Keenan. Lelaki tinggi tak terlalu tegap yang akhirnya kutemui berdua dengan Elene hari ini. Pagi-pagi buta Elene membangunkanku, memilihkan bajuku dan bahkan memaksaku memakai sedikit riasan wajah. Huuft, andaikan saja aku punya kekuatan lebih untuk menentang semua keinginan Elene. Tetapi gerutuanku itu mendadak lenyap keawang-awang, ketika kulihat lelaki tampan ini didepanku. Kulitnya sawo matang, mata bulatnya seolah pas terpasang diwajahnya yang tegas dengan rahang kokoh dan gigi putihnya. Tidak ada lesung pipi, tetapi senyumnya tetap mampu melelehkan es yang beku. Haduh, apa-apaan sih aku.
Obrolan kami berjalan lancar tanpa hambatan, nyaris seperti berkendara di jalan tol. Tak susah menyesuaikan diri dengan candaan-candaan recehnya atau pemikiran-pemikiran absurdnya. Bayangkan saja, ditengah makan yang menggugah selera, Keenan tiba-tiba bertanya “apa itu cemilan?” Tentu saja aku dan Elene saling berpandangan dengan tatapan heran. “Cecudah celapan, cebelum cepuluh..” Oh My God, can you imagine that? Tetapi aku tertawa. Elene memandangku aneh. Ya tentu saja itu kelihatannya aneh untuk ditertawakan, but it’s funny, setidaknya untukku.
Pertemuan kami tentu saja ditutup dengan basa basi seperti ‘sampai jumpa lagi atau nice to meet you’. Ketika kudapati pesan Keenan tepat 15 menit setelah perpisahan tadi, aku tersenyum senang. Tanpa bertanya, Elene memandangku dan mengisyaratkan pengertian dengan kedua matanya. Oh iya, Elene masih bersedih.
“Ra, kayaknya gue ga bisa balik bareng lo. Lo balik sendiri ya?” Ucap Elene setelah dia selesai bercakap-cakap di ponselnya. Kutebak, itu sepertinya mamanya. “Lo mau kemana? Mau gue temenin?” “Ga usah, Ra.. Lo balik sendiri gapapa kan? Bilangin nyokap lo, gue ntar ke rumah lo lagi…” “ya udah, lo hati-hati yaa Len, kalo ada apa-apa, please kabarin gue…” “iyaa, Ra.. Lo orang pertama yang akan gue cari kok, tenang ajaaa. Gue duluan ya, byeeee”
Aku memandangi Langkah Elene yang menjauh menyeberangi jalan. Langkahnya terburu-buru. Ingin sekali kutemani dia, hanya saja aku tahu, kalau Elene bilang tidak usah ditemani maka dia sedang tidak ingin ditemani. Aku melanjutkan langkahku pulang dengan pelan. Banyak pikiran yang tiba-tiba menyusup dikepala. Di usia yang hampir mendekati kepala tiga seperti ini, banyak kekuatiran dan ketakutan yang harus di management dengan baik agar tetap waras. Kurasakan ponselku bergetar di saku jaket sebelah kananku. Ahh, mama ternyata.
“Ya ma?…. udah jalan pulang kok… engga sama Elene, Elene mendadak ada urusan, ma…. Iya ma, mama mau kemana?… Ya udah tungguin Rora ma, biar Rora temenin yaa.. Okee ma,” kututup ponselku. Mama minta ditemani ke pasar, bukan ke Pasar, belanja baju tepatnya. Tapi belanja baju memang ke pasar kan? Berarti bener.. mama minta ditemani ke Pasar. hehehehe
Sabtu lagi. Tepat seminggu setelah pertemuan pertamaku dengan Keenan. Seminggu ini ponselku nyaris tak pernah sepi. Pesan Keenan bertamu dengan manisnya setiap hari. Pagi hingga malam. Entah apa saja yang kami ceritakan. Senang? Tentu saja aku sangat senang sekali. Seperti pagi ini, aku terbangun dengan mata yang susah sekali terbuka lebar. Rasa ngantuk masih tak bisa kukalahkan. Dengan mata sipit karena silaunya cahaya matahari yang menembus masuk melalui jendela kamarku, aku berusaha melihat jam dindingku. Sudah pukul 9. Kepalaku lumayan berat. Kupaksakan bangun dan memeriksa ponselku. Ada banyak missed calls. Dari Keenan, tentu saja. Mama dan Mamanya Elene. Tumben Mama dan Mamanya Elene nelpon. Wait, bukannya mama lagi dibawah ya? Kok nelpon?
