae Evakira. Mataku sudah panas dan basah oleh air mata. Aku mengetuk pintu dan tak menunggu seseorang untuk membukakan kali ini.
Mae terbaring pucat di tempat tidur. Kepalanya botak tak tersisakan rambut sehelai pun. Sekelilingnya dipenuhi oleh mesin yang membantunya bertahan. Kedua orangtua Mae duduk di sampingnya. Aku memegang tangannya yang dingin. Betapa bodohnya aku tak menyadari akan hal ini. Menuduh dan kesal pada Mae akan hal yang Mae tak pernah lakukan. Mae tersenyum padaku. Senyuman yang sama seperti dahulu, tulus.
Rintik hujan menyengatku kembali pada kenyataan. Aku menaruh bunga anyelir merah pada batu nisan Mae, sahabat pertama dan terakhirku. Aku tak bergeming sekalipun hujan turun semakin deras.
Cerpen Karangan: Dennise
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com