Mau tidak mau kupaksa badanku berdiri. Mataku sudah terbuka lebar 100%. Ada sedikit rasa panik yang menyergap -yang langsung kubunuh jauh-jauh-, mengingat mamanya Elene menelpon dipagi-pagi hari seperti ini. Mengingat Elene, aku juga sudah lama tak bertemu dengannya. Sabtu lalu adalah pertemuan terakhir kami. Dia juga mendadak cuti dari kantor dengan alasan urusan keluarga. Tak banyak kutaruh rasa curiga pada pesan-pesanku yang tak berbalas darinya. Kuanggap dia sedang ingin sendiri dan tak mau diganggu, seperti hari-hari sebelumnya.
Sesampaiku di ruang bawah, kulihat pintu rumah tertutup rapat. Kucari mama di dapur, kamar mandi, Gudang…, mama tak ada. ‘Mama kemana ya pagi-pagi begini?’ batinku dalam hati. Kuambil ponselku dan berniat menghubungi mama ketika ada nomor baru tiba-tiba menghubungiku. “Ya halo…”
—
Hidup memang selalu berjalan terbalik dengan apa yang diharapkan. Selalu penuh kejutan, selalu penuh warna. Hampir kulupakan jika warna hitam termasuk dalam perjalanan yang hidupku tawarkan. Tidak, hidupku tidak sesempurna itu memang. Namun hitam tak pernah benar-benar mengambil alih hingga hari ini datang. Aku menatap gundukan tanah merah didepanku tanpa ekspresi. Angin mengibaskan rambutku dengan kuat. Manusia-manusia berseliweran disekitarku. Dress code hari ini hitam. Bukan janjian, hanya memang intuisi masing-masing orang secara sadar mengenakan pakaian itu. Sama denganku. Aku juga mengenakan pakaian dengan warna yang sama: hitam.
Aku tak mengerti bagaimana aku memproses apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Aku bingung tanpa tahu harus bersikap apa. Menangis? Tentu saja sudah kulakukan. Mata sembabku jadi penanda. Aku hanya terdiam menatapi gundukan tanah merah itu. Kali ini gundukan tanah itu sudah ditaburi dengan bunga warna warni. Cantik…, namun cantiknya tak berguna untukku. Mataku beralih dari gundukan tanah ke nisan yang terpampang di ujung tanah kotak itu. Nama Elene tertulis disana. Dengan huruf besar, dengan nama lengkap seperti yang tertulis di KTP miliknya. REST IN PEACE. BEAUTIFUL SOUL ‘ZELENE EDELWEIS’
Elene memilih mengingkari banyak janji kami. Entah dia sudah bosan bertemu denganku atau bagaimana, dia memilih tidur di kotak dingin di bawah tanah itu. Padahal Sabtu lalu dia baru saja berjanji bahwa akan datang lagi ke rumahku. Namun Sabtu ini kudapati dia tak bersuara, tak tertawa, tak bernyawa.
Aku mendekap tubuhku dengan erat. Aku merasakan tubuhku terguncang dan airmataku mengalir turun dengan deras. Teringat laku dan canda tawa dengan Elene selama bertahun-tahun kami yang menyenangkan. Aku menggigil. Sudah kurasakan aku hampir jatuh sebelum dua tangan kokoh menopangku. Keenan. Entah sejak kapan dia hadir disana, aku sama sekali tak menyadari apa-apa.
Aku menatapnya. Dengan tatapan sedih dan sendu, dengan mata penuh tangis. Keenan balik menatapku. Tatapannya teduh, walau belum bisa menenangkanku sepenuhnya. Kurasakan aku ditariknya kedalam pelukannya dengan pelan. Kali ini aku menangis dengan bebas di dada bidangnya. Membasahi kemejanya yang entah berwarna apa, aku tak peduli. Tepukan pelan tangannya di pundakku, ataupun elusan tangannya di kepalaku, membuatku agak sedikit lebih tenang. Untuk beberapa menit, aku diam dalam pelukannya yang menyamankan.
Aku tahu bukan hanya aku yang hancur dan terluka. Lihat di ujung sana, mamanya Elene menangis dengan suara sangat keras. Didampingi mamaku yang juga sesegukan, dua Wanita ini sedang memproses kehilangan dengan cara mereka sendiri. Tak kulihat papanya Elene. Oh tentu saja dia tidak peduli. Siapakah Elene hingga dia turut menangis dan berduka? Aku memang terdengar sangat sarkas barusan. “Maaf, Len…” gumamku dalam hati.
Aku dibantu Keenan berdiri. Dengan setianya laki-laki ini ada disampingku. Walau tak se-luka aku, namun kuapresiasi hadirnya yang menemani dukaku. Dengan tatapan yang dalam, aku berpamitan pada Elene. Hari sudah sangat sore dan langit sudah mulai gelap. Sepertinya akan hujan sebentar lagi. Mengingat Elene yang akan kedinginan dibawah tanah itu, aku mulai menangis lagi. Keenan kembali menenangkanku, Mata kecilku kemudian beradu dengan mata sembab milik mamaku. Mama mengisyaratkan ‘ayo pulang’ dalam tatapnya. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku. Kulirik rumah Elene untuk kali terakhir “Sampai Jumpa, Elene…”
Epilog “Ya Halo…” “Ra… ini Elene…” “Hai, Len. Lo ganti nomor?” Aku tentu saja kaget mendapati Elene menelpon dengan nomor baru setelah seminggu menghilang begitu saja. “Lo lagi dimana?” tanyaku lagi setelah kudengar Elene hanya menghela napas tanpa menjawab pertanyaanku. “Ra.. gue pernah bilang kalo gue sayang banget sama lo?” Aku mengernyit dengan heran. Seingatku, Elene bukan tipe romantis atau menye-menye seperti ini. “Gue belom pernah bilang ya Ra? Gue sayang banget sama lo, Ra. Lo sahabat terbaik yang pernah gue punya….” Tunggu. Kenapa suara Elene terdengar pelan dan… terbata-bata. “Len, lo sakit? Lo lagi dimana? Lo di rumah? Gue samperin ya Len…” Aku mulai panik. Ada yang tak beres pada Elene. “Ga sempat, Ra.. Ga usah. Lo dengerin gue aja…” Aku terpaku. Mematung tanpa tahu harus berbuat apa. “Ra, gue beruntung banget punya lo. Gue tahu lo bakalan bantu gue, ngorbanin apapun juga buat gue. Dan gue makasih banget buat itu. Tapi belakangan gue banyak berpikir, Ra. Dan gue cape banget sama semua pikiran-pikiran gue. Gue rasa kali ini gue kalah, Ra. Gue minta maaf ga bisa nemenin lo lebih lama lagi…” “Lo ngomong apa sih, Len? Jangan bodoh deh lo. Lo dimana? Gue samperin lo sekarang juga..” “Ra, kalau di kehidupan selanjutnya kita ketemu lagi.. lo tetap mau jadi sahabat gue kan?” “Iya gue mau. Jangan ngadi-ngadi deh, Len. Lo ga akan kemana-mana. Gue on the way rumah lo sekarang…” Aku bergegas memakai jaket, meraih kunci motor dan membuka pintu. Jantungku sudah berpacu lebih kencang. Antara panik, takut, kuatir.. semua jadi satu. Dalam hati aku berdoa dengan sungguh. ‘Tuhan, tolong… tolong jangan biarkan Elene pergi…” Disela panik dan airmataku yang entah sedari kapan sudah membasahi pipiku, kudengar isakan kecil Elene di ujung sana disusul dengan satu kalimat yang membuatku tertegun dan berduka… “Sampai jumpa, Rora…” Lalu aku tahu, aku sudah kehilangan Elene.
Cerpen Karangan: Tanty Angelina IG: @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com